Rabu, 16 Desember 2009

BELAJAR DARI (KMB) JANGAN LAGI PERCAYA BARAT KITA BISA MAJU DENGAN BEKERJA SAMA BANGSA SENDIRI

Dari tanggal 23 Agustus sampai tanggal 2 November 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB) diselenggarakan di Den Haag. Dari hasil perundingan ini ada beberapa dampak terhadap pihak Indonesia yang harus memberikan konsesi-konsesi dalam dua masalah yang paling sulit yaitu;
1. Pada tanggal 27 Desember 1949, negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia, tidak termasuk Papua. Belanda tetap mempertahankan kedaulatan atas Papua sampai ada perundingan-perundingan lebih lanjut mengenai setatus wilayah itu yang ditentukan satu tahun kemudian;
2. RIS memikul tanggung jawab atas hutang Hindia Timur Belanda yang setelah terjadi banyak tawar-menawar, jumlahnya ditetapkan sebesar 4,3 milyar gulden. Hal ini Hatta menganggap bahwa apapun hasil KMB tetap harus diterima. Menurut mereka yang paling penting, Belanda menarik kekuatan militernya dan menghargai kedaulatan politik Indonesia. Sebenarnya dana hutang yang ditanggung tersebut merupakan biaya perang pihak Belanda dalam menghentikan revolusi Indonesia hal tersebut juga dijelaskan oleh Ricklefts (2007: 466) bahwa:
“jumlahnya ditetapkan sebesar 4,3 milyar gulden; sebagian besar dari jumlah ini sebenarnya merupakan biaya yang dipakai oleh pihak Belanda dalam usahanya menumpas Revolusi”.

Hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal yang memberatkan bangsa Indonesia untuk mentaati keputusan dari hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag;
3. Pembentukan RIS, tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda;
4. Terjadinya gencatan senjata antara militer RIS dengan militer Belanda. Namun menurut Riclefts (2008: 488) bahwa:

“Pada tanggal 23 Januari 1950, Westerling dan sekitar 800 orang serdadunya merebut tempat-tempat penting di Bandung, tetapi komusaris Tinggi Belanda dan komandan garnisun Belanda yang masih berada di Bandung mendesaknya supaya mundur pada hari itu juga”.

Hal inilah yang kemudian menyebabkan sebagian para revolusioner melakukan penolakan terhadap hasil dari KMB terutama Soekarno dalam Pidatonya bahwa:
“Dengan Belanda, melalui K.M.B., kita mesti mentjairkan Djiwa-revolusi kita; di Indonesia sendiri, kita harus berkompromis dengan golongan-golongan jang non-revolusioner: golongan-golongan blandis, golongan-golongan reformis, golongan-golongan konservatif, golongan-golongan kontra-revolusioner, golongan-golongan bunglon dan tjetjunguk-tjetjunguk. Sampai-sampai kita, dalam mengorbankan djiwa revolusi ini, meninggalkan Undang-Undang-Dasar 1945 sebagai alat perdjoangan”. (2009: 351 – 357).

Meskipun pemerintah kolonial belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan indonesia dalam konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, namun tidak bisa ditutupi kenyataan bahwa hasil-hasil KMB banyak menguntungkan kepentingan ekonomi Belanda. Setidaknya untuk menopang perekonomian negeri Belanda yang masih carut-marut pasca Perang Dunia ke II, pemerintah Belanda memandang penting mempertahankan perusahaan-perusahaanya di Indonesia. Indonesia tetap amat penting bagi ekonomi Belanda. Hal ini tercermin dari suatu perkiraan resmi Belanda yang diungkapkan foreign bahwa:
“Pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari hubungan ekonomi dengan Indonesia (ekspor ke Indonesia, pengolahan Indonesia (ekspor ke Indonesia, pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman modal di Indonesia, transfer uang pensiun dan tabungan, dan lain-lain) merupakan 7,8 persen dari pendapatan nasional Belanda” Hartono (2008: 6)

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Warsosukarto (1956: ) bahwa:
“Achirnja Belanda dapat menguasai Indonesia dengan adanja persetudjuan K.M.B. Dia menquasai semua sumber kekajaan negara seperti : minjak, timah, gula, karet dll. Indonesia berdaulat, tetapi tidak berkuasa. Dalam praktek pemerintah hanja mendjadi pelindung pengedukan keuntungan jang lebih besar dari djaman sebelum perang. Kemelaratan tidak berkurang, tetapi makin bertambah. Bukan hanja makan kurang, pakaian tidak lengkap jang diderita, tetapi terlebih-lebih adanja gangguan keamanan akibat teror D.I.-T.I.I.”
Di sisi lain, beberapa tokoh Indonesia –terutama Moh.Hatta yang memimpin delegasi Indonesia-menganggap bahwa “apapun hasil KMB tetap harus diterima. Menurut mereka yang paling penting, Belanda menarik kekuatan militernya dan menghargai kedaulatan politik Indonesia” (Hartono, 2008: 6).
Beberapa kelompok kiri, terutama yang berbasiskan serikat pekerja, menganggap bahwa eksistensi perusahaan-perusaan Belanda di Indonesia, selain melakukan penindasan langsung terhadap pekerja Indonesia dengan politik upah murah, juga merupakan perwujudan masih bercokolnya neokolonialisme di Indonesia. Menghadapi ”watak kolonial” yang masih bercokol terutama di lapangan ekonomi, pemerintah berupaya mengambil langkah untuk menyelamatkan sektor yang dianggap strategis, terutama perbankan. Pada tahun 1953, dilakukan nasionalisasi terhadap Bank Java dan kemudian namanya berubah menjadi ”Bank Indonesia” yang kemudian dilanjutkan dengan nasionalisme aset-aset milik Belanda yang lainnya.

Tidak ada komentar: