Rabu, 28 November 2012

Menggali Inspirasi Motif Batik Khas Subang Dan Menggali-gali Ragam Keunikan di Kabupaten Subang



Nanas, adalah nama buah yang pertama kali di sebut oleh orang ketika menanyakan asal kota di mana saya tinggal. Apakah benar nanas merupakan symbol kota atau wilayah Kabupaten Subang? Padahal pada kenyataannya Subang memiliki kebun teh yang lumayan luas di bagian selatan dari kecamatan Ciater sampai Kecamatan Jalan Cagak, kebun buah nanas di Kecamatan Jalan Cagak, Kebun buah manggis dan durian di Kecamatan Jalan Cagak sampai Kecamatan Cijambe, di Subang Kota sampai Kecamatan Pagaden dan Kecamatan Cipunagara memproduksi buah rambutan yang melimpah setiap tahunnya, lebih ke utara lagi Kecamatan Binong, Kecamatan Compreng, Kecamatan Patokbeusi, Kecamatan Cikaum, Kecamatan Ciasem, Kecamatan Pusakanegara merupakan pusat lumbung padi Jawa Barat. Dari utara kita pergi ke barat ada Kecamatan Purwadadi, Kecamatan Pabuaran, Kecamatan Kalijati, Kecamatan Cipeundeuy terdapat beberapa kawasan industri dan perkebunan karet dan dari Barat kita tengok ke timur ada Kecamatan Cibobo terdapat beberapa pengrajin pandai besi dan pengrajin kayu rumahan. Dari timur saya akan ajak lagi pembaca ke Subang wilayah pantura ada Kecamatan Pamanukan dan Kecamatan Legonkulon merupakan pusat perdagangan kekayaan bahari dan wisata pantai dari sini kita sedikit bergeser ke barat ada Kecamatan Blanakan yang merupakan tempat penangkaran binatang buas yaitu buaya belum lagi mengenai masalah kesenian, berupa sisingaan, jaipongan, dogdog tagog, gemyung, genjring, doger, toleat dll.
Sabtu 24 November 2012 bertepatan dengan HUT PGRI ke-67, Dinas Kebudayaan Pariwisata - Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kabupaten Subang mengadakan kegiatan dan syaembara untuk menggali batik khas Subang, selain dari itu acara ini juga di meriahkan dengan lomba lukis cinta batik oleh beberapa anak-anak PAUD yang ada di Kabupaten Subang, festival UKM, dan pemberian bibit pohon kepada tamu undangan acara tersebut. Kegiatan ini pula dihadiri oleh Ibu Gubernur Jawa Barat.


Berbicara mengenai judul yang ditunjukan di atas kira-kira batik seperti apakah yang bisa mewakili semua potensi dan identitas yang ada di Kabupaten Subang? Apakah anda bingung? Saya pun demikian. Akan tetapi walaupun beda-beda potensi, Subang adalah Subang sampai kapan pun merupakan kota tempat saya di lahirkan.

Dibalik Pasca Kebakaran Pasar Tradisional Pagaden “Ada Kisah dan Kasih yang Penting untuk di Baca”



Ditengah himpitan dan semakin tergesernya pasar tradisional oleh swalayan dan mal-mal modern. Pasar tradisional masih tetap eksis dan merupakan pilihan utama bagi masyarakat, walaupun berbagai permasalahan dari mulai kebersihan dan kerapihan masih jadi persoalan. Pasar tradisional merupakan tempat di mana orang bisa bertemu dan menjalin hubungan silaturahmi yang panjang. Sebut saja Ma Jusih (83) seorang nenek yang sudah tua tetapi dia masih mengenal para pedagang langganannya bahkan cenderung “diwariskan” kenalannya tersebut kepada anak dan cucunya agar setia untuk membeli kepada kios kenalannya tersebut. Begitu pula sebaliknya biasanya para penjual kenalan yang semasa dan seumuran Ma Jusih sudah tidak menunggu kiosnya lagi, melainkan anak bahkan cucunya yang menggantikan untuk menjaga kios langganannya.
Didi (23) cucu Ma’ Jusih sesekali ia suka mengantar neneknya tersebut untuk membeli keperluan dapur disaat musim kerja di sawah, munggahan dan sebelum hari raya tiba. Biasanya yang dibeli berupa cabe rawit, terasi, ikan asin, beberapa bumbu dapur, minyak sayur dan ikan pindang serta kue. Didi tak perlu repot untuk menunjukan kepada neneknya dimana saja tempat-tempat yang berjualan keperluan neneknya tersebut karena neneknya sudah tahu di mana tempat-tempat yang harus ia kunjungi, yang harus didi lakukan adalah menyiapkan sedikit tenaga untuk menjinjing dan tangan penuh dengan gantungan kantong pelastik berisi barang dan bahan yang sudah neneknya beli.
Begitu pula dengan ibunya Didi, setiap ia mengantar ibunya ke pasar pasti ke tempat-tempat yang biasa nenek pergi membeli keperluan dapur, di depan toko tersebut baik nenek atau pun ibu selalu bercengrama dan bergurau akrab dengan pedagang langganannya. Kondisi seperti itu menggambarkan seperti ada ikatan batin yang kuat antar keduanya dan setiap ada orang baru yang diajak berbelanja seperti Didi bahkan cucu pemilik toko tersebut pasti mereka perkenalkan dan diperkenalkan di kios tempat pasar yang kini terkena musibah kebakaran itu.
Inilah bangunan yang terbakar di pasar tradisional pagaden, terlihat orang-orang pemilik pasar sedang membersihkan puing-puing bangunan sisa kebakaran kemarin malam.

(Puing bangunan pasar sisa kebakaran)

(Pemilik pasar membersihkan puing reruntuhan bangunan pasar)


Kini pasar impress pagaden sudah hangus dan sebagian toko langganan nenek pun terbakar, akan tetapi di hati mereka rasa kekeluargaan dan kasih sayang tidak akan pernah terbakar seperti dahsyatnya api yang meluluhlantahkan bangunan pasar tradisional tersebut pada hari selasa pagi 27 Novvember 2012.

“Siapakah Ibu MARTIN?”




Sosok wanita yang mempunyai sekarung uang ini kini sedang dicari tahu oleh masyarakat petani sawah (padi) yang ada di Kampung Cipacar Desa Padamulya. Ibu Martin begitulah gosip dan bahan pembicaraan setiap warga yang ada di kampung yang sekarang sedang bersitegang antara warga yang tidak ingin sawahnya terkena gusuran lahan pabrik karena sawah tersebut merupakan lahan teknis dengan Kepala Desa Padamulya yang cenderung memaksa agar tanah warga dijual kepada sang investor, ada yang mengaku bahwa yang membeli sawah mereka adalah Ibu Martin. Akan tetapi semua itu belum jelas dan belum jelas pula untuk bangunan apa lahan pesawahan tersebut dipergunakan.
Menurut beberapa pengakuan warga menuturkan bahwa yang memberi DP atau Uang Muka pembayaran sawah tersebut kepada beberapa orang petani Kampung Cipacar adalah Ibu Martin dan Kepala Desa Padamulya hanya sebagai pelantara saja. Entah berapa harga yang sebenarnya, akan tetapi petani hanya menerima uang harga Rp.500.000-Rp.700.000 / bata (itungan orang kampong Cipacar) atau 14 Meter x 1 Meter (1 Bata). Menurut beberapa pengakuan warga Desa Padamulya sebenarnya kepala desa yang sekarang masih duduk sebagai Kepala Desa Padamulya sudah habis masa jabatannya dan sudah harus dilakukan pemilihan kepala desa yang baru dan ada pula sebagian warga yang mengatakan bahwa sekarang kepala desa bukan sosok seorang kepala desa yang melindungi dan melayani masyarakatnya tetapi sudah menjelma sebagai pembisnis. Ungkapan-ungkapan masyarakat di atas menggambarkan kekecewaan dan pertanda bahwa sosok kepala desa mereka sudah bukan harapan mereka lagi, seharusnya seorang kepala desa merasa bahwa apa yang dilakukannya salah dan harus segera diperbaiki agar segala urusan dan pembangunan desa dan masyarakat lebih terarah lagi bukan mengurusi hal-hal yang jauh dari tujuan dan harapan masyarakat banyak.
Kepala desa adalah pemimpin yang ditunjuk langsung oleh masyarakat dan oleh karena itu harus bisa menjadi teladan yang baik dan bisa memimpin masyarakatnya menjadi masyarakat yang cerdas bukan dibodoh-bodohi dengan selembaran uang kertas yang jauh lebih berharga daripada jengkalan demi jengkalan tanah untuk menghidupi anak cucu kita di dalam keadaan pemerintah Indonesia yang sedang krisis pangan ini. Dan untuk investor atau calo atau siapa pun jangan pernah bermain api sebaiknya evaluasi diri dan jangan pernah menjadi orang yang serakah karena serakah adalah sumber kehancuran. Camkan itu dalam hati kalian,,!!

Melawan Patok Merah Sang Pengusaha dan Penguasa Desa


Arna (64) Seorang ketua Rt dan seorang petani penggarap di Desa Padamulya mencabuti patok-patok merah yang menancap dalam di area pesawahannya. Keberaniannya harus mendapatkan acungan empat jempol. Ketika petani yang lainnya takut dan tidak bisa berkutik karena tidak bisa melawan kepada apartur desa, Arna mencoba menjadi sosok pemimpin yang baik.
Arna (64) adalah seorang ketua Rt.03/01 Desa Padamulya, dia dipercaya oleh majikannya orang bandung untuk mengurusi sawah yang luasnya tidak seberapa luas. Keberanian Arna mencabuti sehari sesudah patok itu ditancapkan. Hal serupa juga dilakukan oleh Rukmini (35) seorang ibu rumah tangga dan pemilik lahan pertanian ikut serta mencabuti bahkan menegur beberapa oknum pegawai desa yang melakukan pengukuran lahan secara diam-diam dan tidak mendapati izin dari pemilik lahan tersebut. Bahkan seorang ibu rumah tangga ini berani mengkritik habis-habisan oknum pegawai desa atas suruhan penguasa desa.
Rukmini dan petani desa Padamulya lainnya yang memiliki lahan pertanian di blok Rancabeureum ini sepakat untuk tidak menjualnya. Rukmini dan yang lainnya menolak bukan berarti karena harga jualnya rendah sekitar Rp.700.000-Rp.800.000/bata, melainkan karena ia tidak ingin jika lahan pertaniannya menjadi pabrik dan ingin tetap menjadi lahan pesawahan. Rukmini menceritakan jerih payahnya ketika mendapatkan sawahnya tersebut, ia rela menjadi TKI ke Negri Gingseng (Korea) dengan meninggalkan suami dan anaknya yang baru berusia tahun waktu itu. Selama tiga tahun di Korea ia berkorban dan berjuang untuk dapat menghidupi diri sendiri dan memiliki kehidupan layak di kampungnya dan ia pun berhasil. Berkat jerih payahnya selama di Korea ia dapat membeli beberapa petak sawah (padi) yang sekarang sedang di garap kurang lebih  selama tujuh tahun.
Mendengar sawahnya termasuk kedalam area lahan yang akan dijadikan pabrik dan sudah dilakukannya pembelian secara paksa terhadap beberapa komplek pesawahan di blok rancabeuereum-gardulangkap Rukmini dengan tegas menyatakan sikap bahwa tidak akan menjualnya kepada siapa pun. Walaupun banyak orang yang menganggap bahwa dirinya ingin sawahnya dibeli dengan harga tinggi akan tetapi Arna, Rukmini dan beberapa petani lainnya tetap tidak ingin menjual tanah tersebut.
Petani yang tidak menjual lahannya sudah mencoba berdialog dengan pemerintah desa akan tetapi mendapati kebuntuan dan tetap keputusan dari oknum desa harus menjualnya, dan kemudian para petani yang ada di Kampung Cipacar ini melakukan Audiensi dengan Anggota DPRD Kabupaten Subang pada tanggal 26 November 2012. Semua pihak yang ada di Desa Padamulya ingin mendapatkan keputusan yang terbaik dan mempertimbangkan setiap kebijakan dan keputusan harus merujuk kepada Peraturan Daerah mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerahnya masing-masing, dan lebih mengedepankan moralitas bukan uang dan jabatan.

KEMESRAAN RAKYAT DAN WAKIL RAKYAT “Antara Petani Desa Padamulya yang Mengadu ke DPRD Subang”


Abstraksi
Rencana alih fungsi lahan dari sawah (padi) menjadi sebuah bangunan (pabrik) yang telah meluas di kalangan Petani Desa Padamulya Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang telah menimbulkan masalah baru dalam hal ketahanan pangan dan analisis dampak lingkungan yang bertentangan dengan Perda No.2 Tahun 2004 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Subang. Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Subang yang baru belum dikeluarkan dan masih dalam penggodokan pemerintah Provinsi Daerah Jawa Barat. Akan tetapi pada kenyataannya Pemerintah Desa (Kepala Desa) telah memberi izin bahkan melakukan pembebasan lahan sawah (padi) milik petani Desa Padamulya secara “paksa” kepada investor yang di koordinir langsung olehnya. Hal ini kemudian memunculkan konflik horizontal antar petani yang pro dan yang kontra lahan sawahnya (padi) untuk di jual. Akhirnya mereka mengadukan permaslahan tersebut ke DPRD Kabupaten Subang.

Audiensi dengan Anggota DPRD Kabupaten Subang
Senin (26/11/2012) di Ruang Sidang DPRD Kabupaten Subang telah terjadi sebuah pertemuan antara Petani Desa Padamulya dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Subang. Petani desa yang diwakili oleh petani penggarap dan buruh tani melakukan audiensi dengan anggota dewan. Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh Wakil Ketua DPRD H.Rijal dan anggota Komisi B yang di wakili oleh Sarmita (F.PD), H.Encep (F.PKS), Pepe (F.PDIP) dan dua orang anggota komisi B lainnya.
Audiensi yang dipimpin langsung oleh Atna (73) salah satu tokoh masyarakat dan sebagai petani penggarap lahan sawah (padi) di desa Padamulya mendapat sambutan yang hangat dari anggota dewan. Adapun yang menjadi bahan pengaduan permaslahan yang terjadi di Desa padamulya yaitu terkait dengan pembebasan dan pembelian secara “paksa” yang dilakukan oleh oknum kepala desa setempat terhadap lahan sawah (padi) yang mereka miliki kepada pemilik modal. Rencananya lahan seluas puluhan hektar tersebut akan dijadikan pabrik yang sampai saat ini masih dirahasiakan untuk apa dan pabrik apa. Tapi yang jelas Atna (73) mengungkapkan bahwa telah terjadi intimidasi-intimidasi oleh aparatur desa yaitu salah satu oknum Ulu-ulu Desa dan Kadus (Kepala Dusun) di Kampung Cipacar terhadap petani yang mempertahankan tanahnya untuk tidak di jual.

Lebih jelas Atna (73) menguraikan beberapa intimidasi-intimidasi yang dilakukan oleh beberapa aparatur desa diantaranya adalah:
1.    Pemagaran lahan sawah (padi) dengan tidak diberikannya jalan akses masuk.
2.    Tidak diberikannya air irigasi untuk mengairi sawah (padi) mereka yang menolak.
3.    Pengukuran dan pematokan (patok merah) lahan sawah (padi) dengan tidak melibatkan pemilik lahan sawah (padi) atau petani penggarap.
Hal di atas membuat Atna dan sejumlah petani lainnya geram dan mengadukannya ke Anggota DPRD Kabupaten Subang, “seharusnya sebelum adanya berita pembebasan dan pembelian lahan pesawahan tersebut ada kumpulan atau musyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat terutama dengan pemilik lahan dan buruh tani yang ada bukan dengan cara dipanggil perorangan dan dipropokatori untuk dijual dengan alasan yang lain sudah dijual padahal pada kenyataannya belum bahkan tidak akan dijual” Jelas Atna. DPRD Kabupaten Subang berjanji akan meninjau langsung lokasi tersebut. “Kami beserta anggota lainnya akan melihat lokasi tersebut secara langsung, kemungkinan minggu depan jika tidak hari selasa kemungkinan rabu (04-05 Desember 2012)” tutur Sarmita salah satu Anggota Dewan Komisi B dari Fraksi Partai Demokrat.
Selain dari itu petani desa Padamulya yang memiliki lahan sawah di komplek Rancabeureum (sebelah barat kampung Cipacar) yang menjadi area pembebasan lahan mengaku telah mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan terhadap masyarakat dan terjadi konflik sosial antara yang sudah di panjer (diberikan uang DP) yang berniat menjual lahannya dengan petani yang benar-benar menolak untuk di jual. “Petani Padamulya harus kompak dan bersama-sama menyelesaikan masalah ini dengan kepala desa” ujar Encep (Anggota komisi B dari Fraksi PKS) selain itu Encep juga menambahkan “jika sudah adanya intimidasi-intimidasi seperti itu berarti sudah masuk ke ranah hukum dan akan kami ajukan kepada komisi A untuk kemudian di tindak lanjuti”. Bisa jadi Kepala Desa dan beberapa oknum aparatur desa tersebut masuk penjara karena masalah ini. Sebenarnya ada 11.200 Ha yang sudah dicanangkan oleh pemerintah daerah sebagai kawasan atau lokalisasi kawasan industry akan tetapi belum dirinci secara jelas daerah mana saja yang termasuk sebagai kawasan industri tapi yang jelas kecamatan Pabuaran merupakan salah satunya.
Kini petani di desa Padamulya menunggu dan berharap mendapatkan perlindungan dari anggota dewan dan ada tindak lanjut dari pelaporan dan pengaduan masalah ini, agar tidak adanya penyesalan dan kebijakan-kebijakan yang merugikan semua pihak terutama petani kecil.