Oleh: Didi S Sopyan (Sejarah-UPI)
Era
modernisasi dan globalisasi telah nampak dan sungguh-sungguh berpengaruh
terhadap kehidupan bangsa Indonesia. Secara historis dan sosio-kultural
pembangunan bangsa dan pembangunan karakter (nation and character building) merupakan komitmen para pemimpin
bangsa sejak dahulu hingga sekarang. Hal tersebut tercermin dalam kata-kata
mutiara Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), Proklamasi (17 Agustus 1945),
pembukaan UUD 1945, dan tercermin pula dalam lagu kebangsaan Indonesia.
Bahkan
Presiden Ir.Soekarno pernah meneriakannya pada pidatonya tanggal 17 Agustus
1962 mengenai caracter building yang
dikaitkan dengan perjuangan pembebasan Irian Barat dari penjajah Belanda
(Seokarno, 1965: 498). Kata-kata “Jas Merah” bung Karno pun, mungkin hanya
menjadi jargon belaka. Padahal di era transisi demokrasi ini, bangsa Indonesia
telah dihadapkan pada berbagai fenomena sejarah, seperti nasionalisme ekonomi,
etika sosial, pengaruh globalisasi, dan kemajuan teknologi, degradasi
lingkungan, lokalisme demokrasi, dan multikulturalisme. Semua masalah tersebut
merupakan tantangan berat dan revitalisasi karakter bangsa bagi pengajar
Sejarah.
Presiden
Soekarno juga pernah berpesan kepada para pewaris bangsa ini, agar senantiasa
berhati-hati dengan istilah neokolonialisme
yang merupakan bentuk penjajahan baru, bukan penjajahan secara fisik dengan
menggunakan senjata. Akan tetapi bentuk penjajahan ini lebih kejam dan
menyengsarakan. Adapun bentuk-bentuk atau ciri-ciri dari penjajahan seperti ini
diantaranya seperti penjajahan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan
budaya. Dari semua tadi yang sudah disebutkan nampaknya bangsa Indonesia sedang
mengalaminya bahkan sudah hampir mndekati tahap kehancuran terutama karakter
bangsa Indonesia.
Dari
segi budaya, nampak generasi muda lebih senang dengan budaya asing yang
cenderung membawa generasi muda ke arah yang tidak sesuai dengan nilai dan
norma budaya bangsa. Sedangkan dari segi sosial, kebiasaan bergotong-royong
yang dulu erat kini kian meluntur dengan sendirinya. Apalagi dalam segi politik,
telah nampak sekali mereka yang berdebat kusir lebih mementingkan diri sendiri
dan golongan dari pada mementingkan rakyatnya. Dari segi ekonomi lebih parah
lagi, jika dihitung berapa BUMN dan BUMD yang dulu kokoh kini mulai rapuh dan
hilang diambil alih oleh pihak asing bahkan pemilik sahamnya pun sekarang sudah
didominasi oleh pihak luar. Bukan hanya itu, jerawat-jerawat (pabrik-pabrik)
yang dulu tinggal di perkotaan kini merambah ke desa-desa terpencil. Ketakutan
Presiden Soekarno telah nyata, bahwa jika karakter bangsa ini tidak dibangun,
maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa KULI.
Bangsa
ini, bangsa kuli. Menjadi tamu di rumahnya sendiri. Sedih memang, terlebih lagi
melihat perubahan yang sangat dramatis dari negara yang pernah disebut negara
swasembada beras pada tahun 1984-1985 kini berubah menjadi negara yang krisis
pangan. Bukan hanya krisis pangan tapi juga krisis karakter dan jati diri
bangsa. Apakah ini merupakan jawaban dari hipotesis kembarnya Cliford Geertz
tentang “Involusi Pertanian” dan “Berbagi Kemiskinan”? melihat adanya hubungan
peran patron-klien pada masyarakat petani di pedesaan dan para penanam modal
yang berinvasi ke desa-desa dalam membeli tanah secara paksa dengan
memanfaatkan kelemahan dan kebodohan para petani dan penguasa desa.
Sebagai
contoh lahan pesawahan teknis yang ada di Desa Padamulya khususnya di Kampung
Cipacar kini nasibnya sudah di ujung tanduk. Sekali lagi ini adalah bentuk
kegagalan parawakil rakyat dan pemerintah dalam mempertahankan kepentingan
rakyat terutama golongan petani dan buruh tani yang ada di Kabupaten Subang. Sudah
seharusnya DPRD Kabupaten Subang, BPMP Kabupaten Subang, Bupati Subang dan
pemerintahan terkait bersinergi mendukung kepentingan wong cilik bukan mementingkan para neokolonial yang sudah tentu
menyusahkan para petani yang ada di pedesaan. Haruslah menjadi catatan bagi
kita semua adalah:
“Jumlah penduduk di Indonesia terutama di Kabupaten
Subang, semakin hari semakin meningkat. Dan semakin banyak pula mulut yang
harus di isi nasi, sedangkan nasi itu terbuat dari beras yang dihasilkan oleh
petani. Lahan pertanian semakin hari semakin sempit dan tidak pernah bertambah,
jika semakin sempit produksi gabah pun akan sedikit dan yang menjadi
permasalahannya jumlah mulut yang banyak tadi mau dikasih makan apa?”
Dengan
rencana akan dibangunnya sebuah pabrik yang di sponsori oleh BGI (disamarkan), apakah berdampak pada produksi beras? Dengan lantang saya menjawab
TIDAK. Dan satu-satunya cara yang terbaik adalah menolak dan menasionalisasi
lahan garapan yang sudah dibeli secara paksa. Mari kita menanam padi, mari kita
menjadi seorang petani yang bekerja setulus hati memberi makan para pejabat yang
baik hati, semoga apa yang kalian usahakan menjadi berkah bagi bangsa ini. Jika
hal ini dibiarkan tunggu saja pada saatnya nanti akan banyak
“ongkreng-ongkreng” yang mengacau karena lapar. Dan yang sudah pasti BGI tidak akan tahu menahu masalah perut rakyat yang lapar, bahkan
cenderung menginginkan bangsa ini mati kelaparan. Karena ketika perut rakyat
yang lapar tidak di isi, maka akan banyak tingkat kriminalitas dan membludaknya
angka kelahiran yang secara drastis menghancurkan bangsa ini dengan sendirinya.
Saya
sebenarnya tidak setuju dengan nama BGI, mengapa harus ada
nama negara saya, padahal pemilik aslinya bukan milik bangsa ini. Akan tetapi
kita perlu berikan tepuk tangan dengan teknik yang baiknya dengan memanfaatkan
kondisibangsa Indonesia yang sedang dihinggapi penyakit “socio-cultural animosity”, yaitu gejala munculnya kebencian sosial
budaya terselubung. Gejala ini muncul semakin menjadi-jadi akibat dari
reformasi, saya bukan seorang anti reformasi. Akan tetapi saya mencoba
menyebutkan fakta sejarah kondisi sosial bangsa ini setelah terjadinya
reformasi banyak terjadi konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial,
kampung bahkan di Kampung Cipacar Desa Padamulya sendiri dipetakan oleh aktor
intelektual yang menimbulkan konflik horisontal, antara rakyat kecil, sehingga
konflik yang terjadi bukan konflik yang korelatif tetapi destruktif (bukan
fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi bangsa “self destroying nation”. Sehingga
konflik pun tidak hanya bersifat “manifest
conflict” tetapi juga “latent
conflict” antar berbagai golongan dan
ini yang paling berbahaya.
Untuk
mengatasi masalah tersebut hendaklah, rakyat Subang bergotong-royong yang bukan
hanya semboyan belaka yang selalu digembor-gemborkan dengan jargonnya “Rakyat
Subang Gotong-Royong, Subang Maju” tetapi juga harus dengan langkah kongkrit,
ini dimulai dengan cara memberikan pengajaran di sekolah terutama sejarah yang
bukan selalu membanggakan kejayaan di masa lalu, tetapi juga harus dipelajari
secara utuh fungsi sejarah untuk masa sekarang dan masa yang akan datang dengan
cara pendidikan terutama pendidikan karakter. Saya memiliki sebuah kutipan yang
menarik dari Alexis de Toqueville (Branson, 1998: 2) :
“... each new
generationis a new people that must acquirethe knowledge, learn the skills,and
develop the dispositions or traits of private and public characterthat
undergird a constitutional democracy. Those dispotitions must be fostered and
nurtured by word and study and by the power of example. Democracy is not a
‘manchine that would go of itself,’ but must be conciously reproduced, one
generation after another”.
Tidak
ada tugas yang paling penting dari membangun karakter bangsa selain dari
pembelajaran sejarah, karena belajar
sejarah dapat membangkitkan nasionalisme, dan dapat mengambil
pelajaran-pelajaran dari perjuangan bangsa sendiri maupun bangsa lain yang
lebih menciptakan tuntutan moralitas seperti yang telah diteriakan dalam
Revolusi Prancis; “Liberte, Egalite,
Franternite”. Agar bangsa ini tidak kehilangan segalanya seperti kata-kata
yang terdapat dalam lukisan karya A.D. Pirous yag berjudul The Nightmare of Loosing
You lose your wealth, you
lose nothing
You lose your helat, you
lose something
You lose your character,
you lose everything
Salam,
senyum, dan semangat dari saya
Untukmu
wahai sang pejuang, tetesan darahmu masih membekas dihati, sampai mati pun aku
bela dan tak rela jika bangsa ini menjadi bangsa KULI. Teruntuk kakekku
(Alm.Sarlan bin Sarjim), seorang marhaen sejatiJ
DIDI
S SOPYAN (Sejarah - UPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar