Jumat, 31 Januari 2014

"PERSELINGKUHAN KAPITALIS DAN PENGUASA SUBANG" menghasilkan Bangsa KULI




Oleh: Didi S Sopyan (Sejarah-UPI)
Era modernisasi dan globalisasi telah nampak dan sungguh-sungguh berpengaruh terhadap kehidupan bangsa Indonesia. Secara historis dan sosio-kultural pembangunan bangsa dan pembangunan karakter (nation and character building) merupakan komitmen para pemimpin bangsa sejak dahulu hingga sekarang. Hal tersebut tercermin dalam kata-kata mutiara Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), Proklamasi (17 Agustus 1945), pembukaan UUD 1945, dan tercermin pula dalam lagu kebangsaan Indonesia.
Bahkan Presiden Ir.Soekarno pernah meneriakannya pada pidatonya tanggal 17 Agustus 1962 mengenai caracter building yang dikaitkan dengan perjuangan pembebasan Irian Barat dari penjajah Belanda (Seokarno, 1965: 498). Kata-kata “Jas Merah” bung Karno pun, mungkin hanya menjadi jargon belaka. Padahal di era transisi demokrasi ini, bangsa Indonesia telah dihadapkan pada berbagai fenomena sejarah, seperti nasionalisme ekonomi, etika sosial, pengaruh globalisasi, dan kemajuan teknologi, degradasi lingkungan, lokalisme demokrasi, dan multikulturalisme. Semua masalah tersebut merupakan tantangan berat dan revitalisasi karakter bangsa bagi pengajar Sejarah.
Presiden Soekarno juga pernah berpesan kepada para pewaris bangsa ini, agar senantiasa berhati-hati dengan istilah neokolonialisme yang merupakan bentuk penjajahan baru, bukan penjajahan secara fisik dengan menggunakan senjata. Akan tetapi bentuk penjajahan ini lebih kejam dan menyengsarakan. Adapun bentuk-bentuk atau ciri-ciri dari penjajahan seperti ini diantaranya seperti penjajahan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dari semua tadi yang sudah disebutkan nampaknya bangsa Indonesia sedang mengalaminya bahkan sudah hampir mndekati tahap kehancuran terutama karakter bangsa Indonesia.
Dari segi budaya, nampak generasi muda lebih senang dengan budaya asing yang cenderung membawa generasi muda ke arah yang tidak sesuai dengan nilai dan norma budaya bangsa. Sedangkan dari segi sosial, kebiasaan bergotong-royong yang dulu erat kini kian meluntur dengan sendirinya. Apalagi dalam segi politik, telah nampak sekali mereka yang berdebat kusir lebih mementingkan diri sendiri dan golongan dari pada mementingkan rakyatnya. Dari segi ekonomi lebih parah lagi, jika dihitung berapa BUMN dan BUMD yang dulu kokoh kini mulai rapuh dan hilang diambil alih oleh pihak asing bahkan pemilik sahamnya pun sekarang sudah didominasi oleh pihak luar. Bukan hanya itu, jerawat-jerawat (pabrik-pabrik) yang dulu tinggal di perkotaan kini merambah ke desa-desa terpencil. Ketakutan Presiden Soekarno telah nyata, bahwa jika karakter bangsa ini tidak dibangun, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa KULI.
Bangsa ini, bangsa kuli. Menjadi tamu di rumahnya sendiri. Sedih memang, terlebih lagi melihat perubahan yang sangat dramatis dari negara yang pernah disebut negara swasembada beras pada tahun 1984-1985 kini berubah menjadi negara yang krisis pangan. Bukan hanya krisis pangan tapi juga krisis karakter dan jati diri bangsa. Apakah ini merupakan jawaban dari hipotesis kembarnya Cliford Geertz tentang “Involusi Pertanian” dan “Berbagi Kemiskinan”? melihat adanya hubungan peran patron-klien pada masyarakat petani di pedesaan dan para penanam modal yang berinvasi ke desa-desa dalam membeli tanah secara paksa dengan memanfaatkan kelemahan dan kebodohan para petani dan penguasa desa.
Sebagai contoh lahan pesawahan teknis yang ada di Desa Padamulya khususnya di Kampung Cipacar kini nasibnya sudah di ujung tanduk. Sekali lagi ini adalah bentuk kegagalan parawakil rakyat dan pemerintah dalam mempertahankan kepentingan rakyat terutama golongan petani dan buruh tani yang ada di Kabupaten Subang. Sudah seharusnya DPRD Kabupaten Subang, BPMP Kabupaten Subang, Bupati Subang dan pemerintahan terkait bersinergi mendukung kepentingan wong cilik bukan mementingkan para neokolonial yang sudah tentu menyusahkan para petani yang ada di pedesaan. Haruslah menjadi catatan bagi kita semua adalah:
“Jumlah penduduk di Indonesia terutama di Kabupaten Subang, semakin hari semakin meningkat. Dan semakin banyak pula mulut yang harus di isi nasi, sedangkan nasi itu terbuat dari beras yang dihasilkan oleh petani. Lahan pertanian semakin hari semakin sempit dan tidak pernah bertambah, jika semakin sempit produksi gabah pun akan sedikit dan yang menjadi permasalahannya jumlah mulut yang banyak tadi mau dikasih makan apa?”
Dengan rencana akan dibangunnya sebuah pabrik yang di sponsori oleh BGI (disamarkan), apakah berdampak pada produksi beras? Dengan lantang saya menjawab TIDAK. Dan satu-satunya cara yang terbaik adalah menolak dan menasionalisasi lahan garapan yang sudah dibeli secara paksa. Mari kita menanam padi, mari kita menjadi seorang petani yang bekerja setulus hati memberi makan para pejabat yang baik hati, semoga apa yang kalian usahakan menjadi berkah bagi bangsa ini. Jika hal ini dibiarkan tunggu saja pada saatnya nanti akan banyak “ongkreng-ongkreng” yang mengacau karena lapar. Dan yang sudah pasti BGI tidak akan tahu menahu masalah perut rakyat yang lapar, bahkan cenderung menginginkan bangsa ini mati kelaparan. Karena ketika perut rakyat yang lapar tidak di isi, maka akan banyak tingkat kriminalitas dan membludaknya angka kelahiran yang secara drastis menghancurkan bangsa ini dengan sendirinya.
Saya sebenarnya tidak setuju dengan nama BGI, mengapa harus ada nama negara saya, padahal pemilik aslinya bukan milik bangsa ini. Akan tetapi kita perlu berikan tepuk tangan dengan teknik yang baiknya dengan memanfaatkan kondisibangsa Indonesia yang sedang dihinggapi penyakit “socio-cultural animosity”, yaitu gejala munculnya kebencian sosial budaya terselubung. Gejala ini muncul semakin menjadi-jadi akibat dari reformasi, saya bukan seorang anti reformasi. Akan tetapi saya mencoba menyebutkan fakta sejarah kondisi sosial bangsa ini setelah terjadinya reformasi banyak terjadi konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial, kampung bahkan di Kampung Cipacar Desa Padamulya sendiri dipetakan oleh aktor intelektual yang menimbulkan konflik horisontal, antara rakyat kecil, sehingga konflik yang terjadi bukan konflik yang korelatif tetapi destruktif (bukan fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi bangsa “self destroying nation”. Sehingga konflik pun tidak hanya bersifat “manifest conflict” tetapi juga “latent conflict” antar berbagai golongan dan ini yang paling berbahaya.
Untuk mengatasi masalah tersebut hendaklah, rakyat Subang bergotong-royong yang bukan hanya semboyan belaka yang selalu digembor-gemborkan dengan jargonnya “Rakyat Subang Gotong-Royong, Subang Maju” tetapi juga harus dengan langkah kongkrit, ini dimulai dengan cara memberikan pengajaran di sekolah terutama sejarah yang bukan selalu membanggakan kejayaan di masa lalu, tetapi juga harus dipelajari secara utuh fungsi sejarah untuk masa sekarang dan masa yang akan datang dengan cara pendidikan terutama pendidikan karakter. Saya memiliki sebuah kutipan yang menarik dari Alexis de Toqueville (Branson, 1998: 2) :
“... each new generationis a new people that must acquirethe knowledge, learn the skills,and develop the dispositions or traits of private and public characterthat undergird a constitutional democracy. Those dispotitions must be fostered and nurtured by word and study and by the power of example. Democracy is not a ‘manchine that would go of itself,’ but must be conciously reproduced, one generation after another”.
Tidak ada tugas yang paling penting dari membangun karakter bangsa selain dari pembelajaran  sejarah, karena belajar sejarah dapat membangkitkan nasionalisme, dan dapat mengambil pelajaran-pelajaran dari perjuangan bangsa sendiri maupun bangsa lain yang lebih menciptakan tuntutan moralitas seperti yang telah diteriakan dalam Revolusi Prancis; “Liberte, Egalite, Franternite”. Agar bangsa ini tidak kehilangan segalanya seperti kata-kata yang terdapat dalam lukisan karya A.D. Pirous yag berjudul The Nightmare of Loosing
You lose your wealth, you lose nothing
You lose your helat, you lose something
You lose your character, you lose everything
Salam, senyum, dan semangat dari saya
Untukmu wahai sang pejuang, tetesan darahmu masih membekas dihati, sampai mati pun aku bela dan tak rela jika bangsa ini menjadi bangsa KULI. Teruntuk kakekku (Alm.Sarlan bin Sarjim), seorang marhaen sejatiJ
DIDI S SOPYAN (Sejarah - UPI)

Tidak ada komentar: