Minggu, 31 Mei 2009

PROKLAMASI dan SEKITARNYA

BAB II

PROKLAMASI DAN PERISTIWA SEKITARNYA

2.1 Janji Jepang Mengenai Status Bangsa Indonesia

2.1.1 Janji Jepang memerdekakan bangsa Indonesia

Pada tanggal 7 September 1944 di dalam sidang istimewa ke-58 Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang), Perdana Menteri Kaiso mengungumkan bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka “kelak dikemudian hari”. Pernyataaan ini dikeluarkan karena semakin terjepitnya angkatan perang Jepang, yang menimbulkan kegoncangan pada masyarakat Jepang. Situasi Jepang semakin buruk di bulan Agustus 1944. terbukti bahwa moril masyarakat mulai mundur, produksi perang merosot, yang menyebabkan kurangnya persedian senjata dan amunisi, ditambah dengan timbulnya soal-soal logoistik karena hilangnya sejumlah besar kapal angkut dan kapal perang. Factor-faktor yang tidak menguntungkan tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Tojo pada tanggal 17 Juli 1944 dan diangkat Jenderal Kunaiki Koiso sebagai penggantinya. Salah satu langkah yang diambilnya guna mempertahankan pengaruh Jepang diantara penduduk negeri-negeri yang didudukinya ialah dengan cara mengeluarkan pernyataan “Janji kemerdekaan Indonesia di kemudian hari”.

Jepang mengalami serangan udara Amerika Serikat Serikat atas kota-kota Ambon, Makasar, Manado, dan Surabaya; bahkan tentara Amerika Serikat telah pula mendarat didaerah-daerah minyak seperti Tarakan dan Balikpapan, berarti kekalahan Jepang telah terbayang. Menghadapi situasi yang kritis tersebut, pemerintah pendudukan Jepang di Jawa di bawah pimpinan Letnan Jenderal Kumakici Harada pada tanggal 1 Maret 1945 telah mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokoritsu Junbi Cosakai). Maksud dan tujuannya ialah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang penting yang berhubungan dengan berbagai hal yang menyangkut pembentukan negara Indonesia merdeka susunan pengurusnya terdiri atas sebuah badan perundingan dan kantor tatausaha. Badan Perundinmgan terdiri atas seorangh Kaico (Ketua), 2 orang Fuku Kaico (Ketua Muda), 60 orang Iin (Anggota), termasuk 4 orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda. Terdapat pula 7 orang anggota Jepang, yang duduk dalam pengurus istimewa yang akan menghadiri setiap sidang tetapi mereka tidak mempunyai hak suara. Pengangkatannya diumumkan pada tanggal 29 April 1945, dan yang diangkat menjadi Kaico bukanlah Ir. Soekarno, melainkan dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat. Sedangkan Fuku Kaico pertama dijabat oleh seorang jepang yakni Shucokan Cirebon bernama Icibangase, sedangkan R.P. Suroso diangkat pula sebagai kepala serketariat Dokuritsu Junbi Cosokai dengan dibantu oleh Toyohito Masuda dan Mr. A.G. Pringgodigdo.

2.1.2 Perumusan Dasar Negara dan UUD 1945

Pada tanggal 28 Mei 1945, dilangsungkan peresmian Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan bertempat di gedung Cuo Sangi In. Pada kesempatan itu pula dilakukan upacara pengibaran bendera Hinomura oleh Mr. A.G. Pringodigdo. Yang disusul dengan pengibaran bendera Sang Merah Putih. Peristiwa tersebut telah membangkitkan semangat para anggota dalam usahanya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Dokuritsu Junbi Cosakai mengadakan persidangan untuk merumuskan Undang-undang Dasar, dimulai dengan persoalan ”dasar” bagi Negara Indonesia Merdeka. Ketua dr. Radjiman Wediodiningrat meminta pandangan para anggota mengenai dasar Negara Indonesia Merdeka yang akan dibentuk itu. Ada tiga anggota yang memenuhi permintaan Ketua, yaitu Mr. Muh. Yamin, Prof. Dr. Mr. Supomo dan Ir. Soekarno. Pada tanggal 19 Mei 1945, yaitu hari pertama dari persidangan pertama Badan penyelidik, Muh. Yamin mengetengahkan rumusan dasar Negara Indonesia Merdeka. Muh. Yamin mengemukakan lima ”Azas dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” sebagai berikut:

1. Peri Kebangsaan;

2. Peri Kemanusian;

3. Peri Ke-Tuhanan;

4. Peri Kerakyatan;

5. Kesejahteraan Rakyat.

Dua hari kemudian pada tanggal 31 Mei 1945 Prof. Dr. Mr. Supomo memulai pidaton ya yang memusatkan pembicaraannya pada dasar Negara Indonesia Merdeka. Dasar-dasar yang diajukan adalah ”persatuan”, ”kekeluargaan”, ”keseimbangan lahir dan batin”, ”musyawarah” dan ”keadilan rakyat”. Keesokan harinya pada tanggal 1 Juni 1954 berlangsunglah rapat terakhir dalam persidangan pertama itu. Pada kesempatan itulah Ir. Soekarno mengucapkan pidatonya yang kemudian dikenal dengan nama ”Lahirnya Pancasila”. Selain berisi tentang pandangan dasar negara Indonesia Merdeka, pidatonya juga bersisi usul mengenai nama bagi dasar negara, yakni Pancasila. Pada kesempatan itu Ir. Soekarno di dalam pidatonya mengemukakan perumusan lima dasar negara Indonesia Merdeka dengan usul nama Pancasila sebagai berikut:

1. Kebangsaan Indonesia;

2. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan;

3. Mufakat atau demokrasi;

4. Kesejahteraan sosial;

5. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Badan Penyelidik telah membentuk suatu panitia kecil di bawah pimpinan Ir. Soekarno dengan anggota lainnya Drs. Moh. Hatta, Sutardjo Kartohadikusumo, Wachid Hasjim, Ki Agus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Muh. Yamin dan A.A. Maramis. Mereka bertugas menampung saran, usul dan konsepsi para anggota yang diserahkan melalui Sekretariat. Pada rapat pertama persidangan kedua Badan Penyelidik pada tanggal 10 Juli 1945, Ir. Soekarno melaporkan pada Ketua Radjiman bahwa telah diadakan pertemuan antara Panitia Kecil dengan anggota Dokuritsu Junbi Cosakai. Pertemuan itulah yang telah membentuk sebuah panitia kecil lain yang berjumlah 9 orang. Kesembilan anggota itu berkumpul untuk menyusun rumusan dasar negara berdasarkan pandangan umum para anggota dan dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Muh. Yamin, Wachid Hasjim, A.A. Maramis, Abdulkadir Tjokrokusumo, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrokujoso. Mereka menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan Negara Indonesia Merdeka. Oleh Muh. Yamin rumusan hasil Panitia Sembilan itu kemudian diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta , yang berbunyi sebagai berikut:

1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;

2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;

5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada persidangan kedua tanggal 10 Juli 1945 dibahas rencana Undang-undang Dasar, termasuk soal pembukaan atau preambulenya oleh sebuah Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Dalam rapatnya tanggal 11 Juli, Panitia Perancang Undang-undang Dasar menyetujui isi priambule yang diambil dari Piagam Jakarta.

Persidangan kedua Dokuritsu Junbi Cosakai dilanjutkan pada tanggal 14 Juli 1945 untuk menerima laporan Panitia Perancang Undang-undang Dasar. Ir. Soekarno selaku panitia melaporkan tiga hasil panitia, yakni:

1. Pernyataan Indonesia Merdeka;

2. Pembukaan Undang-undang Dasar;

3. Undang-undang Dasarnya sendiri (batang tubuhnya).

Pembukaan beserta batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yakni suatu badan yang pada tanggal 7 Agustus 1945 oleh pihak Jepang dibentuk sebagai ganti Dokuritsu Junbi Cosakai. Pembukaan Undang-undang Dasar yang disahkan adalah konsep yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan yang dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Sebelum konsep itu disahkan, atas prakarsa Drs. Moh. Hatta setelah menerima pesan dari tokoh-tokoh Kristen dari Indonesia bagian Timur, sila pertama daripada dasar negara yang tercantum di dalam Pembukaan itu, yang diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian Pancasila Dasar Negara yang otentik adalah rumusan panitia oleh panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus yang kemudian menyatakan diri sebagai Komite Nasional Indonesia Pusat. Rumusan yang otentik itu berbunyi sebgai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Persatuan Indonesia;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan;

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2.1.3 Aktivitas di Kalangan Pemuda

Sebelum Dokuritsu Junbi Cosakai dibetuk dan bersidang, di Bandung pada tanggal 16 Mei 1945 telah diadakan kongres Pemuda seluruh Jawa, yang penyelenggaraannya disponsori oleh Angkatan Moeda Indonesia. Adapun Angkatan Moeda ini ternyata dibentuk atas inisiatif Jepang, pada pertengahan 1944. tetapi kemudian berkembang menjadi suatu pergerakan pemuda yang anti-Jepang. Di dalam kongres ini dianjurkan oleh para pemimpin Angkatan Moeda Indoensia agar supaya para pemuda di Jawa hendaknya bersatu dan mempersiapkan dirinya untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang bukan merupakan hadiah dari Jepang.

Setelah tiga hari lamanya kongres berjalan, akhirnya diterima baik dua revolusi sebagai berikut: pertama, semua golongan Indonesia terutama golongan pemuda dipersatukan dan dibulatkan dalam satu pimpinan nasional saja dan kedua, dipercepatnya pelaksanaan pernyataan kemerdekaan Indonesia. Namun kongres ini pun menyatakan dukungan sepenuhnya dan kerjasama erat dengan Jepang dalam usaha mencapai kemenangan akhir. Pernyataan tersebut tidak memuaskan beberapa tokoh pemuda yang hadir, seperti utusan dari Jakarta yang dipimpin oleh Sukarni, Harsono Tjokroaminoto dan Chairul Shaleh. Mereka bertekad untuk tidak mengambil bagian dalam gerakan Angkatan Moeda Indonesia dan bermaksud untuk menyiapkan suatu gerakan pemuda yang lebnih radikal.

Sebagai realisasi tekad tersebut pada tanggal 3 Juni 1945 diadakan suatu pertemuan rahasia di Jakarta diantara seluruh 100 pemuda yang membentuk suatu panitia khusus yang diketuai oelh B.M. Harsono Tjkroaminoto, Wikana, Chairul Shaleh, P. Gultom, Supeno dan Asmara Hadi. Pertemuan rahasia diadakan lagi pada tanggal 15 Juni 1945, yang menghasilkan pembentukan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia, yang kegiatannya sebagian digerakan oleh para pemuda dari Menteng. Tujuan dari gerakan tersebut tercantum dalam surat kabar Asia Raja pertengahan bulan Juni 1945, yang menunjukan sifat gerakan tersebut yang lebih radikal sebagai berikut: pertama, mencapai persatuan kompak diantara seluruh golongan masyarakat Indonesia; kedua, menanamkan semangat revolusioner massa atas dasar kesadaran mereka sebagai rakyat yang berdaulat; ketiga, membentuk negara kesatuan Republik Indonesia; dan keempat, mempersatukan Indonesia bahu-membahu dengan Jepang tetapi jika perlu gerakan itu bermaksud untuk ”mencapai kemerdekaan dengan kekuatan sendiri”.

Pemuda radikal seperti Chairul Shaleh, Sukarni, B.M. Diah, Asmara Hadi, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Sudiro, Supomo, Adam Malik, S.K. Trimurti, Sutomo, dan Pandu Kartawiguna telah diikutsertakan di dalam suatu gerakan yang disebut Gerakan Rakyat Baroe. Gerakan tersebut diperkenankan pembentukannya oleh Saiko Shikikan yang baru, Letnan Jenderal Y. Nagano di dalam suatu pertemuan pada tanggal 2 Juli 1945. Gerakan Rakyat Baroe disusun berdasarkan hasil sidang ke-8 Cuo Sangi In yang mengusulkan didirikannya suatu gerakan untuk mengobar-ngobarkan semangat cinta tanah air dan semangat perang. Susunan pengurus pusat gerakan tersebut terdiri dari 80 orang.

Adapun pengangkatan wakil-wakil golongan pemuda didalamnya dimaksudkan oleh pemerintah Jepang untuk mengawasi kegiatan-kegiatan mereka. Somubuco Mayor Jenderal Nishimura menegaskan bahwa setiap pemuda yang tergabung di dalamnya harus tunduk sepenuhnya kepada Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang) dan mereka pun harus pula bekerja dibawah pengawasan pejabat-pejabat pemerintah. Dengan demikian berarti kebebasan bergerak para pemuda dibatasi, sehingga timbulah rasa tidak puas. Karena itu ketika Gerakan Rakyat Baroe di resmikan pada tanggal 28 Juli 1945, di mana dua organisasi besar, yaitu Jawa Hokokai dan Masjumi digabungkan menjadi satu didalamnya, tidak seorang pun dari tokoh golongan pemuda radikal yang bersedia menduduki kursi yang telah disediakan untuk mereka. Maka semakin tajam perselisihan paham antara golongan tua dan golongan muda tentang cara melaksanakan pembentukan negara Indonesia merdeka.

2.2 Persiapan untuk Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

2.2.1 Perbedaan Pendapat antara Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan Golongan Pemuda tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Memuncaknya perjuangan menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sepertinya disebabkan oleh golongan muda. Baik golongan tua maupun golongan muda sama-sama berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamasikan, hanya mengenai caranya melaksanakan Proklamasi itu terdapat adanya perbedaan pendapat. Golongan tua berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah hanya jika tetap bekerjasama dengan Jepang. Mereka menggantungkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Iinkai). Peresmian pembentukan badan itu dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 1945, sesuai dengan keputusan Jenderal Besar Terauci, Panglima Tentara Umum Selatan yang membawahi semua tentara Jepang di Asia Tenggara. Para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) itu diijinkan melakukan kegiatannya menurut pendapat dan kesanggupan bangsa Indonesia sendiri; tetapi mereka diwajibkan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Syarat pertama untuk mencapai kemerdekaan ialah menyelenggarakan perang yang sekarang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia; karena itu bangsa Indonesia harus mengerahkan tenaga sebesar-besarnya, dan bersama-sama dengan pemerintah Jepang meneruskan perjuangan untuk memperoleh kemenangan akhir dalam Perang Asia Tenggara.

2. Negara Indonesia itu merupakan anggota lingkungan Kemakmuran Bersama di Asia Timur Raya, maka cita-cita bangsa Indonesia itu harus disesuaikan dengan cita-cita pemerintah Jepang yang bersemangat Hakko-Iciu.

Pada tanggal 12 Agustus 1945 Jenderal Besar Terauci menyampaikan kepada Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan dr. Radjiman Wediodiningrat, bahwa Pemerintah Kemaharajaan telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Untuk pelaksanaannya telah dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pelaksanaanya dapat dilakukan segera setelah persiapannya selesai. Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda. Mungkin pelaksanaanya tidak dapat sekaligus untuk seluruh Indonesia melainkan bagian demi bagian sesuai kondisi setempat.

20 anggota telah terpilih, yang berasal dari berbagai pulau seperti: 12 orang wakil Jawa, 3 wakil dari Sumatera, 2 dari Sulawesi, seorang dari Kalimantan, seorang dari Sunda Kecil (Nusatenggara), seorang dari Maluku, dan seorang dari golongan penduduk Cina. Dan yang ditunjuk sebagai ketua PPKI adalah Ir. Soekarno, sedangkan wakilnya adalah Drs. Moh. Hatta, dan sebagai penasihatnya ditunjuk Mr. Ahmad Soebardjo. Kemudian anggota PPKI ditambah 6 orang lagi tanpa seizin Jepang. Anggota-anggotanya adalah Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Sajuti Melik, Iwa Kusumasumantri dan Ahmad Soebardjo.

Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang mengalami pemboman oleh Amerika Serikat atas Hirosima dan Nagasaki dengan bom atom. Dengan demikian dapat diduga bahwa kekalahan Jepang akan terjadi dalam waktu yang singkat, sehingga proklamasi kemerdekaan harus segera dilaksanakan. Karena itu untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta ingin memperbincangkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan di dalam rapat PPKI, sehingga dengan demikian tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang, yang menetapkan waktu berkumpulnya para anggota PPKI yang pertama pada keesokan harinya. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan muda, yang menggangap bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Mereka juga tidak menyetujui dilaksanakannya Prokalmasi Kemerdekaan sesuai dengan yang direncanakan oleh Jenderal Besar Terauci. Sebaliknya mereka menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan yang dengan kekuatan sendiri tanpa campur tangan dari Jepang.

Sutan Sjahrir adalah tokoh pertama yang mendesak proklamasinya kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta tanpa menunggu janji Jepang. Karena ia mendengar di radio bahwa Jepang sudah memutuskan untuk menyerah. Desakan tersebut dilaksanakannya pada tanggal 15 Agustus 1945 dalam suatu pertemuan dengan Drs. Moh. Hatta. Namun Ir. Soekarno dan Moh. Hatta masih ingin memastikan kembali berita tentang kekalahan Jepang tersebut dan tetap ingin membicarakan pelaksanaan proklamasi pada rapat PPKI.

Langkah yang kemudian diambil oleh golongan muda adalah terlebih dahulu mengadakan rapat di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur pada tanggal 15 Agustus 1945, pukul 20.30. diantara yang hadir adalah Chairul Shaleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadjo, Margono, disamping Wikana dan Armansjah. Rapat ini telah memutuskan suatu hasil bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantungkan pada orang dan kerajaan lain. Janji kemerdekaan dari Jepang harus diputuskan dan sebaliknya diharapkan diadakan perundingan dengan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta agar mereka diikutsertakan menyatakan Proklamasi. Keputusan rapat tersebut disampaikan oleh Wikana dan Darwis pada pukul 22.30 kepada Ir Soekarno di rumahnya. Bahkan Wikana mendesak agar proklamasi bisa diadakan keesokan harinya dan jika tidak terlaksana, ia menyatakan akan terjadi pertumpahan darah. Mendengar ancaman tersebut Soekarno menjadi marah dan terjadi suatu ketegangan saat itu. Nampak perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda memuncak, dimana para pemuda tetap mendesak agar tanggal 16 Agustus 1945 itu juga Proklamasi dilaksanakan, sedangkan pemimpin golongan tua amsih mendesak perlunya diadakan rapat PPKI terlebih dahulu.

2.2.2 Peristiwa Rengasdengklok

Adanya perbedaan paham itu telah mendorong golongan pemuda untuk membawa Ir. Soekarno dan Moh. Hatta keluar kota. Tindakan tersebut berdasarkan keputusan rapat terakhir yang diadakan oleh para pemuda pada pukul 00.30 menjelang tanggal 16 Agustus 1945. Selain dihadiri oleh pemuda-pemuda yang sebelumnya berada di ruangan Lembaga Bakteriologi, rapat itu juga dihadiri oleh Sukarni, Jusuf Kunto, dr. Muwardi dari barisan Pelopor dan Shodanco Singgih dari Daidan Peta Jakarta Syu. Bersama Chairul Shaleh mereka telah bersepakat untuk melaksanakan keputusan rapat pada waktu itu, yaitu antara lain ”menyingkirkan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta keluar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang”. Agar menghindari kecurigaan dari tindakan Jepang, Shudanco Singgih mendapat kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut.

Rencana tersebut berjalan lancar karena diperolehnya dukungan berupa perlengkapan Tentara peta dari Cudanco Latief Hendadiningrat yang pada saat itu sedang menggantikan Daidanco Kasman Singodimedjo yang bertugas ke Bandung. Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30 Ir. Soekarno dan Moh. Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa keluar kota menuju Rengasdengklok, sebuah kota kawedanan disebelah timur Jakarta. Rengasdengklok dipilih untuk mengamankan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta karena perhitungan militer. Disamping itu Rengasdengklok letaknya terpencil yakni 15 km kedalam dari Kedunggede, Karawang pada jalan raya Jakarta-Cirebon. Dengan demikian deteksi dapat dengan mudah dilaksanakan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang hendak datang ke Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta, maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah. Karena pastilah mereka harus melalui Kedunggede dahulu dimana Tentara Peta telah bersiap-siap untuk menahannya.

Sehari penuh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta di Rengasdengklok. Maksud pemuda untuk menekan mereka berdua supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia terlepas dari setiap kaitan dengan Jepang, ternyata tidak terlaksana. Sepertinya kedua pemimpin tersebut memiliki wibawa yang cukup besar, sehingga para pemuda yang membawanya segan untuk melakukan penekanan. Namun dalam suatu pembicaraan berdua dengan Soekarno, Shodanco Singgih menganggap Soekarno menyatakan kesediaanya untuk mengadakan Proklamasi itu segera sesudah kembali ke Jakarta. Berdasarkan anggapan itu Singgih kembali ke Jakarta untuk menyampaikan rencana Proklamasi itu kepada kawan-kawannya pemimpin pemuda.

Sementara itu di Jakarta antara Mr. Ahmad Sobardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda tercapai kata sepakat bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus dilakukan di Jakarta dimana Laksamana Tadashi Maeda bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada berada dirumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu Jusuf Kunto dari pihak pemuda pada hari itu juga mengantarkan Mr. Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya ke Rengasdengklok untuk menjemput Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Di Rengasdengklok oleh Ahmad Soebardjo diberi jaminan dengan taruhan nyawa bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 keesokan harinya selambat-lambatnya pukul 12.00. dengan jaminan tersebut komandan kompi Peta Cudanco Soebendo bersedia melepaskan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta kembali ke Jakarta.

2.2.3 Perumusan Teks Proklamasi

Sesampainya di Jakarta pada pukul 23.30 rombongan menuju rumah Laksamana Meida di Jalan Imam Bonjol No.1 setelah Ir. Soekarno dan Moh. Hatta singgah dirumah masing-masing terlebih dahulu. Di rumah itulah naskah Prokalmasi Kemerdekaan Indonesia disusun. Sebelumnya Ir. Soekarno dan Moh. Hatta telah menemui Somubuco, Mayor Jenderal Nishimura untuk menjajaki sikapnya mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Pada pertemuan tersebut tidak dicapai kata sepakat antara Soekarno-Hatta di satu pihak dengan Nishimura di lain pihak. Di satu pihak Soekarno-Hatta bertekad untuk melangsungkan rapat PPKI, yang pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945 itu tidak akan diadakan karena mereka dibawa oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jenderal Besar Terauci telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan pada PPKI. Di lain pihak, Nishimura menegaskan bahwa dengan menyerahnya Jepang pada Amerika serikat berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo. Sejak tengah hari sebelumnya tentara Jepang semata-mata sudah merupakan alat Amerika Serikat dan diharuskan tunduk kepada pemerintah Amerika Serikat. Berdasarkan kebijakan itu Nishimura melarang Soekarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Maka sampailah Soekarno-Hatta pada suatu kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Hanya mereka mengharapkan dari pihak Jepang supaya tidak menghalang-halangi pelaksanaan Proklamasi oleh rakyat Indonesia sendiri.

Setelah pertemuan itu Soekarno-Hatta kembali kerumah Maeda. Rumah Lasamana itu dianggap tempat yang aman dari tindakan pemerintah militer yang di Jawa dipegang oleh Angkatan Darat. Kedudukan Maeda sebagai Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut di daerah kekuasaan Angkatan darat memungkinkannya berhubungan dengan Mr. Ahmad Soebardjo dan sejumlah pemuda Indonesia yang bekerja pada kantornya. Berdasarkan hubungan baik itu rumah Maeda dijadikan tempat pertemuan antara berbagai golongan Pergerakan Nasional baik golongan tua maupun golongan pemuda.

Di ruang makan rumah itu dirumuskan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura bersama tiga orang pemuda yakni Soekarni, Mbah Diro, dan B.M. Diah menyaksikan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dan juga Ahmad Soebardjo membahas perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Soekarnolah yang menuliskan konsep Proklamasi pada secaraik kertas, sedangkan Moh. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikiran secara lisan. Sebagai hasil pembicaraan mereka bertiga diperolehlah rumusan tulisan tangan Ir. Soekarno yang berbunyi sebagai berikut:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-2 jang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjahra seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, 17 – 8 – ’05

Wakil-2 bangsa Indonesia ,

Kalimat pertama merupakan saran Mr. Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai. Sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Drs. Moh. Hatta. Beliau menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Menurutnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). Maka dihasilkanlah rumusan kalimat terakhir dari naskah Proklamasi tersebut.

Satelah dirumuskan konsep proklamasi tersebut, Ir. Soekarno mulai membuka pertemuan mejelang subuh itu dengan membacakan rumusan naskah Proklamasi yang masih merupakan konsep. Kepada mereka yang hadir, Ir. Soekarno menyarankan agar bersama-sama menandatangani naskah Proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau tokoh-tokoh golongan tua disebut-sebutnya sebagai ”budak-budak Jepang”. Turut menandatangani naskah proklamasi. Tetapi kemudian salah seorang tokoh pemuda, yakni Soekarni, mengusulkan agar yang menandatangani naskah Proklamasi cukup dua orang saja, yakni Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Dengan disetujuinya usul Soekarni tersebut oleh para hadirin, Ir. Soekarno meminta kepada Sajuti Melik untuk mengetik bersih naskah itu berdasarkan naskah tulisan tangan Soekarno, disertai dengan perubahan-perubahan yang telah disetujui.

Sajuti Melik segera mengetik naskah bersih dari rumusan Proklamasi. Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah bersih itu, yakni kata-kata ”tempoh” diganti menjadi ”tempo” sedangkan ”wakil-wakil bangsa Indonesia” pada bagian akhir diganti dengan ”Atas nama Bangsa Indonesia”. Demikian pula perubahan terjadi pada cara menulis tanggal, yaitu ”Djakarta, 17-8-05” menjadi ”Djakarta, hari 17 Boelan 8 tahoen ’05”. Dengan perubahan tersebut maka anskah yang sudah diketik segera ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta di rumah itu juga.

Demikianlah pertemuan yang menghasilkan naskah Prokalmasi kemerdekaan itu berlangsung pada tanggal 17 Agustus 1945 dini hari. Timbulah persoalan tentang bagaimana caranya naskah tersebut disebarluaskan keseluruh Indonesia. Soekarni melaporkan bahwa Lapangan Ikada telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengarkan pembacaan naskah Proklamasi. Ir. Soekarno menganggap Lapangan Ikada adalah salah satu lapangan umum yang bisa menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang. Karena itu ia mengusulkan supaya upacara Proklamasi dilakukan di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 saja. Usul itu disetujui dan pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung di tempat itu pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.30 ditengah-tengah bulan Puasa.

2.3. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Setelah selesai dirumuskannya naskah Proklamasi Kemerdekaan pada pukul 05.00 tanggal 17 Agustus 1945, Bung Hatta berpesan pada pemuda yang bekerja pada pers dan kantor berita terutama B.M. Diah untuk memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya keseluruh dunia. Semua alat komunikasi yang ada akan dipergunakan untuk menyebarkan berita Proklamasi. Pamflet, pengeras suara, mobil-mobil, akan dikerahkan kesegap penjuru kota. Diusahakan juga pengerahan masa untuk mendengarkan pembacaan Proklamasi di Pegangsaan Timur 56. Ribuan pamfletberhasil dicetak dengan roneo pada malam itu, dan segera disebarkan ke berbagai penjuru kota. Didalam situasi yang menegangkan itu, para pemuda memasang pamflet ditempat-tempat yang mudah dilihat oleh publik. Juga berita itu bisa disampaikan keluar kota Jakarta.

Pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, rumah Ir. Soekarno dipadati oleh sejumlah masa pemuda yang berbaris secara teratur dan tertib. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan Proklamasi, dr. Muwardi meminta kepada Cudanco Latief Hendraningrat dan anak buahnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Soekarno. Sementara itu persiapan di Pegangsaan Timur sendiri cukup sibuk. Dipersiapkan juga perlatan yang diperlukan, seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Mr. Wilopo dan Nyonoprawoto pergi kerumah Gunawan pemilik toko radio Satria di Salemba Tengah 24 untuk meminjamkan mikrofon dan pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud Komandan Pengawal Rumah Soekarno untuk menyiapkan satu tiang bendera. Namun bukan tiang besi yang disiapkannya, namun tiang bambu yang terlebih dahulu dibersihkan dan diberi tali, lalu ditanamkan di depan teras. Bendera yang dijahit tangan yang akan dikibarkan, sudah dipersiapkan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno. Sebagaimana yang telah disepakati semula oleh para pemimpin bangsa Indonesia menjelang pukul 10.30 telah berdatangan ke Pegangsaan Timur, diantara mereka adalah dr. Buntaran Martoatmodjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. Latuharhary, Abikusno Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, Oto Iskandardinata, Ki Hajar Dewantara, Sam Ratulangie, K.H. Mas Mansur, Mr. Hartono, Sajuti Melik, Pandu Kartawiguna, M. Tabrani, dr. Muwardi, A.G. Pringgodogdo, dan lain-lain.

Adapun acara yang ditentukan dalam upacara itu, diatur sebagai berikut:

Pertama, pembacaan Proklamasi;

Kedua, pengibaran bendera Merah putih;

Ketiga, sambutan Walikota Suwirjo dan dr. Muwardi.

Beberapa menit sebelum pukul 10.30, Soekarno dan Hatta pun keluar bersama-sama menuju tempat yang tersedia, diiringi oleh Nyonya Fatmawati Soekarno. Upacara berlangsung tanpa protokol. Semua pemuda yang menunggu dari pagi pun berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief mempersilahkan Soekarno-Hatta untuk maju beberapa langkah dari tempatnya semula. Soekarno mendekati mikrofon. Dengan suara yang mantap dan jelas ia mengucapkan pidato pendahuluan yang singkat sebelum membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan.’

”Saudara-saudara sekalian! Aya telah minta saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita.

Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.

Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naik ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju kearah cita-cita. Juga didalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Didalam Jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyadarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita yang menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita didalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dengan tangan sendiri, akan berdiri dengan kuatnya maka kami, tadi malam telah mengadakan mausyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia, Permusyawaratan itu seiasekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

Saudara-saudara!

Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjahra seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia

Soekarno/ Hatta

(tanda tangan Soekarno)

(tanda tangan Hatta)

Demikianlah saudara-saudara!

Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dengan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka, negara Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insya’Allah, Tuhan memberikan kemerdekaan kita itu.”

Acara selanjutnya dengan pengibaran bendera Merah Putih. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dengan bantuan Cudanco Latief. Bendera pun dinaikan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Seusai pengerekan bendera diteruskan dengan sambutan dari Walikota Suwirjo dan dr. Muwardi. Peristiwa besar itu berlangsung hanya selama lebih kurang satu jam dengan penuh kehidmatan sekalipun sangat sederhana.

Berita Proklamasi yang telah meluas diseluruh Indonesia. Pada pagi hari tanggal 17 Agustus itu juga, teks proklamasi telahs ampai di tangan Kepala Radio dari kantor Domei, Waidan B. Paleneweng. Segera ia memerintahkan F. Wuz, seorang markonis supaya disiarkan tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz menyelesaikan tugasnya, masuklah orang Jepang keruangan radio. Ia mengetahui berita itu telah tersiar keluar lewat udara. Dengan amrah-marah orang Jepang itu meminta agar penyiaran itu segera dihentikan. Tetapi Waidan B. Paleneweng memerintahkan kepada F. Wuz untuk terus menyiarkannya. Berita itu kemudian diulangi setiap setengah jam sekali sampai pukul 16.00 saat siaran berhenti. Akibat dari penyiaran itu, tentara Jepang memerintahkan untuk melarat berita tersebut dan menyatakannya sebagai kekeliruan. Pada hari Senin tanggal 20 Agustus 1945 pemancar itu disegel oleh pemerintah Jepang.

Sekalipun pemancar pada kantor Berita Domei disegel, mereka tidak hilang akal. Para pemuda membuat pemancar baru, dengan bantuan beberapa teknisi radio, Soekarman Sutamto, Soesilahardja, dan Suhandar. Dengan pemacar inilah seterusnya berita Proklamasi disisarkan. Uasaha para pemuda dalam penyiaran berita ini tidak terbatas lewat radio, melainkan lewat pers dan surat selebaran. Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus memuat berita Proklamasi dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia. Demikianlah berita proklamasi tersiar keseluruh pelosok tanah air.

2.4. Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dicapai sedikit demi sedikit melalui perjuangan rakyat yang rela mengorbankan segalanya. Setelah Jepang kalah, tentara Inggris datang untuk melucuti tentara Jepang. Mereka berkomplot dengan Belanda dan memperalat Jepang untuk menjajah kembali Indonesia. Jejak Perjuangan "Bandung Lautan Api" membawa kita menelusuri kembali berbagai kejadian di Bandung yang berpuncak pada suatu malam mencekam, saat penduduk melarikan diri, mengungsi, di tengah kobaran api dan tembakan musuh.Sebuah kisah tentang harapan, keberanian dan kasih sayang. Sebuah cerita dari para pejuang kita ...

Berita pembacaan teks Proklamasi Kemerde¬kaan dari Jakarta diterima di Bandung melalui Kantor Berita DOMEI pada hari Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Esoknya, 18 Agustus 1945, cetakan teks tersebut telah tersebar. Dicetak dengan tinta merah oleh Percetakan Siliwangi. Di Gedung DENIS, Jalan Braga (sekarang Gedung Bank Jabar), terjadi insiden perobekan warna biru bendera Belanda, sehingga warnanya tinggal merah dan putih menjadi bendera Indonesia. Perobekan dengan bayonet tersebut dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia bernama Mohammad Endang Karmas, dibantu oleh Moeljono.

Tanggal 27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober 1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur, Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.

Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat meng¬hadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.

Berbagai tekanan dan serangan terus dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Tanggal 5 Desember 1945, beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.

Tidak ada komentar: