Sabtu, 07 Mei 2011

PERADABAN INDIA

Pusat Kebudayaan India

A. Pengantar
Penemuan kebudayaan di dua kota Indus yaitu Mohenjo Daro dan Harappa, merupakan asal-usul peradaban India dan membuktikan bahwa peradaban India sudah berumur sangat tua yakni 1000 tahun sebelum invasi bangsa Arya ke India. Bangsa yang mendirikan kota Mohenjo Daro dan Harappa itu adalah penduduk yang sudah ada di India sebelum datangnya bangsa Arya. Penduduk tersebut mempunyai warna kulit yang lebih gelap dari warna kulit yang lebih gelap dari warna kulit bangsa Arya dan penduduk tersebut lebih maju, lebih canggih dan secara etimologi penduduk tersebut lebih dewasa dibanding dengan bangsa Arya.

Geografis India
Kawasan negara India hampir mencapai luas 1.221.007 meter persegi atau hampir menyamai wilayah negara-negara Eropa tanpa Rusia. India mempunyai kedudukan yang penting dalam peta dunia. Dari segi bentuknya, India menyerupai benua Afrika, seperti sebuah segitiga yang garis-garisnya tidak beraturan, garis dasarnya di sebelah atas dan garis puncaknya di sebelah bawah. Garis dasarnya adalah pegunungan Himalaya yang tinggi yang puncaknya adalah Cape Comarin (Mount Everest). India adalah sebuah negara yang tertutup sebagaimana yang disebutkan oleh para peneliti. Kedua garis tepinya di sebelah timur dan di sebelah barat dikelilingi oleh lautan. Sementara itu garis datar di sebelah utara didereti oleh rangkaian pegunungan Himalaya serta pegunungan Sulaiman, juga diapit oleh dua batang sungai besar, yaitu Sungai Indus (Sind) yang berhulu di pegunungan Himalaya kemudian bertemu dengan sungai-sungai Punjab dan bermuara di Teluk Arab (Teluk Parsi) dan sungai Gangga yang juga berhulu di pegunungan Himalaya dan bermuara di Teluk Benggala setelah bertemu dengan sungai Brahmaputra (Ahmad Shalaby, 2001: 1-3)

B. Kebudayaan Lembah Sungai Indus
Coba perhatikan peta berikut ini. Di situ ada dua buah kota, yaitu Mohenjodaro dan Harappa. Kedua kota itu terletak di Lembah Sungai Indus. Di kedua tempat itu dijumpai salah satu peninggalan kebudayaan tertua di dunia. Kedua kota itu sekarang masuk wilayah Pakistan.

Peta India kuno

Tentang masa purba India diketahui dari berbagai studi arkheologis yang dilakukan oleh para sarjana barat maupun yang juga dilakukan oleh para sarjana India sendiri. Studi tertua ialah membawa kita ke India di masa Inter glasial II, sekitar 400.000 hingga 200.000 SM, berdasarkan temuan berupa jenis perbatuan pada lapisan tanah di kawasan India. Ungkapan mengenai sejarah manusia di kawasan itu barulah terlihat ketika ditemukan sejumlah peninggalan purba di lembah Indus, yang membuat para ahli menyebutkan adanya peradaban lembah Indus yang terkenal juga dengan nama peradaban Harappa dan Mohenjodaro di sekitar 2300 SM. Letak pusat kebudayaan lembah Indus tepatnya di daerah perbukitan Baluchistan, yang menghasilkan kebudayaan nal, dengan pantai makran hingga sisi barat delta Indus, yang menghasilkan kebudayaan Kulli. Juga terdapat di sepanjang sungai-sungai di Rajastan serta Panjab. Yang dimaksud dengan kebudayaan Harappa meliputi daerah Panjab, Indus dan rajastan, semuanya itu lebih terkenal dengan nama kebudayaan-kebudayaan Harappa dan Mohenjodaro. Kebudayaan Harappa ini sangat intensipf dalam upaya penggaliannya yang meliputi tidak hanya daerah Panjab dan Indus saja, namun sampai ke daerah Rajastan utara dan Kathiawar di bagian barat India. Kebudayaan itu tersebar luas di kawasan lembah Indus itu. Harappa dan Mohenjodaro berjarak lebih kurang 800 km, dan kebanyakan tempat terletak di sepanjang aliran sungai Indus sampai ke Hyderabad sekarang, yaitu sekitar 200 km ke selatan, di Baluchistan dan Makran 300 km ke sebelah barat, dan sampai ke utara Rupar pada sungai Sutlej di kaki bukit Simla. Dalam penggalian terbaru telah dapat ditemukan sejumlah kota. Dalam penggalian terbaru telah dapat ditemukan sejumlah kota kuno lain, yaitu Kot Diji (di daerah sungai Indus), Kalibbangan (di daerah Rajastan), Rupar (di daerah Panjab), dan di kota pelabuhan Lothal (di daerah Gujarat). Namun kedua kota yang pertamalah yang lebih penting dipandang dari segi arkhaelogi. Studi lebih mendalam mengenai kebudayaan kuno itu telah dilakukan oleh para sarjana seperti Sir John Marshall, yang kemudian menulis buku “Mohenjodaro and Indus Civilization” pada 1931, L.E. Machey yang menulis buku “The Indus Civilization” pada 1935, dan penulis India sendiri N.G. Majumdar dan R.D. Banerji. Mereka adalah para pelopor tersusunnya ilmu tentang India (Abu Su’ud, 1988: 37).
Penemuan arkhaeologis di Mohenjodaro dan harappa mula-mula terjadi pada waktu para pekerja sedang memasang rel kereta api dari Karachi ke Panjab pada pertengahan abad 19. Pada waktu itulah ditemukan benda-benda kuno yang sangat menarik perhatian jendral Cunningham, yang kemudian diangkat sebagai Direktur Jenderal arkhaeologi di India. Setelah itu dimulailah penggalian demi penggalian secara lebih intensif. Pada 1922 ekspedisi R.D. Banerji yang sedang bekerja di Mohenjodaro untuk mencari stupa Budha peninggalan masa abad II tiba-tiba menemukan sebuah kota kuno zaman prasejarah. Penggalian selanjutnya dilakukan di bawah pimpinan Sir John Marshall, yang sedang menjabat sebagai Direktur Jenderal Arkhaeologi, dan hasilnya sangat mengagumkan.
Kota ini baik sekali letaknya. Jalannya lebar sampai 10 m, lebar dan membujur hingga 2 km. semacam trotoir selebar ½ m mengapit kanan kiri jalan. Jalan-jalan itu membujur membentuk sudut siku-siku ke utara selatan dan ke timur barat. Rupa-rupanya gedung yang berdiri di kanan-kiri jalan dibuat dari batu bata yang dilepas dengan sebangsa semen. Aneh sekali bahwa tidak dijumpai batu-batu kali dalam bangunan. Hal lain yang menarik ialah tidak dijumpainya hiasan pada bangunan rumah. Sementara itu setiap rumah mempunyai pintu dan jendela yang menghadap ke jalan. Sisa-sisa rumah menunjukkan kepada kita bahwa rumah-rumah itu mempunyai loteng dan beratap datar. Sesuatu yang unik ialah terdapatnya di sana kamar mandi, adanya sistem pengaliran air buangan yang baik, lengkap dengan pipa-pipa saluran terbuat dari tembikar, yang menghubungkan selokan-selokan. Dalam kota tidak dijumpai candi-candi, sebagai gantinya dijumpai di sana tempat mandi umum dengan ukuran 11x7 m, yang dilengkapi bilik-bilik untuk orang mandi. Lurus ke arah selatan dari tempat mandi umum terdapat sebuah bekas gedung yang amat besar, lebih kurang 600x300 m. Mungkin dulu sebuah istana. Penggalian-penggalian selanjutnya mengungkapkan sebuah gambaran mengenai adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada waktu itu. Misalnya, banyaknya dijumpai amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlobang-lobang, barangkali digunakan sebagai kalung. Selanjutnya juga dijumpai matere yang dibuat dari tanah liat (Abu Su’ud, 1988: 38).

Gambar Tempat Pemandian

Peradaban yang dahulu sekali dianggap mulai di daerah hulu sungai Indus 3000 tahun yang lalu.kira-kira 35 tahun yang lalu Jawatan Pemeriksaan Kebudayaan Kuno di India telah mengadakan penggalian dekat kampung Mohenjo daro dan harappa di pinggir sungai Indus. Di dalam penggalian-penggalian itu didapati rupa-rupa barang yang ajaib umpamanya oerkakas-perkakas, perabot-perabot rumah. Perhiasan-perhiasan, sisa gedung-gedung dan istana yang menunjukkan suatu keadaban yang tinggi dan menyamai kultur di Mesir, Ur dan Kreta di zaman purbakala (T.S.G. Mulya, 1952: 13). Jauh sebelum kedatangan bangsa Arya, di lembah Sungai Indus ada kebudayaan yang sudah maju. Sisa kebudayaan itu ditemukan di kota Mohenjodaro dan Harappa. Dari sisa bangunannya, kedua kota itu kelihatannya dibangun dengan perencanaan yang baik, sesuai dengan persyaratan kesehatan, keindahan, dan pertahanan. Jalan selebar 8 meter, membujur dari utara ke selatan. Setiap 40 meter ada jalan kecil selebar 1,5 sampai 3 meter, memotong dari arah barat ke timur sehingga membentuk blok-blok. Sepanjang jalan besar berdiri bangunan-bangunan penting, termasuk toko-toko. Semua pintu menghadap jalan utama. Di tepi jalan juga ada saluran pembuangan air limbah.
Tentang bangsa-bangsa asli yang mendiami negeri India di masa purbakala kita hanya mengira saja. Yang pasti ialah bahwa bagian utara dan lembah Sungai Gangga yang berbatas dengan pegunungan Himalaya dan dataran tinggi Deccan, di masa tertulisnya kitab-kitab suci Hindu, telah didiami oleh bangsa Arya. Bangsa itu berwarna putih, tubuhnya besar dan kuat. Mereka berasal dari Asia Tengah dan kemudian hari menduduki Iran, Mesopotamia dan Eropah Selatan. Sebagian dari bangsa itu pindah dari Iran ke India melalui pegunungan Hindu Kush dan menaklukkan bangsa asli di daerah Punjab atau negeri Lima Sungai. Mereka juga mendesak penduduk asli yaitu bangsa Dravida ke India bagian selatan. Lambat laun bangsa Arya itu bercampur dengan bangsa asli dari bagian India Tengah dan Selatan, ialah bangsa Dravida yang berwarna hitam. Kebudayaan bangsa Dravida mungkin lebih tua lagi daripada kebudayaan bangsa Arya, akan tetapi sejarah bangsa asli di zaman purbakala belum dapat diselidiki dengan hasil yang memuaskan (T.S.G. Mulya, 1952: 14). Selain itu, lembah sungai Indus atau Sindu juga merupakan tempat kelahiran agama Hindu yang juga dibawa oleh bangsa Arya. Nama Hindu berasal dari nama Sungai Indus atau Sindu. Kebudayaan Hindu berasal dari bangsa Arya. Dari sungai Indus inilah diambil nama India. Perkataan Ind dan Hindu keduanya berarti bumi yang terletak di belakang Sungai Indus, dan penduduknya dinamakan orang-orang India atau orang-orang Hindu (Ahmad Shalaby, 2001: 3).

Kota Mohenjodaro daro dan Harappa memiliki peradaban yang sangat tinggi, hal ini terbukti dari hasil penggalian, yaitu:
1. Penataan Kota
’The sites of Mohenjodaro in Sind on the lower Indus, and Harappa in the Montgomery district in the Punjab, have been excavated and show that these early Indians lived in well-planned brick-built cities with comfortable houses which had bathrooms and water supplies, good drainage, much more advanced than many Indian towns to-day…” (J.C. Powel, 1955: 7). Berdasarkan pendapat Powel, dapat kita pahami bahwa pembangunan kota Mohenjodaro dan Harappa telah memiliki penataan tata letak kota yang baik dan dianggap lebih baik bila dibandingkan dengan keadaan India sekarang. Hal ini dapat kita lihat pada cara mereka membangun suatu pemukiman dalam bentuk pembangunan rumah-rumah yang sudah tertata dengan rapi serta nyaman dan juga dilengkapi dengan kamar mandi, saluran air sekaligus saluran pembuangannya.
Tahun 2300 sampai 1750 SM kota berada dalam bundaran, tumbuh subur di belakang kubu bata yang besar yaitu empat puluh kaki tebalnya dari dasarnya. Tembok besar tersebut melindungi benteng dari perairan dan invasi manusia. Penataan kota semacam ini telah mendesain kedua kota itu dalam corak yang sama bahkan bata-batanya dibakar pada ukuran yang standar sama. Di kedua kota ini juga ditemukan lumbung yang dibuat sedemikian rupa dengan sistem vantilasi untuk mengsirkulasikan udara melalui gudang-gudang yang berdinding tebal, sehingga lumbung-lumbung ini bisa digunakan untuk menjaga surplus gandum. Lumbung ini dipakai untuk menyimpan hasil-hasil pertanian dan barang-barang yang akan di kapalkan. Fasilitas yang lengkap, besar dan mahal membuktikan kekayaan di kota Mohenjodaro dan Harappa.
Di luar tembok benteng ada kota penduduk Mohenjo Daro yang lebih sederhana yang terbagi dalam blok-blok besar untuk memisahkan kelompok pekerja dan pertanian, dari satu keluarga ke keluarga yang lainnya. Beberapa blok tersebut terdiri dari beberapa rumah yang kokoh yang memperlihatkan struktur multilevel. Masyarakat yang termasuk kasta rendah yaitu masyarakat yang kehidupannya terhina hidup di luar tembok kota yang merupakan golongan pinggiran masyarakat India. Pemerintahan kedua kota ini dipegang oleh pusat.

2. Hasil Kebudayaan
Di Indus ditemukan barang-barang tembikar yang kebanyakan dicat hitam di desain bersama binatang yang bermotif sama yaitu geometrik. Ditemukan juga cangkir minum yang sangat banyak, yang membuktikan bahwa pada masa itu orang sudah memulai kebiasaan menggunakan cangkir tanah liat, mungkin dikarenakan takut kontaminasi atau polusi. Tukang-tukang batu di Mohenjodaro termasuk pengrajin metal yang mahir dalam membuat peralatan yang bagus dan membuat senjata tembaga, perunggu dan batu. Kemudian berkembang pula kebudayaan artepak yang artistik seperti patung perunggu yang berbentuk gadis yang sedang menari, dan ditemukan juga prasasti-prasasti yang mengandung tanda fiktografi (hiasan di atas gambar binatang) yang merupakan tulisan pertama mengenai peradaban India. Satu prasasti yang ditemukan di sebelah utara Mohenjodaro menggambarkan seorang tokoh yang duduk di Yogic, postur thyllic di kelilingi seekor harimau, gajah, kerbau, dan kijang. Kesannya seperti gambaran artistic siwa. Prasasti yang lainnya dari Mohenjo Daro menggambarkan dewa bertanduk tiga (tiga lekukan adalah salah satu simbol Siwa) sedang berdiri di tengah pohon, tokoh lain di luar pohon dengan posisi seperti memuja Tuhan pohon, di belakangnya ada sapi jantan berdiri menunggu, sedangkan di bawahnya berdiri tujuh gadis yang menari, keadaan ini menunjukkan upacara kuno musim semi.
Telah ditemukan juga tulisan pendek dalam huruf piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar. Huruf-huruf tersebut sayang belum dapat dibaca, sehingga misteri yang ada di baliknya tak terungkapkan. Barangkali tulisan itu mengungkapkan nama para pemiliknya. Gambar-gambar yang terdapat di sana misalnya unicorn, yaitu binatang bertanduk tunggal, harimau, gajah, badak, lembu jantan, antilop, kerbau serta sejenis buaya pemakan ikan. Akan tetapi tidak adanya gambar kuda dan lembu pada semua piagam tadi sangat menimbulkan perhatian para penyelidik.
Benda-benda lain yang terdapat dalam daerah penggalian itu ialah bermacam-macam periuk belangan yang telah dibuat dengan teknik tuang yang sudah tinggi. Juga di sana terdapat lapisan pernis seperti porselin Tiongkok, selain barang-barang porselin yang diduga sebagai gelang-gelang, patung-patung kecil dan lain-lain.
Dari hasil penggalian benda-benda kuno tersebut, dapat kita pahami bahwa teknik menuang logam yang mereka lakukan ternyata telah tinggi. Mereka membuat piala-piala emas, perak, timah hitam, tembaga maupun perunggu. Perkakas hidup lain berupa benda tajam dibuat dengan baik pula, namun senjata tombak, ujung anak panah ataupun pedang sangat rendah mutu buatannya. Hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa orang-orang pendukung kebudayaan lembah sungai Indus cinta damai, atau setidak-tidaknya tidak suka berperang. Sedang tingginya tingkat peradaban masyarakat pendukung kebudayaan sungai Indus ditandai oleh adanya neraca dan sistem ukuran lain, yang terdapat dalam benda-benda temuan. Di duga sudah terdapat hiburan berupa tari-tarian yang diiringi genderang. Juga ditemukan alat-alat permainan berupa papan bertanda serta kepingan-kepingan lain.
Dari barang-barang peninggalan kuno itu pula nampaknya dapat diduga kecenderungan jenis keyakinan hidup mereka yang mendukung kebudayaan lembah sungai Indus itu. Obyek yang paling umum dipuja-puka orang nampaknya adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam ibu pertiwi, yang banyak dipuja orang di daerah Asua kecil. Dia digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga serta pada matere maupun jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan bentuk tokoh bertanduk, yang berpadu dengan pohon suci pipala. Seorang Dewa yang bermuka tiga dan bertanduk dijumpai lukisannya pada salah sebuah matere batu, dengan sikap duduk dikelilingi oleh binatang. Tokoh ini dipersamakan dengan tokoh Siwa-mahadewa pada zaman kemudian. Dugaan ini kemudian diperkuat oleh penemuan gambar lingam yang merupakan lambang Siwa. Namun kita tidak dapat memastikan apakah ujud-ijud pada matere tersebut menjadi obyek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian dengan adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, yang pada zaman kemudian merupakan tokoh nandi, hewan tunggangan Dewa Siwa membuktikan bahwa dugaan kita mungkin tidak terlampau mengada-ngada. Sayang sekali tak terdapat sebuah materepun yang memuat tulisan yang memakai du abahasa, yang satu jenis piktograf dan yang lain jenis bahasa lokal, hingga akibatnya tulisan piktograf tersebut belum dapat memberi keterangan kepada kita mengenai keadaan yang sebenarnya (Abu Su’ud, 1988: 39-40).
Selain itu, terdapat juga gudang gandum, tempat peleburan logam dan tempat pertenunan. Kebudayaan lembah sungai Indus itu berkembang dari tahun 3000 sampai 2000 SM sezaman dengan kebudayaan di Mesopotamia dan Mesir. Kebudayaan lembah Sungai Indus mirip dengan kebudayaan Sumeria di lembah Sungai Tigris dan Eufrat. Kelihatannya ada hubungan antara Mohenjodaro dan Harappa dengan Sumeria, terutama dalam bidang perdagangan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hall seorang ahli Inggris, bahwa perhubungan antara negeri Dravida dengan Sumeria dan Chaldea di Persia di zaman purbakala sudah ada. Hal ini terbukti dari macam-macam peninggalan yang terdapat dalam penggalian-penggalian di daerah Ur. Ia berpendapat bahwa orang Sumeria itu berasal dari India Selatan dan termasuk suatu cabang bangsa Dravida (T.S.G. Mulya, 1952: 15)

Benda peninggalan kota Mohenjodaro
(The Ancient World, Longman: 1987)


3. Mata Pencaharian
Selama pemerintahan sargon dari Akkhad (2334-2279 SM) berlangsung perdagangan yang aktif dan berkelanjutan dengan Sumeria. Para pedagang dari Harappa dan Mohenjodaro berdagang bersama Sumeria yaitu antara tahun 2300-2000 SM, keterangan ini berdasarkan prasasti yang ditemukan di Indus. Di dekat sungai harappa terdapat lumbung-lumbung besar, ini membuktikan bahwa para pedagang Indus mengekspor gandum ke Sumeria dan ke tempat-tempat lain.
Pada tahun 2000 SM penduduk Indus telah memintal kapas menjadi benang dan menenunnya menjadi baju. Penggunaan kapas untuk pakaian adalah salah satu sumbangan India bagi peradaban dunia. Pemintalan dan penenunan kapas sampai sekarang masih menjadi industri utama di India. India banyak mengekspor barang-barang lux yang besar dan relatif besar seperti manik-manik , barang-barang dari kerang dan tulang, sisir gading. Kemudian para pedagang Mohenjodaro mengimpor produk dari bukit Nilgiri di India selatan dan mengadakan hubungan dengan pantai Malabar.
Selain perdagangan di Mohenjodaro dan Harappa juga mengenal pertanian. Perkampungan pertanian di bukit baluchi telah mengenal irigasi yang canggih yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gandum merupakan jenis padi yang utama. Penduduk Indus juga sudah mengenal peternakan yaitu kerbau, anjing, kucing, unta, kambing, babi, domba, gajah dan ayam. Dengan pemeliharaan unggas dapat memperkaya makanan di Mohenjodaro dan harappa. Hal ini sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh J. C. Powel dalam bukunya yang berjudul A History of India “…They lived on meet and fish, and grew wheat and barley. The buffalo, camel, elephant, and deer were known to them and they used carts, but whether drawn by oxen or horses is not clear; apparently the use of the horse was not known to them, and there is no sign of dogs either. They had cooper weapons, bows and arrows, spears and axes and slings but apparently no swords. They also used gold and silver, and ornaments of semi-precious stones like agate and also of bone and ivory and shells……” (1955: 7).

4. Tata cara Penguburan
Tempat penemuan tanah perkuburan terdapat di harappa, di Lothal dan kalibangan berupa pecahan tengkorak. Penemuan di harappa membuktikan bahwa penduduk Harappa adalah campuran dari Proto Australoid dan fidik Mediterania yang terdapatb di Semenanjung India, tingginya kira-kira 5 kaki 9 inci dan kematiannya rata-rata 90 tahun. Pecahan-pecahan tengkorak ada yang didekorasikan dengan perhiasan ornamen
Cara penguburan jenazah nampaknya mempunyai bermacam-macam cara tergantung dari suku bangsa. Di Mohenjodaro misalnya, tidak adanya kuburan seolah-olah menunjukkan adanya kebiasaan membakar jenazah, dan abu jenazahnya kemudian ditempatkan dalam tempayan khusus. Namun adakalanya tulang-belulang yang tidak dibakar disimpan dalam tempayan pula. Bukti-bukti menunjukkan bahwa di harappa kebiasaan menguburkan jenazah tetap terdapat (Abu Su’ud, 1988: 39).
Penemuan pekuburan yang menarik adalah pelabuhan Lothal di Gujarat karena penemuan ini merupakan indikator yang pertama mengenai adat Hindu yang terkenal yaitu sati. Adat Sati pada umumnya berkenaan dengan bahan kuburan dari dengan kuburan.
Dengan ditemukannya pekuburan ini membuktikan perubahan yang praktis mengenai pembuangan orang mati secara universal di seluruh Dunia.

C. Akhir Kebudayaan Indus.
Salah satu masalah yang menimbulkan bermacam-macam dugaan di antara para sarjana, ialah kapan dan faktor-faktor apakah yang menyebabkan jatuhnya atau runtuhnya peradaban lembah sungai Indus itu. Beberapa teori menyatakan bahwa jatuhnya perdaban lembah sungai Indus tersebut harus dikaitkan dengan faktor kekeringan yang diakibatkan oleh musim kering yang amat dahsyat serta amat lama yang dialami oleh para pendukung kebudayaan itu. Atau mungkin hal itu terjadi oleh bencana alam berupa gempa bumi ataupun gunung api meletus, mengingat letaknya yang di kaki gunung. Faktor wabah penyakit yang melanda masyarakat pada waktu itu nampaknya juga sangat mungkin bila dikaitkan dengan kemusnahan peradaban itu. Dan satu hal yang amat mungkin terjadi ialah datangnya serangan yang datang dari luar, yang berhasil memusnahkan seluruh hasil kebudayaan yang telah maju itu. Diduga bangsa yang melakukan penyerbuan itu ialah bangsa Arya, sedangkan pendukung kebudayaan yang diporak-piorandakan ialah bangsa yang berbicara bahasa Dravida. Sekitar tahun 1400 SM, bangsa Arya menyerbu Mohenjodaro dan Harappa melalui celah Kaibar. Bangsa Arya berasal dari dataran tinggi Iran (Parsi). Mereka sampai di daerah Punjab atau daerah aliran lima sungai dengan mengendarai kuda dan kereta. Bangsa Arya membawa ajaran agama Weda. Isinya tentang pemujaan dewa-dewa yang merupakan penjelmaan kekuatan alam. Misalnya Surya (Dewa Matahari), Soma (Dewa Bulan), Agni (Dewa Api), Indra (Dewa Hujan), dan Yama (Dewa Maut). Untuk memuja para dewa itu, orang mengadakan upacara sesaji. Kepercayaan bangsa Arya kemudian bercampur dengan kepercayaan bangsa Dravida. Hasil percampuran itu dikenal sebagai agama Hindu.
Agama Hindu mengenal Dewa Trimurti sebagai dewa tertinggi. Dewa Trimurti adalah Brahma atau pencipta alam semesta, Wisnu atau dewa pemelihara alam semesta, dan Siwa atau dewa perusak alam semesta. Kitab suci agama Hindu ada 4 yaitu Regweda, Samaweda, Yajurweda dan Atharwaweda.
Menurut kitab Weda, segala perbuatan manusia di dunia mempunyai akibat pada kehidupannya yang akan datang. Mereka percaya bahwa sesudah mati manusia akan menjelma kembali sesuai dengan dharma atau perbuatannya. Kalau manusia berbuat jahat dalam hidupnya, ia akan menjelma menjadi hewan. Selain kitab agama, ada juga kitab yang menceritakan kepahlawanan bangsa Arya, seperti kitab Mahabrata, Ramayana, dan Bhagawat Gita.
Menurut agama Hindu, manusia harus menjalani catur asrama, yaitu brahmacari atau hidup sebagai murid, gerhasta atau hidup berkeluarga, wanaprastha atau hidup bertapa di hutan, dan sanyasia atau hidup meninggalkan keduniawian sampai mencapai moksa (surga).
Bangsa Arya merasa dirinya lebih tinggi daripada bangsa Dravida. Untuk menjaga kemurnian darahnya, mereka menciptakan sistem kasta (warna) dalam masyarakat.
Ada empat kasta (catur warna) di India, yaitu
1. Kasta Brahmana (golongan pendeta, kasta tertinggi),
2. Kasta Ksatria (golongan bangsawan dan prajurit),
3. Kasta Waisya (golongan pedagang dan buruh), dan
4. Kasta Sudra (golongan petani dan buruh kasar).

Ada golongan yang paling rendah derajatnya, yaitu golongan budak yang disebut kasta Paria atau Candala.
Agama Budha tidak mengenal kasta dan pemujaan dewa-dewa. Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama. Agama Budha diajarkan oleh Sidharta Gautama, putra raja Kerajaan Kosala. Ia lahir di kota Kapilawastu pada tahun 563 SM. Sebelum menjadi Budha, ia beberapa kali berguru kepada para brahmana. Akan tetapi, tidak ada yang dapat memuaskan hatinya. Suatu hari, ia beristirahat di bawah pohon Bodhi di kota Bodhgaya. Di situlah ia mencapai kesadaran diri dan memperoleh “kebenaran sejati”. Ia kemudian disebut Buddha. Di kota Benares, Sidharta Gautama pertama kali mengajarkan ajarannya. Menurut ajaran Budha, setiap orang dapat mencapai nirwana (surga) dengan usahanya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Agama Buddha mengajarkan cara hidup yang baik. Hidup menurut ajaran Buddha adalah Samsara (penderita). Samsara disebabkan oleh nafsu. Untuk membebaskan diri dari penderitaan, manusia harus memadamkan nafsunya (keinginannya).
Ada delapan jalan untuk menahan nafsu, yaitu:
1. berpikir baik,
2. berniat baik,
3. berkata baik,
4. bertingkah laku baik,
5. makan minum yang baik,
6. berusaha yang baik,
7. perhatian yang baik, dan
8. semadi yang baik.

Penganut agama Buddha dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ialah para sanggha (pendeta). Mereka tinggal di biara, memakai jubah kuning, dan hidup dari meminta-minta. Kelompok kedua ialah para penganut biasa. Kitab suci agama Buddha disebut Tripitaka (3 himpunan/keranjang), yaitu Winayapitaka, Sutrantapitaka, dan Abhidharmapitaka.
Sekitar 600 SM ada kerajaan Magadha. Letaknya di daerah Bihar sekarang. Ibu kotanya di Rajagerha (Rajgin), kemudian pindah ke Pataliputra (Patna). Kedua kota itu terletak di lembah Sungai Gangga. Selain itu, muncul kota-kota yang merupakan pusat perdagangan dan pengetahuan. Kota-kota itu dihubungkan dengan jalan kafilah yang terbentang dari kota Tamralipti di Teluk Benggala hingga Taxila di Punjab. Pada zaman kerajaan Magadha, datang serangan Raja Cyrus dari Persia. Ia menduduki daerah Gandhara. Setelah itu, ada lagi serangan dari Raja Darius yang kemudian berhasil menduduki lembah sungai Indus.
Pada tahun 321 SM, muncul Kerajaan Maurya. Rajanya bernama Candragupta. Ia berhasil menyatukan India Utara. Candragupta berhasil merebut daerah Punjab dari tangan bangsa Yunani yang sudah ada di situ sejak masa Iskandar Zulkarnaen. Raja Maurya yang paling terkenal adalah Asoka. Ia menguasai dua pertiga jazirah India. Asoka berhasil menaklukkan kerajaan Kalingga di daerah Orissa sekarang. Mulanya Raja Asoka beragama Hindu, tetapi setelah melihat penderitaan rakyat dalam perang melawan Kalingga, ia kemudian menganut agama Buddha. Agama Buddha kemudian menjadi agama negara. Asoka banyak mendirikan stupa (bangunan suci agama Buddha) dan tugu batu yang berisi undang-undang Asoka. Asoka mengizinkan pendeta Buddha ke Sri Lanka dan Asia Tenggara untuk menyebarkan agama. Dari Asia Tenggara, agama Buddha kemudian menyebar ke Cina, Korea, dan Jepang.

Gambar peta India pada masa pemerintahan Asoka
(An Historical Atlas of the Indian Peninsula, Oxpord University Press 1959)

Setelah kerajaan Maurya, India utara kemudian diperintah oleh raja-raja Kushana. Bangsa Kushana berasal dari daerah padang pasir di Baktria dan Oxus. Salah satu raja Kushana yang terkenal adalah Raja Kaniska. Ia seorang penganut agama Buddha. Raja Kaniska memperkenalkan sistem penanggalan baru, yaitu tahun Saka. Penanggalan itu dimulai pada tahun 78. Tahun Saka digunakan juga di daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada zaman kuno.
Setelah Kerajaan Maurya runtuh, beberapa daerah taklukkannya kembali menjadi kerajaan merdeka, seperti kerajaan Andhra dan Kalingga. Kerajaan Kalingga kemudian menjalin hubungan dengan kepulauan Indonesia.
Pada tahun 712, daerah lembah Sungai Indus ditaklukkan oleh Muhammad bin al-Qasim yang mengadakan ekspedisi ke wilayah timur. Daerah itu dikuasai oleh kerajaan yang bercorak Islam selama tiga abad. Bangsa Turki di bawah Mahmud Ratni menguasai India. Dua abad kemudian, Muhammad Ghor dari Afganistan membentuk kesultanan di India dan melanjutkan penyebaran agama Islam. Kerajaan Islam menguasai India Utara sampai ke Teluk Benggala.
Sesuai dengan yang disebutkan di dalam kitab Veda, maka bangsa yang dikalahkan itu tidak lebih adalah Dasyu atau yang tidak berhidung. Dugaan tersebut didasarkan atas anggapan bahwa penduduk daerah itu adalah mereka yang tidak suka berperang, mereka yang tidak mementingkan teknologi persenjataan yang baik, seperti terlihat pada
Kualitas ujung tombak maupun peadng mereka. Bukti-bukti lain yang menguatkan dugaan itu ialah terdapatnya kumpulan tulang belulang manusia yang terdiri dari anak-anak dan wanita, yang terserak di sebuah ruangan besar dan di tangga-tangga yang menuju tempat pemandian umum ataupun di jalanan umum. Bentuk serta sikap fisik yang menggeliat dari mayat-mayat itu memberi pertanda akan adanya sesuatu serangan. Apalagi kalau melihat adanya bagian tulang leher yang terbawa ke bagian kepala ketika kepala itu terlepas dari tubuh (Abu Su’ud, 1988: 40-41).

Bukti penyerbuan kota Mohenjodaro
(Ancient History, Adam & co: 1959)


Gambar reruntuhan kota Mohenjodaro


Kelangsungan kehidupan politik setelah zaman Harappa hingga masa Arya nampaknya terganggu oleh hal-hal seperti menyusutnya penduduk yang tinggal di kawasan lembah sungai Indus selama paroh kedua milenium II sebelum tarikh masehi. Mungkin saja hal itu terjadi karena pendukung kebudayaan lembah Indus itu musnah ataupun melarikan diri untuk mencari selamat ke bagian daerah lain, sementara para penyerang tidak bermaksud melanjutkan tata pemerintahan lama. Hal itu bisa saja terjadi karena diduga tingkat peradaban bangsa penyerang yang masih dalam tahapan mengembara tidak mampu melanjutkan kepemimpinan masyarakat lembah Indus yang relatif lebih maju atas dasar kualitas peninggalan kebudayaan yang mereka tinggalkan. Sejak 1500 SM peradaban Harappa dan Mohenjodaro runtuh tidak lama setelah para pendatang Arya itu memasuki wilayah India lewat Iran. Sejak itu maka dimulailah sebuah masa baru dalam perkembangan kebudayan India di bagian utara.
Tahun 1750 sebelum Masehi, peradaban Harappa mulai mengalami perubahan baik dalam sifat manfaat maupun lingkungan kotanya. Barang-barang yang ditemukan sebelumnya sudah lenyap dan rumah-rumah mengecil. Disebelah selatan Mohenjo-daro dekat Indus yaitu kota Chanhu-daro merupakan golongan kota yang mengalami kehancuran peradaban Indus, yang disebut sebagai kota yang bernama Jhkar dan Jhanger.
Piggot mengemukakan bahwa penduduk asli yang mempelajari Chanhu-daro dipaksa oleh penguasa baru untuk mengahasilkan kerajinannya. Hal ini menunjukan tradisi kehidupan yang terpecah oleh kebudayaan kota, tidak ada lagi anggapan mengenai benteng tembok Harappa dan Mohenjodaro sebagai benteng pelindung, jika dibanding dengan penaklukan oleh sukun bangsa Arya.
Tahun 1700 peradaban Indus yang pernah berjaya itu berakhir, disebabkan karena banjir akibat gerakan bumi. Perhiasan ditemukan pada tempat yang tinggi di Mohenjodaro, alat masak ditemukan berserakan dan kepingan tiang telah terbakar, ditemukan juga beberapa kerangka orang yang melarikan diri waktu terjadi bencana atau waktu dibantai oleh penjajah. Harappa telah sangat hancur, kota kerajaan dengan benteng yang sangat menakjubkan telah hilang dan lenyap secara drastis.


















Rangkuman:
Peradaban India telah berlangsung lama. India adalah salah satu pusat peradaban kuno dunia. Dalam hal ini, India menandingi Mesir, Cina, Assyria, dan Babilonia. Tetapi, peradaban India yang mendahului zaman Arya hanya baru dapat diketahui setelah ditemukan dengan pengungkapan-pengungkapan baru dalam tingkatan kemajuan yang pernah dicapai oleh India dalam bidang arsitektur, pertanian, dan kemasyarakatan sejak masa 3.000 tahun SM, yaitu 1.500 tahun sebelum kedatangan bangsa Arya. Di negara India sudah tersebar tanda-tanda ilmu pengetahuan dan bangunan-bangunan yang megah. Salah satu peninggalan kebudayaan yang dianggap telah memiliki teknologi yang canggih adalah peninggalan kota Mohenjodaro dan Harappa. Kedua kota ini memiliki karakteristik diantaranya adalah:
1. tata kota
2. sanitasi
3. pertanian dan pengairan
4. teknologi
5. perekonomian
6. pemerintahan
7. kepercayaan

Tetapi, sejarah yang jelas mengenai India adalah berkaitan dengan zaman Arya. Sebagaimana yang telah kita katakan bahwa India dianggap sebagai negara yang tertutup karena dikelilingi oleh lautan dan pegunungan.

Tidak ada komentar: