Selasa, 10 November 2020

Et Reliquit Memoriam of “Sugar Garden” Studi Kasus: Pabrik dan Perkebunan Tebu di Desa Manyingsal-Wanasari Subang Jawa Barat (Oleh: Didi Sopyan S)

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Sugar Garden” adalah celotehan anak-anak muda Desa Manyingsal jika oleh rekannya di tanya terkait alamat rumahnya dan mereka selalu menjawab dengan istilah ”Sugar Garden” yang artinya Kebun Gula (Tebu). Desa Manyingsal dan Desa Wanasari sendiri nama Desa yang ada di Kabupaten Subang yang lokasi dan kondisi geografisnya berada di tengah-tengah perkebunan tebu milik PT. PG Rajawali II dulu yang berjaya kini tinggal nama dan peninggalannya bak fosil sejarah kebanggaan warga Manyingsal Subang Jawa Barat. Perkebunan tebu milik PT. Rajawali II ini merupakan perkebunan tebu yang sama perusahaannya dengan yang ada di Sindanglaut Cirebon. Setelah 122 Tahun Beroperasi, pabrik ini adalah salah satu berita yang dikutip dari berita radarcirebon.com tertanggal 19 Februari 2020. Berdasarkan hasil penelusuran bangkrutnya PT PG Rajawali II mengalami disebabkan karena adanya “penurunan yang cukup signifikan terhadap produksi hasil panen tebu” dikutip dari pernyataan Sekretaris Perusahaan PT PG Rajawali II (radarcirebon.com, 18 februari 2020). Alasan yang dikemukakan oleh sekretaris PT PG Rajawali II bisa dikatakan benar kondisinya seperti itu, namun alasan tersebut sangat bertolak belakang dilihat kondisi alam kita yang subur. Apakah suplai bahan baku tebu menjadi alasan utama atau alasan tersebut dijadikan alibi untuk melakukan impor raw sugar. Bahkan beberapa saksi sejarah di Desa Manyingsal-Subang mengatakan bahwa adanya bandit-bandit mandor dan pekerja yang korup terhadap upah pekerja dan biaya pengolahan lahan dan tanaman.

Produksi gula lokal kalah dengan maraknya impor raw sugar atau gula rafinasi, terlebih masalah harga yang lebih murah gula impor dibandingkan dengan gula lokal. Faktor yang menyebabkan harga gula lokal lebih mahal dibandingkan dengan gula impor salah satunya terkait dengan biaya produksi yang sangat mahal yaitu pada faktor tenaga kerja, yang diupah setiap harinya Rp.100.000 / Orang untuk kegiatan penanaman, penyiangan, dan tambal sulam berdasarkan kesaksian Bapak Sumantang (62 Tahun) Mandor Tebu PT.PG Rajawali II Desa Manyingsal Subang. Biaya pupuk dan bahan bakar minyak untuk alat berat yang digunakan atau mesin traktor. Tak kalah penting yang menyebabkan biaya produksi menjadi mahal bisa disebabkan dengan umur pabrik gula yang sudah lama karena merupakan sisa peninggalan kolonial Belanda.

Pupuk dan pemupukan sering kali menjadi faktor penghambat produksi tebu, bukan menjadi rahasia umum lagi masyarakat Desa Manyingsal seringkali menemukan oknum-oknum pegawai PT.PG Rajawali II menjual beberapa jerigen solar untuk alat traktor pembajak lahanperkebunan, tak kalah penting adalah adanya penjualan pupuk yang seharunya ditaburkan ke lahan perkebunan tebu tetapi ada oknum yang malah menjualnya ke  petani setempat. Faktor penghambat produksi berikutnya adalah kualitas bibit tanaman tebu. Menurut Dandossi, rendahnya kualitas bibit tebu di Indonesia membuat hasil produksinya juga sedikit. Sementara, biaya produksinya sama dengan biaya produksi tebu berkualitas tinggi yang menghasilkanya lebih banyak gula. (Kompas.com, 17 September 2014).

Berdasarkan surat kabar Republika, PT GMM, lanjutnya, kemudian mendapatkan persetujuan impor GKM kembali sebesar 29.750 ton pada 6 Maret 2020. Selain itu Perum BULOG juga mendapatkan persetujuan pengalihan gula dari PT Sumber Mutiara Indah Perdana (PT SMIP) yang berlokasi di Dumai sebesar 20 ribu ton pada 13 Maret 2020(https://republika.co.id/berita/qavasi368/kemendag-telah-terbitkan-persetujuan-impor-gula). Per 13 Maret 2020, Kemendag memperkirakan pasokan gula akan ditambah sebanyak 550 ribu ton. Penambahan itu dilakukan usai Kemendag menerbitkan persetujuan impor per 6 Maret 2020 yang mencapai 216.172 ton. Targetnya, pemerintah mau agar pasokan gula di dalam negeri tersedia 670 ribu ton sampai Agustus 2020 nanti.

1.2   Rumusan Masalah

Adapun rumusan dalam penulisan artikel ini adalah sebagai berikut :

1)     Apa penyebab Indonesia menjadi pengimpor gula ?

2)     Bagaimana kondisi perkebunan dan industri gula di Indonesia pada masa Kolonial?

3)     Bagaimana upaya pemerintah agar dapat membangkitkan industri gula pada masa sekarang ?


1.3  Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam artikel ini adalah untuk mengetahui :

1)     Permasalahan yang menyebabkan Indonesia menjadi pengimpor gula

2)     Kondisi perkebunan dan industri gula di Indonesia pada masa Kolonial

3)     Upaya yang harus dilakukan pemerintah agar dapat membangkitkan industri gula di masa sekarang.

 

1.4  Manfaat Penulisan

1)     Bagi Penulis adalah menambah pengetahuan penulis dalam mengkaji permasalahan pabrik gula di Indonesia terutama masalah-masalah kontekstual.

2)     Bagi Guru Sejarah adalah menambah sumber referensi yang dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran mata pelajaran sejarah di sekolah baik di jenjang SMA dan SMK yang ada di lingkungan siswa

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1.  Penyebab Indonesia Menjadi Pengimpor Gula

Gula merupakan makanan pokok bangsa Indonesia dan salah satu komplemen makanan yang tidak asing di telinga orang Indonesia apalagi kebutuhan bahan pokok ini sangat dibutuhkan sekali pada saat bulan puasa bahkan beberapa industri sangat ketergantungan terhadap ketersediaan gula. Pada zaman kolonial Belanda gula sudah mulai dikenal baik gula merah maupun gula pasir. Gula pasir menjadi suatu bahan makanan yang wajib ada di hampir di seluruh makanan di seluruh Indonesia. Gula merupakan hasil dari pengolahan tanaman tebu.  Tanaman tebu yang berkualitas akan menghasilkan gula yang berkuliatas juga. Maka dalam hal ini bahwa industri gula tidak bisa lepas dari kualitas tanaman tebu. Pertanyaannya sejauh mana kualitas tanaman tebu di Indonesia.

Menurut bapak Sumantang salah satu mandor tebu yang ada di Desa Manyingsal dan Wanasari PT.Rajawali II mengalami beberapa kendala diantarannya, sulitnya mencari tenaga kuli buruh perkebunan, pupuk dan bahan bakar solar yang terkada oleh pencurian dan penjualan oleh oknum pekerja yang tidak bertanggungjawab. Sedangkan menurut Dandossi, rendahnya kualitas bibit tebu di Indonesia membuat hasil produksinya juga sedikit. Sementara, biaya produksinya sama dengan biaya produksi tebu berkualitas tinggi yang menghasilkanya lebih banyak gula. (https://regional.kompas.com/read /2014/09/17/171100826/Harga.Gula.Lokal.Lebih.Mahal.Ini.Alasannya: Kompas.com, 17 September 2014). Menurut Dandossi bahwa tanaman tebu di Indonesia memiliki kualitas bibit temu yang rendah. Namun, yang jadi pertanyaan penulis mengapa Pabrik Gula di Indonesia atau dalam hal ini pemerintah tidak melakukan riset bibit unggul tanaman tebu. Menurut pendapat penulis, kita mampu untuk melakukan rekayasa dalam bidang tumbuhan. Ada beberapa Lembaga riset yang mumpuni bahkan kita memiliki Institut Pertanian Bogor yang memiliki reputasi Internasional.

Salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia melakukan impor adalah karena kualitas bibit tebu di Indonesia yang kurang baik dan daya dukung lahan perkebunan tebu yang masih minim selain dari itu untuk mendapatkan bibit tebu yang berkualitas dalam pembibitan tebu harus dilakukan secara maksimal dari perawatan sampai pemupukan namun kualitas tebu yang dihasilkan belum terkoreksi dengan baik oleh pemerintah sehingga bibit kurang baik dijadikan alasan pemerintah untuk melakukan impor gula dari luar negeri baik dalam bentuk raw sugar dan gula rafinasi padahal tanah kita sangat subur. Hal ini senada dengan pendapatnya (Tayibnapis, Ahmad Zafrullah, Made Siti Sundari, Lucia Endang Wuryaningsih, 2016, hlm.227) yaitu :

“Permasalahan Ke depan adalah kesulitan pabrik gula di Indonesia untuk memperoleh laba marjin, dan sebagian lagi sudah merugi karena tingginya biaya operasional, inefisiensi pada tingkat on farm dan off farm serta rendahnya tingkat produktivitas. Harga gula di Indonesia tidak mengikuti mekanisme pasar dan wajib mengikuti penetapan pemerintah karena gula merupakan salah satu komoditi kebutuhan pokok rakyat dan berpengaruh cukup signifikan terhadap inflasi. Apalagi harga gula impor ternyata lebih murah dan menarik setelah ada di pasar dan kondisi seperti ini membuat pabrik gula berada di persimpangan jalan, yakni di satu sisi biaya produksi senantiasa meningkat dan ancaman untuk mendapatkan tebu sebagai sumber bahan baku semakin sulit, namun di sisi lain harga gula tidak bisa dibentuk pada tingkat yang menjanjikan marjin yang memadai karena perhitungan daya beli konsumen dan besarnya intervensi pemerintah pada saat harga gula naik di pasar”.

 

Menurut Hairani (2014) adapun faktor-faktor yang mempengaruhi impor gula yaitu :

(1)   Produksi gula dalam negeri, stok gula dalam negeri, konsumsi gula dalam negeri dan produksi gula dalam negeri satu tahun sebelumnya,

(2)   Harga gula lokal, kurs dolar terhadap rupiah dan harga gula di pasar dunia

Adapun menurut Nurjanah (2015, 190) bahwa Gross Domestic Product berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah impor gula di Indonesia. Menurut kesaksian Mandor Sumantang seharunya perusahaan melakukan peremajaan dan penambahan terhadap alat dan teknologi perkebunan sehingga dalam kuantitas tenaga kerja manusia yang memiliki upah pengeluaran uang sangat tinggi bisa di tekan.

 

2.2.  Kondisi Perkebunan Dan Industri Gula di Indonesia Pada Masa Kolonial

Menurut Soentoro et al (1999) menyimpulkan bahwa pada masa penjajahan Belanda, gula pasir mengalami masa kejayaan sebagai komoditas ekspor yang penting. Keberhasilan ekspor gula dalam volume yang besar di masa itu adalah karena gula diproduksi di lahan sawah milik rakyat yang subur dengan sewa yang murah melalui tanam paksa, menggunakan tenaga kerja yang murah melalui kerja paksa dan adanya prioritas penggunaan irigasi. Berikut beberapa kebijakan yang diterapkan pada masa kolonial Belanda di Indonesia:

 

1.   Periode 1830-1970 Tanam Paksa

Kebijakan tanam paksa adalah pengaturan budidaya usaha tani tebu secara paksa dengan tujuan untuk pemenuhan bahan baku pabrik gula (PG). peraturan tanam paksa mencakup :

(1)     Setiap desa, wajib menyediakan seperlima lahannya untuk ditanami tebu;

(2)     Pemerintah Belanda yang menentukan lahan untuk tanaman tebu;

(3)     Kegiatan penanaman hingga panen menjadi tanggung jawab  petani dengan imbalan yang ditentukan Pemerintah Belanda;

(4)     Petani wajib mengangkut dan mengolah tebu di pabrik gula dengan imbalan upah tambahan; dan

(5)     Petani yang tidak memiliki lahan, wajib mencurahkan tenaga kerja 66 hari per tahun tanpa imbalan.

(6)     Kebijakan budidaya diikuti dengan kebijakan perdagangan yang bersifat monopsoni (di mana pemerintah Belanda pembeli tunggal produk gula), dan kebijakan industri  yang diintegrasikan secara vertikal.

Pemerintah Desa dengan PT.PG Rajawali II bisa membuat MoU terkait dengan hasil panen yang dilaksanakan oleh masyarakat desa sekitar lahan. Sehingga adanya keuntungan bersama diantara kedua belah pihak.

 

2. Periode 1870-1900: Liberalisasi Pasar

Kebijakan utama adalah Undang-Undang Agraria (UUA) tahun 1870 yang memberikan kepastian dan jaminan penguasaan lahan, yaitu :

(1)     Pada lahan yang belum dimanfaatkan, perusahaan swasta diberi hak sewa selama 75 tahun yang dapat diperpanjang dan dipindahtangankan;

(2)     Pada lahan yang dimiliki rakyat, untuk sawah perusahaan swasta dapat melakukan sewa paling lama 35 tahun dan untuk lahan kering dengan sewa kontrak paling lama 12,5 tahun.

(3)     Pada tahun 1870 juga dikeluarkan Undang-Undang Gula (UUG) untuk menghapuskan sistem tanam paksa secara bertahap.

(4)     Lahirnya Undang-Undang Tarif (UUT) 1872 yang menghapuskan perdagangan secara progresif sebagai awal liberalisasi ekonomi. Kebijakan UUT 1872 mulai berlaku tahun 1874 sehingga agribisnis pergulaan didasarkan sistem persaingan bebas dan merupakan  awal swastanisasi industri gula di Indonesia.

Gambar 1.1

Sisa Peninggalan Tumbuhan Tebu Yang Tumbuh Sendiri

Di Perkebunan milik PT.PG Rajawali II Rayon Manyingsal


Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi 31 Oktober 2020

 

Sudah 2 tahun berjalan PT. PG Rajawali II memiliki lahan yang menganggur padahal masyarakat dapat menyambut dengan baik apabila ada sistem sewa terkait dengan penanaman tebu apabila perusahaan mengizinkan. Namun yang terjadi petani tunakisma (tidak memiliki tanah) yang ingin menggarap lahan tebu tersebut malah digelandang ke kantor Polres Subang.

 

2.      Periode 1900-1930 : Pengembangan Sistem Sindikat

Sistem sindikat (1900-1930) menerapkan politik etis melalui 3 (tiga) jalur migrasi, pendidikan dan irigasi (Onghokham, 1985).  Melalui jalur irigasi dikeluarkan Undang-Undang Sewa Tanah No. 88 Tahun 1918 untuk mengakhiri kerja wajib pada perkebunan tebu dan hak industri gula pemerintah, serta menentukan upah buruh dan sewa lahan minimum dengan kompensasi PG diberi hak menyewa lahan hingga 50 tahun (Soemarjan, 1991). Hal tersebut harusnya menjadi acuan tentang transparansi upah buruh tebu yang terkadang sangat minim diterima sehingga masyarakat sekitar sulit menerima pekerjaan berat kuli panggul dan tebang di PT.PG Rajawali II Desa Manyingsal – Desa Wanasari.

Apabila pemerintah mengakulturasikan keberhasilan kebijakan kolonial ini maka saya rasa akan mampu meningkatkan produksi gula namun bersamaan dengan itu produksi gula dunia juga meningkat, dan harga gula dunia menurun tajam, sehingga tercipta kesepakatan perdagangan gula dunia “Chardbourne Agreement” tahun 1931.

 

3.        Periode 1931-1942: Kartel

Stabilitas harga nasional pemerintah harus belajar dari sistem ini. Pada periode ini pemerintah Belanda membentuk Nederlandsch Indie Veerenigde Voor de Afzet van suiker (NIVAS) tahun 1932 yang merupakan awal era sistem kartel gula di Indonesia (Simatupang et al., 1999:508). Seperti halnya VOC, NIVAS bertindak sebagai pembeli dan penjual tunggal. Kebijakan pada periode ini adalah mewajibkan Jawa menurunkan produksi dari 3 juta ton menjadi 1,4 juta ton/tahun (Panglaykim dan Palmer, 1972).  Hal tersebut bertujuan untuk normalisasi harga jual gula di pasaran internasional

 

3.1.  Menganalisis Upaya Yang Pemerintah Lakukan Agar Dapat Membangkitkan Industri Gula Di Masa Sekarang

Upaya yang harus dilakukan dalam upaya membangkitkan Industri Gula Di Masa sekarang yaitu :

(1)  Dengan memproduksi bibit unggul tebu dalam rangka meningkatkan kualitas tanaman tebu untuk lebih besar menghasilkan gula.

(2)  Modernisasi teknologi dalam pengolahan tebu di seluruh pabrik gula di Indonesia untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas produksi gula di PT.PG Rajawali II Desa Manyingsal dan Desa Wanasari.

(3)  Memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada para petani tebu di sekitar penduduk PT.PG Rajawali II Desa Manyingsal dan Desa Wanasari.

(4)  Mengatur dan Menutup kran impor gula secara bertahap sampai dengan kondisi swasembada gula dapat tercapai di Indonesia.

(5)  Mengawasi penggunaan Pupuk dan Bahan Bakar Minyak Solar untuk alat berat atau traktor.

 


BAB III

PENUTUP

3.1.  Kesimpulan

Industri Gula di Indonesia memiliki permasalahan yang begitu kompleks baik dari sumber daya manusianya maupun dari alat dan teknologi pendukungnya, namun bukan berarti tidak bisa diselesaikan dan diperbaiki untuk perbaikan kondisi Industri Gula di masa yang akan datang. Adapun kesimpulan dalam penulisan artikel ini adalah sebagai berikut :

1.       Bahwa permasalahan yang menyebabkan impor gula di Indonesia yaitu adanya kenyataan bahwa pabrik gula di Indonesia kondisi mesinnya sudah tua, bibit tanaman tebu yang kalah kualitas dengan tanaman tebu dari negara tetangga. Intinya harus adanya peremajaan alat pertanian dari segi kualitas maupun kuantitas.

2.       Buat petani gula lebih mencintai pekerjaannya. Keadaan Industri Gula pada masa kolonial mengalami kejayaan karena didukung oleh faktor kebijakan yang menguntungkan industri gula pada saat itu seperti kebijakan tanam paksa untuk mensiasati hal tersebut jadikanlah masyarakat di Desa Manyingsal dan Desa Wanasari mencintai pekerjaan menjadi petani tebu, dengan mengadakan pelatihan dan kegiatan terkait dengan produksi tebu.

3.       Jangan menjadi negara yang bergantung terhadap negara luar. Strategi yang digunakan Pada masa kolonial Belanda yaitu dengan adanya beberapa kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mendorong industri gula dapat berjaya, komitmen pemerintah harus ditegaskan agar kita tidak ketergantungan.

4.       Solusi bagi upaya untuk meningkatkan kembali Industri gula di Indonesia yaitu :

(1)  Proudksi bibit unggul.

(2)  Modernisasi teknologi

(3)  Memberikan penyuluhan dan bimbingan generasi muda.

(4)  Menutup kran impor gula secara bertahap sampai swasembada.

(5)  Pengawasan sampai grass root oleh BUMN terkait dengan penggunaan anggaran dari mulai penanaman sampai panen.

 

REFERENSI

 

Buku dan Jurnal:

Hairani, Ratri Indah.2014. Analisis Trend Produksi dan Impor Gula serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Gula di Indonesia. Berkala Ilmiah Pertanian

Panglaykim,J. and I.Palmer.1972. Study of Enterpreneurship in Developing Countries. The Development of One Chinese Concern in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies Vol 1 No 1, hlm. 85-95.

Soemardjan, S.1991. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soentoro, Nani Indiarto, Abdul Muis, S.Ali.1999. Usahatani dan Tebu rakyat Intensifikasi di Jawa. Dalam Ekonomi Gula di Indonesia. M.H. Sawit, P.Suharto dan Anas Rachman (Eds). Bogor: Penerbit IPB

Tayibnapis, Ahmad Zafrullah, Made Siti Sundari, Lucia Endang Wuryaningsih.2016. Meningkatkan Daya Saing Pabrik Gula Di Indonesia Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen, Volume 16 No.2, Juli Desember 2016, hlm 225-236 DOI 10.17970/jrem.16.160205.ID

 

Surat Kabar:

Diela,Tabita.2014. Harga Gula Lokal Lebih Mahal, Ini Alasannya. Tersedia Online: https://money.kompas.com/read/2014/09/17/171100826/Harga.Gula.Lokal.Lebih.Mahal.Ini.Alasannya. [12 Oktober 2020]

Iit Septyaningsih dan Dwi Murdaningsih. (2020). Kemendag Telah Terbitkan Persetujuan Impor Gula. Tersedia Online: https://republika.co.id/berita/qavasi368/kemendag-telah-terbitkan-persetujuan-impor-gula (25 Mei 2020)

Nurjanah, Siti.2015. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Impor Gula Di Indonesia.Economics Development analysis Journal, Vol 4 No 2, Juni 2015, hlm. 182-191  https://doi.org/10.15294/edaj.v4i2.14822

Thomas, Vincent Fabian.(2020).Indonesia Impor Gula Senilai 480 Juta Doalr As Januari-Maret 2020.Tersedia Online:https://tirto.id/indonesia-impor-gula-senilai-480-juta-dolar-as-januari-maret-2020-eNrY. [12 Oktober 2020]

Wiguna,Andri.2020. PG Sindanglaut Berhenti setelah 122 Tahun Beroperasi. Tersedia Online: https://www.radarcirebon.com/2020/02/19/pg-sindanglaut-berhenti-setelah-122-tahun-beroperasi/. [12 Oktober 2020]