Kamis, 28 Mei 2009

PEMIKIRAN MACHIAVELLI (Politik dan Kekuasaan)

BAB I

PENDAHULUAN

2. 1. Latar Belakang Masalah

Salah satu pegangan mendasar tentang politik, kenegaraan dan kekuasaan adalah buku The Prince selama 400 tahun. Buku ini ditulis oleh seorang bangsawan Florentine yaitu Niccolo Machiavelli. Munculnya karya Machiavelli ini bukannya menjadi pedoman/panduan bagi pemerintah demokratis dan efisien, melainkan menjadi blue print dari gagasan paraa diktator sehingga karyanya ini selalu dicari setiap orang yang tertarik pada politik dan kekuasaan. Tulisan ini adalah hasil pemikiran dari Machiavelli mengenai studi klasik tetntang kekuasaan yaitu bagaimana dalam memperolehnya, memperluas dan menggunakannya dengan hasil yang maksimal oleh karena itu nilai utama yang ditekankan oleh Machiavelli adalah kebutuhan akan stabilitas dalam wilayah seorang penguasa. Teori-teori yang terdapat dalam The Prince sering dipuja sebagai metode-metode cerdik yang dapat digunakan oleh penguasa yang sedang mencari kekuasaan untuk memperoleh tahta, atau oleh seorang penguasa untuk mengukuhkan kekuasaannya. Menurut Machiavelli bahwa:

“kebaikan moral yang terbesar adalah sebuah Negara, yang bijak (vitous) dan stabil, dan tindakan-tindakan untuk melindungi negara, betapapun kejamnya, dapat dibenarkan. Yang sangat penting bahwa ia melakukan segala sesuatu yang perlu untuk dipertahankan kekuasaannya; namun demikian, Machiavelli sangat menganjurkan bahwa terutama sekali, Sang Pengauasa tidak boleh dibenci”. Machiavelli (Trijali, 2008: x-xi)

Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai pemikiran Machiavelli dari karyanya The Prince yang mendefinisikan metode-metode pemerintahan yang efektif dalam beberapa bentuk kePenguasaan [misalnya, jabatan yang baru diperoleh vs keturunan] metode-metode didalamnya digambarkan mencangkup pengajaran tentang perang dan kekejaman dan juga memberikan nasihat tentang bagaimana soerang penguasa dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan serta bagaimana Negara itu harus diperintah dan diperintahkan.

2. 2. Rumusan Masalah

Mengacu pada uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah “Bagaimana hasil pemikiran Machiavelli tentang politik dan kekuasaan?”. Agar dalam menguraikan permasalahan menjadi lebih terarah maka kami membatasi permasalahan dalam bentuk pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimana Sejarah pemikiran Machiavelli itu lahir?

2. Mengapa Teori-teori yang terdapat dalam The Prince sering dipuja sebagai metode-metode cerdik yang dapat digunakan oleh penguasa yang sedang mencari kekuasaan untuk memperoleh tahta, atau oleh seorang penguasa untuk mengukuhkan kekuasaannya?

3. Bagaimana definisi dari metode-metode pemerintahan yang efektif dalam beberapa bentuk kePenguasaan menurut Machiavelli?

4. Apa nasihat yang diberikan oleh Machiavelli untuk soerang penguasa agar dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan serta bagaimana Negara itu harus diperintah dan diperintahkan?

2. 3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya maka jawaban dari permasalahan dalam makalah ini ialah untuk mengetahui hasil pemikiran Machiavelli tentang politik dan kekuasaan. Adapun tujuan penulisan makalah ini dapat dirinci sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sejarah pemikiran Machiavelli tentang politik dan kekuasaan.

2. Untuk mengetahui pemikiran Machiavelli tentang politik dan kekuasaan.

3. Untuk mengetahui pengaruh dari pemikiran Machiavelli terhadap penguasa dan negara dalam politik dan kekuasaannya.

1.3 METODE PENULISAN MAKALAH

Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan menggunakan metode tinjauan pustaka baik dari buku sumber yang menurut kami terdapat kesesuaian dengan pembahasan dalam makalah ini maupun sumber internet yang mendukung dengan cara berupa heuristic dan kritik dan selanjutnya yaitu (1) penapsiran dan pengelompokan fakta-fakta dalam berbagai hubungan mereka yang dalam bahasa Jerman disebut Auffasung dan (2) formulasi dan presentasi hasil-hasilnya yang dalam bahasa Jerman disebut Darstellung dan (3) menentukan dari kritik dokumen-dokumen kepada penulisan teks yang sesungguhnya”. Carrard (Syamsudin, 2007: 155)

1.4 SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika dalam penyusunan makalah ini adalah:

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

1.2. Rumusan Masalah

1.3. Tujuan Penulisan Makalah

1.4. Metode Penulisan Makalah

1.5. Sistematika Penulisan Makalah

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Pemikiran Machiavelli tentang Politik dan Kekuasaan. 2.2. Teori Politik Kekuasaan Niccolo Machiavelli.

2.3. Metode-Metode Pemerintahan yang Efektif dalam Beberapa bentuk Kepenguasaan.

2.4. Nasihat Machiavelli dalam Politik dan Kekuasaan.

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

3.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA


BAB 2

PEMIKIRAN MACHIAVELLI TENTANG POLITIK dan KEKUASAAN

2.1. Sejarah Pemikiran Machiavelli tentang Politik dan Kekuasaan.

Saat itu keluarga Medici telah menetapkan depotisme yangt relative lunak yang memberi mereka substansi kekuasaan, namun sementara itu mengizinkan bentuk-bentuk republikan yang lebih tua tetap ada. Tak satu pun dari keluarga Machiavelli yang mendukung Medici. Ayahnya adalah ahli hukum (lawyer) dan ayahnya maupun Machiavelli menganggap diri mereka sebagai republikan. Ia menenemukan ide-idenya di Roma dan membaca karya tokoh-tokoh Yunani dalam terjemahan latin.

Machiavelli tumbuh dibawah hukum anggota dinasti Medici yang mendapat gelar Lorenzo the Magnificent dari masyarakat Florentine, dan zaman Lorenzo sering dilukiskan sebagai zaman Agustus dari Renaissance Italia. Lorenzo sendiri adalah humanis terhormat, penyair dan menjadi panutan (patron) seniman maupun kalangan terpelajar.

Pada saat itu Machiavelli adalah sebagai ahli teori dan figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa renaissance. Dua buku yang terkenalnya adalah Discorsi sopra la prima deca di tito livio (Diskursus tentang Livio) dan II Principe (Sang Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik dimasa itu, karena karya Machiavelli sendiri lebih berakar dalam pada zamannya karena ia bukan contoh pertama penulis atau pakar teori, melaikan partisipan aktif dalam kehidupan politik yang tak stabil dan kacau di tempat asalnya Florence. Ketika itu terjadi “pergolakan terus-menerus dengan kota-kota lebih kecil, sebagaimana Florence melawan Pisa, yang sering mengakibatkan perang terbuka”. Machiavelli (Trijaji, 2008: 175)

II Principe, atau Sang Penguasa menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Nama Machiavelli, kemudian disosiasikan dengan hal yang buruk yaitu, “untuk menghalalkan cara untuk mencapai tujuan” Trijaji (2008: 175). Orang yang melakukan tindakan ini disebut Makiavelis.

2.2. Teori Politik Kekuasaan Niccolo Machiavelli.

Sebagaimana telah dicatat sebelumnnya, teori politik kekuasaan Niccolo Machiavelli dapat dilihat sebagai penanda transisi dari dunia kuno ke modern yang sangat kontroversi. Melalui karyanya yang berjudul The Prince tahun 1513 ia sering dituduh gurunya kejahatan karena nasehat-nasehatnya yang amoral.

Isi dari teori Machaivelli ( Skinner,1985:4) sebagai berikut.

  1. Untuk melakukannya, seorang penguasa yang bijak hendaknya mengikuti jalur yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan, dan kebaikan Negara. Hanya memadukan machismo semangat keprajuritan, dan pertimbangan politik, seorang penguasa barulah dapat memenuhi kewajiban kepada Negara mencapai keabadian sejarah.
  2. Penguasa bijak hendaknya memiliki hal-hal sebagai berikut

1) Sebuah kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai maupun di benci

2) Watak-watak, seperti ketegasaan, kekejaman,kemandirian, disiplin, dan control diri.

3) Sebuah reputasi menyangkut kemurahan hati,pengampunan, dapat dipercaya dan tulus.

  1. Seorang pangeran harus berani untuk melakukan apapun yang diperlukan, betapa pun tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya, yaitu kebaikan Negara.

2.3. Metode-Metode Pemerintahan yang Efektif dalam Beberapa bentuk Kepenguasaan

Untuk mencapai sukses, seorang penguasa harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia, Machiavelli memperingatkan penguasa agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. seorang penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan itu berlawanan dengan kepentingannya.

“...Dia menambahkan, "Karena tidak ada dasar resmi yang menyalahkan seorang Penguasa yang minta maaf karena dia tidak memenuhi janjinya," karena "... manusia itu begitu sederhana dan mudah mematuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya saat itu, dan bahwa seorang yang menipu selalu akan menemukan orang yang mengijinkan dirinya ditipu." http://media.isnet.org/iptek/index/Machiavelli.html.

Sebagai hasil wajar dari pandangan itu, Machiavelli menasihatkan sang penguasa supaya senantiasa waspada terhadap janji-janji orang lain.

The Prince (Sang Pangeran) sering dijuluki orang "buku petunjuk untuk para diktator." Karier Machiavelli dan berbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum dia cenderung kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator. Machiavelli berpendapat bahwa nilai-nilai yang tinggi, atau yang dianggap tinggi, adalah berhubungan dengan kehidupan dunia, dan ini dipersempit pula hingga kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasan belaka. Machiavelli menolak adanya hukum alam, yang seperti telah diketahui adalah hukum yang berlaku untuk manusia sejagat dan sesuai dengan sifat hukum, mengikat serta menguasai manusia. Machiavelli menolak ini dengan mengemukakan bahwa kepatuhan pada hukum tersebut, malah juga pada hukum apapun pada umumnya bergantung pada soal-soal apakah kepatuhan ini sesuai dengan nilai-nilai kemegahan, kekuasaan, dan kemsyhuran yang baginya merupakan nilai-nilai tinggi. Bahkan menurut pendapatnya inilah kebajikan. Machiavelli mengatakan bahwa untuk suksesnya seseorang, kalau memang diperlukan, maka gejala seperti penipuan dibenarkan. Misalnya, ia mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh, dan oleh sebab kepatuhan ini perlu untuk suksesnya seorang yang berkuasa, maka perlulah agama tadi. Jadi agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu.

Menurut Deliar Noer, kita jangan tergesa-gesa mengecap Machiavelli seperti digambarkan diatas. Memang Machiavelli mengemukakan hal-hal tersebut, tetapi ini dalam pengertian tertentu, yaitu mengenai keamiran atau kepangeranan, yaitu bentuk negara yang telah korup, yang tidak akan mungkin lagi kecuali dengan kemauan, ketabahan dan ketekunan serta kelihaian seorang pemimpin. http://mahardhikazifana.com/religion-philosophy-agama-filsafat/gagasan-gagasan-politik-machiavelli.html

Jadi dapat kami simpulkan bahwa penipuan itu dilakukan terhadap musuh yang dianggap dari negara atau penguasa tersebut yang dianggap mengganggu kekuasaan.

Gagasan kekuasaan machiavelli patut dikaji setidaknya karena dua alasan, yaitu :

1. Gagasannya telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi banyak penguasa sejak awal gagasan itu dipopulerkan sampai abad XX.

Banyak negarawan dan penguasa dunia yang secara sembunyi atau terus terang mengakui telah menjadikan buku Machiavelli itu sebagai hand book (buku pegangan) mereka dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Misalnya Hitler dan Mussolini. Gagasan yang sama telah menjadi basis intelektual bagi pelaksanaan diplomasi kaum realis (realisme). Realisme sebagai suatu aliran penting dalam kajian diplomasi internasional, banyak mendasarkan asumsinya pada pemikiran kekuasaan Machiavelli.

2. Dari pespektif sejarah pemikiran politik, gagasannya itu merupakan pemutusan hubungan total masa kini dengan masa lalu, suatu ciri penting Abad Renaisans. Berbeda dengan para pemikir abad Pertengahan seperti Santo Agustinus dan Thomas Aquinas yang mengaitkan kekuasaan dan negara dengan agama dan Tuhan maupun moralitas, Machiavelli justru berpendapat bahwa kekuasaan hendaknya dipisahkan dari semua itu. Tidak ada kaitan atau relevansi antara kekuasaan dengan teologi Kristen, kecuali sejauh agaman atau moral itu memiliki nilai utilitarianisme bagi kekuasaan dan negara.

Tidak seperti pemikir Abad Pertengahan, Machiavelli melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri. Ia menyangkal asumsi bahwa kekuasaan adalah alat atau instrumen belaka untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, etika atau agama. Bagi Machiavelli segala kebajikan, agama, moralitas justru harus dijadikan alat untuk memperoleh dan memperbesar kekuasaan. Bukan sebaliknya. Jadi kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan, dan dipertahankan semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Dengan pandangannya itu, Machiavelli menolak tegas doktrin Aquinas tentang gambaran penguasa yang baik. Aquinas dalam karyanya The Government of Princes berpendapat bahwa penguasa yang baik harus menghindari godaan kejayaan dan kekayaan-kekayaan duniawi agar memperoleh ganjaran syurgawi kelak. Bagi Machiavelli justru terbalik, penguasa yang baik harus berusaha mengejar kekayaan dan kejayaan karena keduanya merupakan nasib mujur yang dimiliki seorang penguasa.

Bagi Machiavelli kekuasaan adalah raison d’etre negara (state). Negara juga merupakan simbolisasi tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua (all embracing) dan mutlak. Bertolak dari pandangan-pandangan Machiavelli di atas beberapa sarjana berpendapat bahwa Machiavelli memiliki obsesi terhadap negara kekuasaan (maachstaat) dimana yang kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan rakyat dan prinsip-prinsip hukum.

Dalam kaitannya dengan kekuasaan seorang penguasa, Machiavelli membahas perebutan kekuasaan (kerajaan). Bila seorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara memerintah dan mempertahankan negara yang baru saja direbut itu.

1. Memusnahkannya sama sekali dengan membumihanguskan negara dan membunuh seluruh keluarga penguasa lama. Tidak boleh ada yang tersisa dari keluarga penguasa lama sebab hal itu akan menimbulkan benih-benih ancaman terhadap penguasa baru suatu saat kelak.

2. Dengan melakukan kolobisasi, mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan menempatkan sejumlah besar pasukan infantri di wilayah koloni serta menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga terdekat. Cara kolonisasi pernah dilakukan bangsa Romawi.

Dari kedua cara itu menurut Machiavelli cara pertama adalah cara yang paling efektif meski bertentangan dengan aturan moralitas.

Dalam The Prince, Machiavelli juga menguraikan bahwa mereka yang menjadi penguasa lewat cara-cara keji, kejam, dan jahat tidaklah dapat disebut memperoleh kekuasaan berdasarkan kebajikan (virtue) dan nasib baik (fortune). Cara itu seperti dipraktekkan Agathocles yang membunuh secara biadab senator Syarcuse demi menduduki tahta kekuasaan, memang bisa menjadikan mereka penguasa negara. Tetapi kata Machiavelli penguasa itu tidak akan dihormati dan dipuja sebagai pahlawan. Apalagi setelah berkuasa ia menjadikan kekerasan, kekejaman dan perbuatan keji lainnya sebagai bagian dari kehidupan politik sehari-hari. Machiavelli menyimpulkan bahwa cara-cara itu hanya akan menjadikan sang penguasa berkuasa tetapi tidak menjadikannya terhormat, pahlawan atau orang besar.

Machiavelli menyarankan kalaupun seorang penguasa boleh melakukan kekejaman dan menggunakan “cara binatang” hendaknya dilakukan tidak terlalu sering. Setelah melakukan tindakan itu, ia harus bisa mencari simpati dan dukungan rakyatnya dan selalu berjuang demi kebahagiaan mereka. Dia juga harus berusaha agar selalu membuat rakyat tergantung kepadanya. Kearifan dan kasih sayang terhadap rakyat, kata Machiavelli , akan bisa meredam kemungkinan timbulnya pembangkangan. Penguasa yang dicintai rakyatnya tidak perlu takut terhadap pembangkangan sosial. Inilah menurut Machiavelli usaha yang paling penting yang harus dilakukan seorang penguasa.

Dalam sejarah agama kuno, menurut machiavelli, hanya nabi-nabi bersenjata (the armed prophets) dan memiliki kekuatan militer yang berhasil memperjuangkan misi kenabiannya. Sedangkan para nabi yang tidak bersenjata, betapa baik dan sakralnya misi yang mereka bawa, akan mengalami kekalahan karena tidak memiliki kekuatan militer . Atas dasar asumsi itu machiavelli menilai keberadaan angkatan perang yang kuat sebagai suatu keharusan yang dimilki negara. Machiavelli menyadari benar akan pentingnya angkatan bersenjata bagi seorang penguasa negara. Angkatan bersenjata, menurut Machiavelli merupakan basis penting seorang penguasa negara. Ia merupakan manifestasi nyata kekuasaan negara. Penguasa yang tidak memiliki tentara sendiri akan mudah goyah dan diruntuhkan kekuasaannya. Menurut Machiavelli sungguh berbahaya menggunakan tentara sewaan. Kalau seorang penguasa mengandalkan tentara sewaan, ketenangan dan keamanan negara tidak bisa dijamin. Negara mudah goyah. Machiavelli menyebutkan alasan-alasan mengapa demikian. Tentara sewaan katanya tidak bisa disatukan, haus akan kekuasaan, tidak berdisiplin, tidak setia kepada penguasa (yang menyewa mereka), tidak memiliki rasa takut kepada Tuhan, tidak memiliki tanggung jawab, tidak setia terhadap sesama rekan mereka, dan menghindarkan diri dari peperangan.

Kehancuran Italia pad masa hidup Machiavelli adalah karena negaranya mengandalkan tentara sewaan itu selama bertahun-tahun dan tidak memiliki tentara sendiri. Pengalaman sejarah membuktikan hanya para penguasa dan negara republik yang memiliki tentara kuat berhasil baik, dan penggunaan tentara bayaran hanya mendatangkan kekalahan. Sejarah Romawi dan Sparta menunjukkan kebenaran pendapat itu. Kedua negara itu mampu bertahan karena memiliki tentara sendiri, sedangkan negara Chartago dikalahkan karena tidak memiliki tentara sendiri dan mengandalkan tentara bayaran.

Gagasan Machiavelli ini, menurut hemat saya merupakan refleksi pengalaman pribadinya menyaksikan ‘pengkhianatan’ pemimpin tentara bayaran Vitelli terhadap negaranya.

Begitu pentingnya militer bagi suatu negara dan usaha mempertahankan kekuasaan, maka penguasa harus menjadikan keahlian kemiliteran sebagai barang miliknya yang paling berharga. Ia juga harus senantiasa belajar ilmu perang dan bertempur. Oleh karena itu seorang penguasa tidak boleh lengah untuk selalu memikirkan dan melatih dirinya dalam latihan perang dan kemiliteran (exercise of war). Intensitasnya melakukan latihan perang di masa damai harus lebih besar daripada di masa perang. Saat-saat damai hendaknya dijadikan persiapan untuk menghadapi perang. Tidak ada perdamaian tanpa persiapan matang untuk perang.

Dalam latihan perang, penguasa dan tentaranya harus selalu disiplin dan terbiasa hidup dengan cara keras. Dengan demikian tubuhnya akan terbiasa dengan penderitaan. Untuk memenangkan peperengan mereka harus mengetahui ilmu tntang alam, tanah, dan sungai-sungai. Maka dalam latihan perang tercakup pelajaran mengenai strategi bagaimana bisa tetap hidup (how to survive), mendaki gunung dan lembah, menyusuri sungai-sungai dan rawa-rawa. Semua pengetahuan ini menurut Machiavelli penting setidaknya untuk dua hal.

1. Tentara dan penguasa mengetahui persis keadaan negaranya.

2. Mengerti cara bagaimana mempertahankannya dari serangan musuh.

Dengan memiliki pengetahuan dan pengalaman menjelajahi bukit, gunung dan menyusuri sungai maupun rawa-rawa pada suatu bagian tertentu di negaranya, maka ia akan memahami kawasan-kawasan lain yang memiliki karakteristik serupa dengan kawasan yang dipelajari dan ditelusurinya itu. Dengan mengetahui satu wilayah, ia akan mudah memahami wilayah-wilayah di negara lainnya. Dengan memiliki pengetahuan itu juga tentara dan penguasa akan mudah menemukan musuh-musuhnya dan merebut markas-markas tentara yang dikuasai musuh-musuh mereka.

Untuk memahami segala seluk beluk mengenai perang dan tentara, Machiavelli juga menyarankan kepada penguasa agar selalu belajar dari pengalaman penguasa atau kaisar-kaisar lain di masa lalu. Misalnya mempelajari bagaimana cara bertempur yang baik, mempertahankan diri dari serangan musuh, melakukan serangan balasan yang efektif dan cara-cara bagaimana mereka memenangkan suatu peperangan dan sebagainya. Seorang penguasa tidak perlu malu-malu untuk mencontoh keberhasilan-keberhasilan mereka. Menurut Machiavelli, cara belajar demikianlah yang dilakukan Alexander Agung yang mencontoh Achilles, Caesar dan Scipio Syrus. Inilah sumbangan penting pemikiran Machiavelli bagi perkembangan teori-teori perang dan kemiliteran.

The Prince juga menguraikan tentang perlunya penguasa mempelajari sifat-sifat terpuji dan yang tak terpuji. Dia harus berani melakukan tindakan tidak terpuji – kejam, bengis, khianat, kikir – asalkan itu baik bagi negara dan kekuasaannya. Untuk mencapai tujuan, cara apapun bisa digunakan (the ends justify the means). Oleh karena itu penguasa tidak perlu takut untuk tidak dicintai,asalkan ia tidak dibenci rakyat.

Dengan kata lain, penguasa harus pandai-pandai menggunakan cara-cara manusia dan cara binatang bila saat-saat tertentu dibutuhkan. Asumsi ini muncul di benak Machiavelli karena menurutnya manusia memiliki dua sifat yang bertentangan, yaitu sifat manusia – tulus, penyayang, baik, pemurah, tetapi juga memiliki sifat-sifat binatang atau sifat tak terpuji, jahat, kikir, bengis, dan kejam. Kedua sifat manusia yang paradoksal ini membawa implikasi terhadap cara menangani persoalan politik. Cara penanganan persoalan politik dengan ‘cara manusia’, misalnya lewat prosedur hukum dan pengadilan, tidak efektif tanpa disertai ‘cra binatang’. Tetapi bisa terjadi sebaliknya, cara binatang juga tidak efektif tanpa menggunakan cara manusia. Kedua cara itu ibarat two sides of the same coin (dua sisi pada satu koin yang sama).

Machiavelli berpendapat bahwa penguasa negara bisa menggunakan cara binatang, terutama ketika menghadapi lawan-lawan politiknya. Dalam The Prince dikemukakan bahwa seorang penguasa bisa menjadi singa (lion) di satu saat, dan menjadi rubah (fox) di saat lainnya. Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bisa berperangai seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya. Tetapi penguasa harus bersikap seperti rubah bila lawan yang dihadapinya adalah perangkap-perangkap musuh. Bukan singa yang mampu mengendus perangkap-perangkap itu, melainkan rubah. Rubah amat peka dengan perangkap yang akan menjerat dirinya.

Bertitik tolak dari premis itu, Machiavelli berpendapat bahwa seorang penguasa ideal adalah Archilles yang belajar jadi penguasa dari Chiron. Chiron adalah mahluk berkepala manusia berbadan dan berkaki kuda dalam mitologi Yunani kuno. Artinya, seorang penguasa harus memiliki watak manusia dan watak kebinatangan pada saat yang sama. Machiavelli menulis bahwa dengan belajar dari mahluk seperti Chiron, penguasa diharapkan bisa mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang. Menggunakan salah satu cara berkuasa tanpa cara lainnya tidak akan berhasil.

