BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“Sugar Garden” adalah celotehan
anak-anak muda Desa Manyingsal jika oleh rekannya di tanya terkait alamat
rumahnya dan mereka selalu menjawab dengan istilah ”Sugar Garden” yang artinya Kebun
Gula (Tebu). Desa Manyingsal dan Desa Wanasari sendiri nama Desa yang ada di Kabupaten
Subang yang lokasi dan kondisi geografisnya berada di tengah-tengah perkebunan
tebu milik PT. PG Rajawali II dulu yang berjaya
kini tinggal nama dan peninggalannya bak fosil sejarah kebanggaan warga Manyingsal
Subang Jawa Barat. Perkebunan tebu milik PT. Rajawali II ini merupakan perkebunan
tebu yang sama perusahaannya dengan yang ada di Sindanglaut Cirebon. Setelah
122 Tahun Beroperasi, pabrik ini adalah salah
satu berita yang dikutip dari berita radarcirebon.com tertanggal 19 Februari 2020.
Berdasarkan hasil penelusuran
bangkrutnya PT PG Rajawali II mengalami
disebabkan karena adanya “penurunan yang cukup
signifikan terhadap
produksi hasil panen tebu”
dikutip dari pernyataan Sekretaris Perusahaan PT PG Rajawali II (radarcirebon.com,
18 februari 2020). Alasan yang dikemukakan oleh sekretaris PT PG Rajawali II
bisa dikatakan benar kondisinya seperti itu, namun alasan tersebut sangat
bertolak belakang dilihat kondisi alam kita yang subur. Apakah suplai bahan baku
tebu menjadi alasan utama atau alasan tersebut dijadikan alibi untuk melakukan
impor raw sugar. Bahkan beberapa saksi sejarah di Desa Manyingsal-Subang mengatakan bahwa adanya
bandit-bandit mandor dan pekerja yang korup terhadap upah pekerja dan biaya
pengolahan lahan dan tanaman.
Produksi gula lokal kalah dengan maraknya impor raw sugar atau gula rafinasi, terlebih masalah
harga yang lebih murah gula impor dibandingkan
dengan gula lokal. Faktor yang menyebabkan harga gula lokal lebih mahal
dibandingkan dengan gula impor salah satunya terkait dengan biaya produksi yang
sangat mahal yaitu pada faktor tenaga kerja, yang diupah setiap
harinya Rp.100.000 / Orang untuk kegiatan penanaman, penyiangan, dan tambal
sulam berdasarkan kesaksian Bapak Sumantang (62 Tahun) Mandor Tebu PT.PG Rajawali
II Desa Manyingsal Subang. Biaya pupuk dan bahan bakar
minyak untuk alat berat yang digunakan atau mesin traktor. Tak kalah penting yang menyebabkan biaya produksi menjadi mahal bisa
disebabkan dengan umur pabrik gula yang sudah lama karena merupakan sisa
peninggalan kolonial Belanda.
Pupuk dan pemupukan sering kali menjadi faktor penghambat
produksi tebu, bukan menjadi rahasia umum lagi masyarakat Desa Manyingsal
seringkali menemukan oknum-oknum pegawai PT.PG Rajawali II menjual beberapa
jerigen solar untuk alat traktor pembajak lahanperkebunan, tak kalah penting
adalah adanya penjualan pupuk yang seharunya ditaburkan ke lahan perkebunan
tebu tetapi ada oknum yang malah menjualnya ke
petani setempat. Faktor penghambat produksi berikutnya adalah kualitas
bibit tanaman tebu. Menurut Dandossi, rendahnya kualitas bibit tebu di
Indonesia membuat hasil produksinya juga sedikit. Sementara, biaya produksinya
sama dengan biaya produksi tebu berkualitas tinggi yang menghasilkanya lebih
banyak gula. (Kompas.com, 17 September 2014).
Berdasarkan surat kabar Republika, “PT GMM, lanjutnya, kemudian
mendapatkan persetujuan impor GKM kembali sebesar 29.750 ton pada 6 Maret 2020.
Selain itu Perum BULOG juga mendapatkan persetujuan pengalihan gula dari PT Sumber Mutiara Indah Perdana (PT
SMIP) yang berlokasi di Dumai sebesar 20 ribu ton pada 13 Maret 2020” (https://republika.co.id/berita/qavasi368/kemendag-telah-terbitkan-persetujuan-impor-gula).
Per 13 Maret 2020, Kemendag memperkirakan pasokan gula
akan ditambah sebanyak 550 ribu ton. Penambahan itu dilakukan usai Kemendag
menerbitkan persetujuan impor per 6 Maret 2020 yang mencapai 216.172 ton.
Targetnya, pemerintah mau agar pasokan gula di dalam negeri tersedia 670 ribu
ton sampai Agustus 2020 nanti.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun rumusan dalam penulisan artikel ini adalah sebagai
berikut :
1) Apa penyebab Indonesia
menjadi pengimpor gula ?
2) Bagaimana kondisi
perkebunan dan industri gula di Indonesia pada masa Kolonial?
3) Bagaimana upaya
pemerintah agar dapat
membangkitkan industri gula pada masa sekarang
?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam artikel ini adalah untuk
mengetahui :
1)
Permasalahan yang menyebabkan
Indonesia menjadi pengimpor gula
2)
Kondisi perkebunan dan industri gula di Indonesia pada masa Kolonial
3)
Upaya yang harus dilakukan pemerintah agar dapat
membangkitkan industri gula di masa sekarang.
1.4
Manfaat Penulisan
1)
Bagi Penulis adalah menambah pengetahuan
penulis dalam mengkaji permasalahan pabrik gula di Indonesia terutama
masalah-masalah kontekstual.
2)
Bagi Guru Sejarah adalah menambah
sumber referensi yang dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran mata
pelajaran sejarah di sekolah baik di jenjang SMA dan SMK yang
ada di lingkungan siswa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Penyebab Indonesia Menjadi
Pengimpor Gula
Gula merupakan makanan pokok bangsa
Indonesia dan salah satu komplemen makanan
yang tidak asing di telinga orang Indonesia apalagi kebutuhan bahan pokok ini sangat dibutuhkan
sekali pada saat bulan puasa bahkan beberapa industri sangat ketergantungan
terhadap ketersediaan gula. Pada
zaman kolonial Belanda gula sudah mulai dikenal baik gula merah maupun gula pasir. Gula pasir menjadi
suatu bahan makanan yang wajib ada di hampir di seluruh makanan di seluruh
Indonesia. Gula merupakan hasil dari pengolahan tanaman tebu. Tanaman tebu yang berkualitas akan menghasilkan
gula yang berkuliatas juga. Maka dalam hal ini bahwa industri gula tidak bisa
lepas dari kualitas tanaman tebu. Pertanyaannya sejauh mana kualitas tanaman
tebu di Indonesia.
Menurut bapak Sumantang salah satu mandor tebu yang ada di Desa
Manyingsal dan Wanasari PT.Rajawali II mengalami beberapa kendala diantarannya,
sulitnya mencari tenaga kuli buruh perkebunan, pupuk dan bahan bakar solar yang
terkada oleh pencurian dan penjualan oleh oknum pekerja yang tidak
bertanggungjawab. Sedangkan menurut Dandossi, rendahnya
kualitas bibit tebu di Indonesia membuat hasil produksinya juga sedikit.
Sementara, biaya produksinya sama dengan biaya produksi tebu berkualitas tinggi
yang menghasilkanya lebih banyak gula. (https://regional.kompas.com/read /2014/09/17/171100826/Harga.Gula.Lokal.Lebih.Mahal.Ini.Alasannya: Kompas.com,
17 September 2014). Menurut Dandossi bahwa tanaman tebu di Indonesia memiliki
kualitas bibit temu yang rendah. Namun, yang jadi pertanyaan penulis mengapa Pabrik
Gula di Indonesia atau dalam hal ini pemerintah tidak melakukan riset bibit
unggul tanaman tebu. Menurut pendapat penulis, kita mampu untuk melakukan rekayasa
dalam bidang tumbuhan. Ada beberapa Lembaga riset yang mumpuni bahkan kita
memiliki Institut Pertanian Bogor yang memiliki reputasi Internasional.
Salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia melakukan
impor adalah karena kualitas bibit tebu di Indonesia yang kurang baik dan daya
dukung lahan perkebunan tebu yang masih minim selain dari itu untuk mendapatkan
bibit tebu yang berkualitas dalam pembibitan tebu harus dilakukan secara
maksimal dari perawatan sampai pemupukan namun kualitas tebu yang dihasilkan
belum terkoreksi dengan baik oleh pemerintah sehingga bibit kurang baik dijadikan alasan pemerintah untuk melakukan impor gula dari luar
negeri baik dalam bentuk raw sugar dan gula rafinasi padahal tanah
kita sangat subur. Hal ini senada dengan pendapatnya (Tayibnapis, Ahmad Zafrullah, Made Siti Sundari, Lucia Endang
Wuryaningsih, 2016, hlm.227) yaitu :
“Permasalahan Ke depan adalah kesulitan pabrik gula di
Indonesia untuk memperoleh laba marjin, dan sebagian lagi sudah merugi karena
tingginya biaya operasional, inefisiensi pada tingkat on farm dan off farm
serta rendahnya tingkat produktivitas. Harga gula di Indonesia tidak mengikuti
mekanisme pasar dan wajib mengikuti penetapan pemerintah karena gula merupakan
salah satu komoditi kebutuhan pokok rakyat dan berpengaruh cukup signifikan
terhadap inflasi. Apalagi harga gula impor ternyata lebih murah dan menarik
setelah ada di pasar dan kondisi seperti ini membuat pabrik gula berada di
persimpangan jalan, yakni di satu sisi biaya produksi senantiasa meningkat dan
ancaman untuk mendapatkan tebu sebagai sumber bahan baku semakin sulit, namun
di sisi lain harga gula tidak bisa dibentuk pada tingkat yang menjanjikan marjin
yang memadai karena perhitungan daya beli konsumen dan besarnya intervensi
pemerintah pada saat harga gula naik di pasar”.
Menurut Hairani (2014) adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi impor gula yaitu :
(1)
Produksi gula dalam negeri,
stok gula dalam negeri, konsumsi gula dalam negeri dan produksi gula dalam
negeri satu tahun sebelumnya,
(2)
Harga
gula lokal, kurs dolar terhadap rupiah dan harga gula di pasar dunia
Adapun menurut Nurjanah
(2015, 190) bahwa Gross Domestic Product berpengaruh positif dan signifikan
terhadap jumlah impor gula di Indonesia. Menurut kesaksian Mandor Sumantang
seharunya perusahaan melakukan peremajaan dan penambahan terhadap alat dan
teknologi perkebunan sehingga dalam kuantitas tenaga kerja manusia yang
memiliki upah pengeluaran uang sangat tinggi bisa di tekan.
2.2.
Kondisi Perkebunan Dan Industri Gula di Indonesia Pada Masa Kolonial
Menurut Soentoro et al (1999) menyimpulkan bahwa pada
masa penjajahan Belanda, gula pasir mengalami masa kejayaan sebagai komoditas
ekspor yang penting. Keberhasilan ekspor gula dalam volume yang besar di masa
itu adalah karena gula diproduksi di lahan sawah milik rakyat yang subur dengan
sewa yang murah melalui tanam paksa, menggunakan tenaga kerja yang murah
melalui kerja paksa dan adanya prioritas penggunaan irigasi. Berikut beberapa kebijakan
yang diterapkan pada masa kolonial Belanda di Indonesia:
1.
Periode
1830-1970 Tanam Paksa
Kebijakan tanam
paksa adalah pengaturan budidaya usaha tani tebu secara paksa dengan tujuan untuk
pemenuhan bahan baku pabrik gula (PG). peraturan tanam paksa mencakup :
(1)
Setiap
desa, wajib menyediakan seperlima lahannya untuk ditanami tebu;
(2)
Pemerintah
Belanda yang menentukan lahan untuk tanaman tebu;
(3)
Kegiatan
penanaman hingga panen menjadi tanggung jawab
petani dengan imbalan yang ditentukan Pemerintah Belanda;
(4)
Petani
wajib mengangkut dan mengolah tebu di pabrik gula dengan imbalan upah tambahan;
dan
(5)
Petani
yang tidak memiliki lahan, wajib mencurahkan tenaga kerja 66 hari per tahun tanpa
imbalan.
(6)
Kebijakan
budidaya diikuti dengan kebijakan perdagangan yang bersifat monopsoni (di mana
pemerintah Belanda pembeli tunggal produk gula), dan kebijakan industri yang diintegrasikan secara vertikal.
Pemerintah Desa dengan PT.PG Rajawali II bisa membuat MoU terkait dengan
hasil panen yang dilaksanakan oleh masyarakat desa sekitar lahan. Sehingga adanya
keuntungan bersama diantara kedua belah pihak.
2. Periode 1870-1900: Liberalisasi
Pasar
Kebijakan utama adalah
Undang-Undang Agraria (UUA) tahun 1870 yang memberikan kepastian dan jaminan
penguasaan lahan, yaitu :
(1)
Pada
lahan yang belum dimanfaatkan, perusahaan swasta diberi hak sewa selama 75
tahun yang dapat diperpanjang dan dipindahtangankan;
(2)
Pada
lahan yang dimiliki rakyat, untuk sawah perusahaan swasta dapat melakukan sewa
paling lama 35 tahun dan untuk lahan kering dengan sewa kontrak paling lama
12,5 tahun.
(3)
Pada
tahun 1870 juga dikeluarkan Undang-Undang Gula (UUG) untuk menghapuskan sistem
tanam paksa secara bertahap.
(4)
Lahirnya
Undang-Undang Tarif (UUT) 1872 yang menghapuskan perdagangan secara progresif
sebagai awal liberalisasi ekonomi. Kebijakan UUT 1872 mulai berlaku tahun 1874
sehingga agribisnis pergulaan didasarkan sistem persaingan bebas dan merupakan awal swastanisasi industri gula di Indonesia.
Gambar 1.1
Sisa
Peninggalan Tumbuhan Tebu Yang Tumbuh Sendiri
Di Perkebunan
milik PT.PG Rajawali II Rayon Manyingsal
Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi
31 Oktober 2020 |
Sudah 2 tahun berjalan PT. PG Rajawali II memiliki lahan yang menganggur
padahal masyarakat dapat menyambut dengan baik apabila ada sistem sewa terkait
dengan penanaman tebu apabila perusahaan mengizinkan. Namun yang terjadi petani
tunakisma (tidak memiliki tanah) yang ingin menggarap lahan tebu tersebut malah
digelandang ke kantor Polres Subang.
2.
Periode
1900-1930 : Pengembangan Sistem Sindikat
Sistem sindikat
(1900-1930) menerapkan politik etis melalui 3 (tiga) jalur migrasi, pendidikan
dan irigasi (Onghokham, 1985). Melalui
jalur irigasi dikeluarkan Undang-Undang Sewa Tanah No. 88 Tahun 1918 untuk
mengakhiri kerja wajib pada perkebunan tebu dan hak industri gula pemerintah,
serta menentukan upah buruh dan sewa lahan minimum dengan kompensasi PG diberi
hak menyewa lahan hingga 50 tahun (Soemarjan, 1991). Hal tersebut harusnya menjadi
acuan tentang transparansi upah buruh tebu yang terkadang sangat minim diterima
sehingga masyarakat sekitar sulit menerima pekerjaan berat kuli panggul dan
tebang di PT.PG Rajawali II Desa Manyingsal – Desa Wanasari.
Apabila pemerintah mengakulturasikan keberhasilan kebijakan kolonial ini maka saya rasa akan mampu meningkatkan produksi gula namun bersamaan dengan
itu produksi gula dunia juga meningkat, dan harga gula dunia menurun tajam,
sehingga tercipta kesepakatan perdagangan gula dunia “Chardbourne Agreement”
tahun 1931.
3.
Periode
1931-1942: Kartel
Stabilitas harga nasional pemerintah harus belajar dari sistem ini. Pada periode ini pemerintah Belanda membentuk Nederlandsch
Indie Veerenigde Voor de Afzet van suiker (NIVAS) tahun 1932 yang merupakan
awal era sistem kartel gula di Indonesia (Simatupang et al., 1999:508). Seperti
halnya VOC, NIVAS bertindak sebagai pembeli dan penjual tunggal. Kebijakan pada
periode ini adalah mewajibkan Jawa menurunkan produksi dari 3 juta ton menjadi
1,4 juta ton/tahun (Panglaykim dan Palmer, 1972). Hal tersebut bertujuan untuk normalisasi harga jual gula
di pasaran internasional
3.1.
Menganalisis Upaya Yang Pemerintah Lakukan
Agar Dapat Membangkitkan Industri Gula Di Masa Sekarang
Upaya yang harus dilakukan dalam
upaya membangkitkan Industri Gula Di Masa sekarang yaitu :
(1) Dengan memproduksi
bibit unggul tebu dalam rangka meningkatkan kualitas tanaman tebu untuk lebih
besar menghasilkan gula.
(2) Modernisasi teknologi dalam pengolahan tebu di seluruh
pabrik gula di Indonesia untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas produksi
gula di PT.PG Rajawali II Desa Manyingsal
dan Desa Wanasari.
(3) Memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada para
petani tebu di sekitar penduduk PT.PG Rajawali II Desa Manyingsal dan Desa Wanasari.
(4) Mengatur dan Menutup kran impor gula secara bertahap sampai
dengan kondisi swasembada gula dapat tercapai di Indonesia.
(5) Mengawasi penggunaan Pupuk dan
Bahan Bakar Minyak Solar untuk alat berat atau traktor.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Industri Gula di
Indonesia memiliki permasalahan yang begitu kompleks baik dari sumber daya
manusianya maupun dari alat dan teknologi pendukungnya, namun bukan berarti tidak bisa diselesaikan dan
diperbaiki untuk perbaikan kondisi Industri Gula di masa yang akan datang. Adapun
kesimpulan dalam penulisan artikel ini adalah sebagai berikut :
1.
Bahwa
permasalahan yang menyebabkan impor gula di Indonesia yaitu adanya kenyataan
bahwa pabrik gula di Indonesia kondisi mesinnya sudah tua, bibit tanaman tebu
yang kalah kualitas dengan tanaman tebu dari negara tetangga. Intinya harus adanya
peremajaan alat pertanian dari segi kualitas maupun kuantitas.
2.
Buat petani gula lebih mencintai pekerjaannya. Keadaan Industri Gula pada masa kolonial mengalami
kejayaan karena didukung oleh faktor kebijakan yang menguntungkan industri gula
pada saat itu seperti kebijakan tanam paksa untuk mensiasati hal tersebut jadikanlah masyarakat di Desa
Manyingsal dan Desa Wanasari mencintai pekerjaan menjadi petani tebu, dengan
mengadakan pelatihan dan kegiatan terkait dengan produksi tebu.
3.
Jangan menjadi negara yang bergantung terhadap negara luar. Strategi yang digunakan Pada masa kolonial Belanda
yaitu dengan adanya beberapa kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mendorong
industri gula dapat berjaya, komitmen pemerintah harus ditegaskan agar kita tidak ketergantungan.
4.
Solusi
bagi upaya untuk meningkatkan kembali Industri gula di Indonesia yaitu :
(1) Proudksi bibit unggul.
(2) Modernisasi teknologi
(3) Memberikan penyuluhan dan bimbingan generasi muda.
(4) Menutup kran impor gula secara bertahap sampai swasembada.
(5) Pengawasan sampai grass root
oleh BUMN terkait dengan penggunaan anggaran dari mulai penanaman sampai panen.
REFERENSI
Buku dan Jurnal:
Hairani, Ratri Indah.2014. Analisis
Trend Produksi dan Impor Gula serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Gula
di Indonesia. Berkala Ilmiah Pertanian
Panglaykim,J. and I.Palmer.1972. Study
of Enterpreneurship in Developing Countries. The Development of One Chinese
Concern in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies Vol 1 No 1, hlm.
85-95.
Soemardjan, S.1991. Perubahan Sosial
di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soentoro, Nani Indiarto, Abdul Muis,
S.Ali.1999. Usahatani dan Tebu rakyat Intensifikasi di Jawa. Dalam Ekonomi Gula
di Indonesia. M.H. Sawit, P.Suharto dan Anas Rachman (Eds). Bogor: Penerbit IPB
Tayibnapis, Ahmad Zafrullah, Made
Siti Sundari, Lucia Endang Wuryaningsih.2016. Meningkatkan Daya Saing Pabrik
Gula Di Indonesia Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jurnal Riset Ekonomi dan
Manajemen, Volume 16 No.2, Juli Desember 2016, hlm 225-236 DOI
10.17970/jrem.16.160205.ID
Surat Kabar:
Diela,Tabita.2014. Harga Gula
Lokal Lebih Mahal, Ini Alasannya. Tersedia Online: https://money.kompas.com/read/2014/09/17/171100826/Harga.Gula.Lokal.Lebih.Mahal.Ini.Alasannya. [12 Oktober 2020]
Iit Septyaningsih dan Dwi
Murdaningsih. (2020). Kemendag
Telah Terbitkan Persetujuan Impor Gula. Tersedia Online: https://republika.co.id/berita/qavasi368/kemendag-telah-terbitkan-persetujuan-impor-gula (25 Mei 2020)
Nurjanah, Siti.2015.
Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Impor Gula Di Indonesia.Economics Development
analysis Journal, Vol 4 No 2, Juni 2015, hlm. 182-191 https://doi.org/10.15294/edaj.v4i2.14822
Thomas,
Vincent Fabian.(2020).Indonesia Impor Gula Senilai 480 Juta Doalr As
Januari-Maret 2020.Tersedia Online:https://tirto.id/indonesia-impor-gula-senilai-480-juta-dolar-as-januari-maret-2020-eNrY.
[12 Oktober 2020]
Wiguna,Andri.2020.
PG Sindanglaut Berhenti setelah 122 Tahun Beroperasi. Tersedia Online: https://www.radarcirebon.com/2020/02/19/pg-sindanglaut-berhenti-setelah-122-tahun-beroperasi/.
[12 Oktober 2020]