2.4. Tentang Machiavelli dan Nasihat Machiavelli dalam Politik dan Kekuasaan.

Niccolo Machiavelli adalah seorang diplomat dan politikus Italia dan juga seorang filsuf. Selain itu juga dia dikenal sebagai penulis esai, sejarawan, penulis biografi, naskah drama, novel, serta puisi. Trijali (2008: 173)

Machiavelli lahir tanggal 3 Mei 1469 di Florence, Italia, keturunan keluarga kuno Tuscan. Ayahnya adalah seorang dokter dibidang hukum. Beliau menikah dengan Marietta Corsini tahun 1501, dan punya lima anak selain itu juga Machiavelli belajar pada beberapa guru.

Niccolo Machiavelli, termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan bahwa:

“Seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan” http://media.isnet.org/iptek/index/Machiavelli.html.

The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepada negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Penguasa harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya; negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.

Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dia usul, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang.

Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yang mampu dan setia Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan. Menurut Asvi Warman Adam bahwa “Sejarah mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat, untuk memperkenalkan kita kepada penglihatan yang kabur sejak kita lahir”. Wineburg (2006: vii) Namun menurut kami tujuan dari sejarah mengajarkan kita sebuah cara menentukan pilihan untuk memptertimbangkan berbagai pendapat untuk membawakan berbagai kisah dan meragukan sendiri bila perlu kisah-kisah yang kita bawakan.


BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Karya Machiavelli sendiri berakar dalam pada jalannya karena ia bukan contoh pertama penulis melaikan partisipan aktif dalam kehidupan politik yang tak setabil yang kacau di tempat asalnya Florence. Sebenarnya Machiavelli bertujuan mendedikasikan The Frince untuk salah satu anggota Medici dengan harapan mereka mengajaknya kembali mengurusi kepentingan Publik (Public Service) ia menulis surat tentang maksud itu kepada Lorenzo baru, namun tetap diragukan surat itu sebelum kematian Lorenzo pada 1519. Yang pasti The Prince beredar dalam bentuk naskah dan di jiplak. Machiavelli meninggal pada 21 Juli 1527 dan belum diterbitkan dan lima tahun kemudian setelah kematian Machiavelli pada 1532 buku tersebut diterbitkan. Nasehat-nasehatnya bahwa:

“Seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan kekuatan”.

3.2. Saran

Peristiwa Vitelli. Vitelli adalah nama seorang pemimpin tentara bayaran (condottire). Ia disewa pemerintah Florence untuk merebut Pisa, tetapi karena orang-orang Pisa memberikan bayaran lebih besar dari pemerintah Florence, mereka menghentikan serangan terhadap Pisa. Ini merupakan peristiwa memalukan bagi rakyat dan negara Italia. Bagi Machiavelli sendiri peristiwa ini memberikan pelajaran berharga bahwa suatu negara seperti Italia harus memiliki tentara sendiri. Tentara bayaran itu sehebat apapun tidak bisa dipecaya karena mudah berkhianat. Maka menurut Machiavelli, Italia harus membentuk angkatan perang sendiri yang tangguh, loyal dan mampu berjuang mati-matian demi negara Italia. Hanya dengan memiliki angkatan perang yang tangguh, Italia disegani oleh negara-negara lawannya dan janji orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Machiavelli, Niccolo. (2008). THE PRINCE Sang Penguasa diterjemahkan Natalia Trijaji. Surabaya: Selasar Surabaya Publishing.

Sjamsuddin, helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Supardan, Dadang. (2008). Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara.

Syam, Firdaus. (2007). PEMIKIRAN POLITIK BARAT Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara.

Wineburg, Sam. Berfikir Historis Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu diterjemahkan Marsi Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sumber Internet:

Michael H. Hart. (1978). Seratus Tokoh yang Berpengaruh dalam Sejarah, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982. [Online]. Tersedia: http://media.isnet.org/iptek/100/index/Machiavelli.html [30 Maret 2009]

Zifana, Mahardhika. (2008) Gagasan-Gagasan Politik Machiavelli. [Online]. Tersedia: http://mahardhikazifana.com/religion-philosophy-agama-filsafat/gagasan-gagasan-politik-machiavelli.html [30 Maret 2009]

Tidak ada komentar: