oleh : Didi Sopyan. S (Sejarah UPI)
Sebuah Pengantar
Gerakan reformasi
berarti upaya demokratisasi di segala bidang, baik kehidupan secara sosial,
ekonomi, dan politik maupun kultural. Gerakan reformasi tidak hanya di wilayah
perkotaan, melainkan juga telah merembes dalam masyarakat pedesaan, termasuk
masyarakat pedesaan di Kabupaten Subang.
Gerakan reformasi
sebagai titik awal kesadaran masyarakat desa untuk membangun wilayahnya secara
mandiri. Gerakan ini pada dasarnya merupakan pembalikan strategi pembangunan
yang telah dijalankan pemerintah Orde Baru pada masa itu. Pada masa itu segala
perencanaan dan pembangunan dilakukan oleh negara dan aparatnya sementara warga
desa lebih dijadikan sebagai saluran semata dari institusi supra desa tersebut.
Ketika warga desa beramai-ramai mereformasi desanya sebagai “entry point” pemilihan kepala desa, pada
dasarnya merupakan usaha keleluasaan desa dalam pengelolaan sumber daya alam
dan manusia secara otonom, yang akan mewujudkan demokrasi substansial yang
lebih mengakar pada kehidupan sosial secara mengakar.
Namun kenyataannya menunjukan
bahwa gerakan reformasi yang dilakukan masyarakat desa acapkali menjurus ke
dalam tindakan kerusuhan massa. Terkesan bahwa cara-cara penyelesaian konflik
melalui kerusuhan massa menjadi “mode of
politic” yang melembaga dalam masyarakat Indonesia. Seolah-olah tiada cara
lain dalam menyelesaikan persengketaan sipil “kecuali” dengan melakukan kerusuhan massa. Fenomena sejarah ini
merupakan kenyataan yang tidak sejalan dengan semangat reformasi, sebab kerusuhan
massa cenderung menegasi demokratisasi yang justru menjauhkan diri dari “civilizing process”.
Fenomena kerusuhan
massa yang dilakukan oleh sebagian warga di Desa Padamulya memiliki
kecenderungan kuat karena kekeliruan menghitung jumlah surat undangan hak pilih
dengan jumlah surat suara yang di hitung. Hal ini memiliki persamaan masalah
dengan Pemilihan Kepala Desa Manyingsal yang dilakukan secara bersamaan pada
tanggal 26 Mei 2013. Massa menganggap bahwa panitia pilkades dari ke dua desa
ini terutama desa padamulya adanya kecurangan atau “kongkalikong” dengan calon yang memenangkan pilkades. Kerusuhan
massa di Desa Padamulya sangat menarik untuk diungkap, karena unik dan bersifat
lokal dan partikular. Selain itu juga kerusuhan massa itu ternyata memiliki
ciri-ciri umum, diantaranya adalah bersifat massal, kolektif, muncul secara
spontan, dan cenderung menggunakan aksi kerusuhan yang menjurus kepada
kekerasan “violence”. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan latar belakang struktur sosial, ekonomi, dan
kultural serta permasalahan lokal yang ada di setiap daerah, sehingga menjadi
ciri lokal masing-masing peristiwa kerusuhan.
Tulisan ini ingin
melihat sisi-sisi kerusuhan massa di desa Padamulya yang memfokuskan pada
sebab-sebab kerusuhan massa pasca penghitungan hasil pemilihan kepala desa yang
tidak “mach” dengan pengumuman jumlah
hak pilih yang datang ke TPPS. Tulisan ini berupaya menjawab struktur
sosio-kultural, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kerusuhan massa di Desa
Padamulya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang.
Kerangka Teoritik
Kepala desa adalah
seseorang yang menempati suatu peran sentral dan berpengaruh di desa. Kepala
desa atau kades sering pula di panggil dengan sebutan “pak lurah” atau “kuwu” memiliki
peran sebagai pemimpin desa yang tidak hanya bisa mempengaruhi orang lain
tetapi juga bisa menguasai kelompok lain dalam hubung atas-bawah.
Theodorson (1969:
227) menyatakan bahwa “kepemimpinan adalah pelaksanaan dari pengaruh dan
otoritas di dalam suatu hubungan sosial atau lebih diantara anggotannya”. Sementara
itu Suswanto (2000: 7) menyatakan bahwa “kepemimpinan adalah pelaksana otoritas
dan pengaruh oleh seseorang atau kelompok orang, baik sebagai pimpinan formal
maupun informal dalam mengorganisasi atau mengarahkan kegiatan sesuai dengan kepentingan
yang diajukan agar dapat tercapai”. Pimpinanan informal adalah pimpinan yang
tidak memiliki wewenang secara syah menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Sedangkan pimpinan formal adalah sebaliknya.
Pemimpin pada
dasarnya dapat dikelompokan dalam tataran elit masyarakat. Robert D. Putnam
mengemukakan ada tiga cara untuk menempatkan seseorang ke dalam kelompok elit. Pertama, melalui analisis posisi yang
bersifat formal, seperti kedudukan resmi dalam pemerintahan. Kedua, dengan analisis reputasi yang
lebih bersifat informal dalam masyarakat. Dan ketiga, dengan analisis keputusan melalui peranan yang dimainkannya
dalam pembuatan terhadap keputusan politik. Berdasarkan ketiga cara itu dapat
ditarik benang merah dari masing-masing karakteristik yang ada bahwa pemimpin
apapun sebutannya selalu berhubungan dengan massa. Artinya seseorang dapat
dianggap pemimpin jika yang bersangkutan dapat mempengaruhi dan mengerahkan
orang lain kepada tujuan yang hendak dicapai.
Pemilihan kepala desa
merupakan suatu peristiwa politik dan sekaligus sosial yang bersifat lokal,
namun senantiasa mendapat perhatian dari semua pihak, baik warga desa yang
melakukan pemilihan umum maupun dari luar desa atau desa tetangga. Sutresna
menyebutkan bahwa berhasil atau gagalnya kebijakan pemilihan kepala desa sangat
tergantung oleh aparat pelaksana di lapangan (1998: 38). Dalam hal ini
keterlibatan panitia sangat menentukan. Adanya tarik-menarik kepentingan antara
masyarakat desa yang ingin menggunakan hak pilihnya dengan harapan kepala desa
yang dipilih akan memperjuangkan kepentingannya. Di lain pihak pemerintah
mempunyai harapan agar kepala desa yang di pilih akan menjadi aparat yang taat,
loyal, dan mampu menjalankan program pemerintah.
Hal senanda
dikemukakan oleh Haryanto, yang menyatakan bahwa “berhasil tidaknya proses
pemilihan kepala desa lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal desa pada
desa tersebut (1997: 11). Calon kepala desa yang sering didukung seringkali
mengalami kegagalan oleh kekuatan dari luar desa, sehingga menyebabkan
kekecewaan masyarakat desa yang melampiaskan melalui sejumlah bentuk, misalnya
protes sosial, unjuk rasa, tindakan kekerasan massa, dan kerusuhan sosial.
Peristiwa kerusuhan massa yang menjurus kepada kekerasan massa dapat terjadi
mana kala terdapat akumulasi kekecewaan warga masyarakat tentang hasil
pemilihan kepala desa yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. kekecewaan
itu lebih diperparah lagi dengan adanya kelalaian dari panitia dalam
menjalankan tugasnya.
Struktur Sosio-Kultural di
Desa Padamulya
Desa Padamulya, seperti halnya desa-desa sekitarnya, masih bersifat
agraris. Masih bersifat tradisional yang berbeda dengan masyarakat modern.
Masyarakat tradisional lebih banyak berkomunikasi ke bawah dari pada ke atas.
Sementara pilihan kekuasaan yang digunakan lebih menekankan aspek kewibawaan
tradisional dengan pola kepemimpinan yang bersifat polymorphic.
Interaksi sosial
antar warga di Desa Padamulya tampak pada kelompok-kelompok sosial sebagai
modal sosial desa yang ada. Masyarakatanya dapat dikelompokan kedalam tiga
kelompok:
-->
1. Kelompok
ketetanggaan yaitu suatu kelompok masyarakat yang tinggal dalam suatu tempat
permukiman yang berdekatan dalam satu sama lainnya.
2. Kelompok
kekerabatan yaitu suatu kelompok yang berasal dari keluarga inti (nulear family), yang kemudian berkembang
menjadi keluarga luas (extenced family)
berdasarkan garis keturunan dari bapak atau ibu yang menjadi ikatan kekerabatan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang melibatkan unsur-unsur
emosi walaupun mereka tidak akrab akan tetapi memiliki ikatan sosial yang kuat
dan dapat ditunjukan melalui sejumlah institusi sosial yang berkembang di
masyarakat desa Padamulya. Hal itu dapat terlihat jelas apabila ada hajatan gantangan baik itu syukuran khitanan
anak atau resepsi pernikahan pada keluarga tertentu, maka masyarakat yang
menghadiri di samping keluarga di sekitar rumahnya tersebut juga nampak hadir
sejumlah keluarga luas tadi.
3. Kelompok kelas tradisional yaitu suatu
kelompok yang berasal dari warga satu keturunan cikal-bakal desa yang sering
kali menjadi elit desa dan kelompok yang merasa berasal dari warga pendatang
yang menjadi warga masyarakat biasa atau massa. Kedua kelas tradisional ini
seringkali menimbulkan konflik-konflik kepentingan dalam masyarakat desa.
Faktor-Faktor Kerusuhan Massa
Faktor-faktor kerusuhan
massa yang ada di Desa Padamulya pasca pemilihan kepala desa dapat dikelompokan
menjadi dua sebab. Pertama, disintegrasi
modal sosial warga desa. Kerusuhan massa di suatu wilayah tertentu pada
dasarnya harus digali dari kurun waktu peristiwa itu terjadi. Peristiwa
tertentu dalam dunia sosial barangkali memiliki hubungan dengan peristiwa
lainnya jauh ke masa silam, dalam sejarah ini disebut hukum kausalitas atau
hubungan sebab-akibat dari sebuah peristiwa atau lebih tepat disebut dengan
sebab umum dari peristiwa sejarah. Kekuatan peristiwa terdahulu dipandang
sebagai landasan untuk meletupkan suatu peristiwa tertentu, dalam hal ini
kerusuhan massa, yang tidak bisa diperhitungkan secara kuantitatif. Peristiwa
yang menjadi landasan penyebab peristiwa sekarang merupakan suatu akumulasi
yang tidak diperhitungkan. Jarak antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya
juga memiliki pengaruh yang sulit diperhitungkan. Adakalanya semakin dekat
dengan peristiwa sebelumnya secara rasional mampu meletupkan peristiwa yang
semakin kuat. Perhitungan seperti ini barangkali untuk benda-benda atau berupa
fisik dapat diterima. Dunia sosial bukan hanya mencakup akumulasi secara fisik
semata, melainkan akan melibatkan emosi dan hubungan-hubungan sosial yang
membentuk suatu jaringan sosial yang menjadikannya tidak mampu diurai melalui
pengamatan secara sepintas lalu (highlight).
Oleh karena itu, peristiwa sosial harus dicermati melalui cara kerja secara
hermeneutik dari peristiwa itu terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Bruns dalam
Sjamsudin, (2008: 212) bahwa “hermeneutika mencoba memahami makna sebenarnya (true meaning) dari sebuah dokumen,
sajak, teks hukum, tindakan manusia, bahasa, budaya asing, atau dapat juga diri
sendiri”. Tanpa bekerja seperti itu kita tidak akan mampu untuk memahami secara
jernih (verstehen) akar masalah suatu
peristiwa.
Desa Padamulya merupakan
desa yang cukup maju dalam hal pembangunan fisik oleh karena itu Desa Padamulya
termasuk Desa yang menjalankan program DMGR (Desa Mandiri Gotong-Royong) dan
menjadi salah satu Desa Peradaban yang diprogramkan oleh Bupati Subang. Pembangunan
yang dijalankan pemerintahan desa kurang merata bahkan ada anggapan bahwa ada
salah satu pemukiman masyarakat desa Padamulya yaitu warga Rw. 04 yang di
“anak-tirikan” sehingga pembangunan insprastruktur jalan agak diabaikan oleh
pemerintahan desa.
Selain dari itu luasnya
desa Padamulya yang penduduknya semakin lama semakin padat. Jumlah penduduk di
Desa Padamulya hingga saat pendataan penduduk untuk Daftar Pemilih Tetap (DPT)
Pilkades Padamulya 2013 mencapai 6066 orang. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya
golongan barat dan timur yang ingin memisahkan diri dari Desa Padamulya dalam
artian ingin adanya suatu pemekaran desa baru dari desa Padamulya terutama dari
golongan timur.
Kediktatoran penguasa
desa lama menjadi salah satu sebab umum pula, yang menjadi penyebab jenuhnya
masyarakat dan menimbulkan suatu gerakan reformasi kepala desa lama dalam
pemerintahan desa oleh masyarakat. Masyarakat sudah jenuh dipimpin oleh kepala
desa lama selama 12 tahun atau dua periode pemilihan kepala desa. Hal inilah yang
kemudian menimbulkan kebosanan yang dirasakan masyarakat karena tindakannya
yang arogan sehingga pada masa kepemimpinannya tidak ada masyarakat yang berani
melawannya. Bahkan masyarakat yang tahu pun lebih baik bungkam dari pada
melawan. Keadaan tersebut kemudian dirasakan oleh para pegawai desa yang
kemudian mengusungkan salah satu calon kepala desa (No. 2) dari tokoh
masyarakat sekaligus dari aparat desa yang dianggap pantas dan memiliki
kepribadian baik. Tokoh ini sangat didukung oleh masyarakat terutama yang
wilayahnya di “anak tirikan” seperti yang diceritrakan di atas.
Pada akhir pemerintahan kepala
desa lama terjadi pula suatu gerakan perlawanan para petani yang melawan
tindakannya karena menjual lahan mereka secara “paksa” dan dengan cara-cara tertentu
kepada investor asing yaitu para petani yang ada di kampung Cipacar. Permusuhan
antara golongan petani Cipacar dengan Kepala Desa lama semakin lama semakin
meruncing dan pada akhirnya memunculkan calon kepala desa (No. 3) yang memiliki
misi merubah dan merombak aparat desa secara besar-besaran yang dianggap sudah
menyalahi tugas pokok dan fungsi sebagai aparat pemerintahan desa. Karena calon
ini dari kalangan pemuda maka banyak didukung oleh kalangan muda dan golongan
petani yang dikecewakan tadi. Pertengkaran antar pribadi itu merembes menjadi
pertengkaran antar kelompok yaitu kelompok yang pro menjual tanah dan yang
kontra menjual tanah pertanian yang ada di blok Rancabeureum kampung Cipacar.
Dengan demikian, kedua kelompok tersebut secara historis telah memiliki rasa
permusuhan walaupun tidak ditunjukan secara terang-terangan, betapapun
permusuhan itu banyak diciptakan oleh struktur sosial dan politik yang
berkembang di wilayah desa Padamulya.
Sementara itu calon
kepala desa baru (No. 1) diusung dari tokoh masyarakat yang berbeda dusun dan
tidak memiliki permasalahan dengan kepala desa lama, berbeda dengan calon No. 2
dan No. 3 berada di satu dusun yang sama. Berbagai cara dilakukan oleh tim sukses
masing-masing calon untuk meraih simpati masyarakat dan gesekan demi gesekan
terjadi antar calon yang semakin lama semakin memanas. Adapun daftar nama-nama
calon kepala desa padamulya 2013 adalah sebagai berikut:
No
|
Nama Calon Kepala Desa
|
Alamat
|
1
2
3
|
Momo
Tri Mulyadi
Agustian
|
Langkap
Cipacar
Cipacar
|
Sumber
: Arsip Pikades Padamulya 2013
Gesekan itu secara tidak
langsung muncul pada saat kampanye bersama yang dilakukan oleh ketiga calon dan
panitia pada tanggal 23 Mei 2013 dengan berkonvoy bersama dengan menggunakan
kendaraan roda empat bak terbuka. Pada saat masing-masing calon diberikan
kesempatan untuk orasi dengan durasi 10 menit para pendukung dari masing-masing
calon bersorak ramai dan menteriaki calon pemimpin desa harapannya dan ada pula
celetukan tidak mengenakan yang dilontarkan kepada lawan calon yang mereka
dukung. Akan tetapi secara keseluruhan jalannya acara kegiatan kampanye tetap
berjalan dengan aman dan tertib sampai acara usai.
Kedua, kesalahan Panitia PILKADES dalam penghitungan surat undangan
yang masuk ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) inilah yang kemudian menjadi sebab
khusus dalam peristiwa kerusuhan massa pasca pemilihan kepala desa Padamulya
yang dilakukan pada tanggal 26 Mei 2013. Berdasarkan DPS (Daftar Pemilih
Sementara) Pilkades Padamulya sebanyak 6074 orang setelah di periksa dan didata
kembali kemudian ditetapkan menjadi DPT (Daftar Pemilih Tetap) sebanyak 6034
dan selanjutnya diperbaharui kembali karena ada kesalahan pencetakan nama-nama
dan jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) di RT. 07 dan pada akhirnya ditetapkan
DPT sebanyak 6066 orang pada tanggal 18 Mei 2013, delapan hari sebelum hari “H”
pemilihan berlangsung.
Pelaksanaan pemilihan langsung
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh panitia. Para calon kepala desa
satu-persatu berdatangan dan disambut oleh tim panitia pilkades Padamulya 2013.
Pada saat itu situasi desa tertib dan aman bahkan pihak keamanan dari Koramil,
Kepolisian, Satpol PP dan Linmas telah menempati posisinya masing-masing dalam
mengamankan jalannya pelaksanaan pemungutan suara. Warga desa bahkan
bersuka-ria melakukan pencoblosan. Masing-masing warga desa sangat mengharapkan
terpilihnya calon yang didukung. Apalagi warga Rw. 04 yang sangat mengharapkan terpilihnya
Calon No. 2 yaitu Tri Mulyadi.
Proses pemungutan suara
diawali oleh para calon kepala desa Padamulya dan istri yang diabadikan oleh
tim dokumentasi panitia Pilkades Padamulya 2013, secara keseluruhan kegiatan
pemungutan suara Pilkades Padamulya 2013 berjalan dengan tertib dan berakhir pukul
13. 00 WIB sesuai kesepakatan bersama antara calon kepa desa dengan panitia.
Pada akhir detik-detik penutupan dan setelah ketua panitia Pilkades Padamulya
mengumumkan ditutupnya acara pemungutan suara terjadi insiden kecil yaitu suatu
keributan di luar TPS yang dilakukan oleh tim sukses dari No. 1 karena surat
suara yang telah diwalikan untuk orang yang sakit terlambat masuk ke TPS dan
dimasukan kedalam kotak suara. Akan tetapi keributan itu bisa cepat diredam dan
ditertibkan kembali oleh tim keamanan, panitia Pilkades dan panitia pengawas
Pilkades.
Pada saat kotak suara
akan dibuka saksi dari No. 1 meminta kepada panitia Pilkades untuk mengumumkan
berapa Hak Pilih yang masuk dan menggunakan surat suaranya. Kemudian tim
panitia pengecekan dan penceklisan DPT menghitung dengan tergesa-gesa karena
terdesak oleh waktu pelaksanaan pembukaan kotak suara dan akhirnya mendapatkan
jumlah yang belum keliru yaitu sebanyak 5157 orang yang menggunakan hak
pilihnya dan 909 yang tidak menggunakan hak pilihnya. Jumlah tersebut kemudian
diumumkan oleh DANRAMIL Pagaden dengan pengeras suara secara otomatis
masyarakat yang ada pada saat itu yang ingin menyaksikan penghitungan suara
mendengar jumlah orang yang menggunakan hak pilihnya dengan jumlah orang yang
tidak menggunakan hak pilihnya.
Penghitungan suara
dilakukan dari pukul 13.30 WIB - 19.00 WIB. Ketua panitia kemudian mengumumkan
hasil penghitungan suara sebagai berikut:
“Kartu suara
yang sah sebanyak 5.177 suara. Kartu suara yang tidak sah sebanyak 48 suara.
Tanda gambar No. 1 atas nama Momo mendapat 2.314 suara. Tanda gambar No. 2 atas
nama Tri Mulyadi mendapat 2.222 suara dan tanda gambar No. 3 atas nama Agustian
641 suara. Berdasakan penghitungan suara tadi, panitia Pilkades memutuskan maka
bapak Momo sebagai kepala desa terpilih.”
Pengumuman tersebut
memunculkan tandatanya baik dikalangan panitia maupun pada masing-masing massa
pendukung calon karena perbandingan antara jumlah pemilih yang masuk ke TPS
lebih sedikit daripada Surat Suara yang masuk. Akan tetapi walaupun demikian
berdasarkan keputusan bersama antara calon kepala desa dan panitia Pilkades
menyetujui bahwa berdasarkan surat suara di dalam kotak suaralah yang dijadikan
acuan pemenangan. Hal tersebut tertuang dalam berita acara keputusan bersama
mengenai penghitungan suara yang telah ditandatangani oleh ketiga calon kepala
desa diatas materai. Pengumuman tersebut
pula yang menyulut kekecewaan warga Rw.04 dan para pendukung No. 2. Harapan
yang sangat tinggi dari warga Rw.04 dan pendukung No.2 agar terjadi pergantian kepala
desa yang lebih baik ternyata tidak tercapai. Hal itu berbuah kekecewaan dan
menimbulkan protes sosial. Endapan harapan dan pemikiran optimis dari warga
desa Rw.04 dan para pendukung No.2 menjadi isapan jempol belaka.
Warga
desa Padamulya memandang bahwa dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa itu
terdapat suatu keganjilan. Masyarakat awam memang tidak mengetahui dan tidak
memaklumi kesalahan panitia Pilkades dalam menghitung jumlah surat undangan
yang masuk yang berbeda dengan jumlah surat suara yang dihitung yaitu pada saat
penghitungan surat undangan yang masuk sebelum kotak suara dibuka sebanyak 5157
orang, tetapi pada saat penghitungan surat suara yang masuk sebanyak 5225 surat
suara, sehingga ada selisih antara jumlah penghitungan awal surat undangan yang
masuk dengan jumlah surat suara sebanyak 68 suara. Hal tersebut disadari oleh
seluruh panitia pada saat itu yang kemudian bersama-sama menghitung ulang
jumlah surat undangan yang masuk yang pada akhirnya cocok dengan jumlah surat
suara yaitu berjumlah 5225 surat undangan yang masuk. Pada saat pengumuman
akhir yang dibacakan oleh ketua panitia dan ditandatangani oleh para saksi dari
masing-masing calon terkecuali saksi-saksi dari No.3 yang pada saat itu
meninggalkan TPS sebelum penandatanganan berita acara hasil penghitungan surat
suara begitu juga dengan masyarakat desa Padamulya yang kebanyakan meninggalkan
area TPS. Sehingga banyak masyarakat yang salah persepsi dan masih mengganggap
bahwa jumlah surat undangan yang masuk pada saat itu adalah 5157 yang tidak
sesuai dengan jumlah surat suara.
Kondisi
inilah yang kemudian membangkitkan emosi dan kekecewaan sosial pada warga Rw.04
yang sebagian besar sebagai pendukung calon No.2. Kekecewaan tersebut pada
dasarnya juga sebagai akumulasi dari ketidakpuasan sosial, baik secara individu
maupun kelompok. Mereka yang kecewa itu pada awalnya melakukan protes sosial,
yang kemudian secara bersama-sama melakukan tidakan kerusuhan secara massal.
Kerusuhan Massa Pasca
PILKADES
Pada tanggal 26 Mei 2013
tepatnya sesaat pengumuman hasil pengitungan surat suara pukul 20.30 WIB, ketua
panitia dan dua orang anggota panitia Pilkades mencoba menenangkan suasana
kepada pihak pendukung No.2 selama kurang lebih satu jam di posko pemenangan
No.2, ketua dan dua orang anggota panitia pilkades mencoba berdialog dengan
simpatisan dan tim sukses No.2 akan tetapi mendapat kebuntuan dan simpatisan dan tim sukses No.2 tetap tidak
puas dengan hasil keputusan panitia Pilkades yang mengumumkan perolehan jumlah
hasil surat suara. Setelah ketua panitia kembali ke sekretariat panitia
Pilkades yang berada di Desa Padamulya tiba-tiba datang dua motor berjumlah
empat orang yang akan membuka paksa dan mengambil kotak suara yang sudah di
segel yang berisi surat suara yang sudah di hitung tadi dan upaya mereka gagal
karena kotak tersebut telah dijaga oleh aparat keamanan dan anggota BPD Desa
Padamulya.
Pada tanggal 27 Mei 2013
mungkin disebut dengan hari yang mendebarkan untuk 13 orang dari 17 orang
panitia Pilkades. Pada hari itu saksi dari No.2 mendatangi sekretariat Pilkades
padamulya pada pukul 08.00 WIB dengan maksud menanyakan dan memperifikasi
kembali jumlah surat suara yang masuk pada dokumen yang telah disahkan pada
saat setelah penghitungan surat suara usai. Kemudian panitia pilkades
memperlihatkan kembali dokumen berita acara tersebut kepada saksi No.2 dan
saksi dari No.2 meminta dokumen tersebut untuk di foto copy dan meminta foto
copynya tersebut. Tepat jam 10.15 WIB pada saat itu hujan gerimis pendukung Tri
Mulyadi yang didominasi warga Rw.04 mendatangi sekretariat Pilkades Padamulya
dengan wajah penuh dengan kekecewaan dan ketidakpercayaan kepada panitia dengan
hasil Pilkades tersebut.
Pembicaraan miring
terdengar di parkiran motor balai desa Padamulya mengenai celetukan bahwa
panitia Pilkades Padamulya curang, menggelembungkan suara, sampai ada yang
mengatakan bahwa panitia Pilkades Padamulya dibayar untuk memenangkan calon
No.1. Semakin siang semakin memuncak dan massa pendukung No.2 semakin banyak
mendatangi secretariat Pilkades Padamulya. Tepat pukul 12.30 WIB ba’da dzuhur
Ketua Panitia (Endang Budiawan, S.KM), PJS Kades Padamulya (Asep Sudrajat, S.H)
dan dua orang anggota panitia Pilkades beserta satu orang anggota Panwas
Pilkades mendatangi rumah Tri Mulyadi untuk meminta mengendalikan dan
menentramkan massa pendukungnya serta mengkonfirmasi terkait keikhlasan dalam
kekalahannya pada kegiatan Pilkades Padamulya 2013 dan pada saat itu Tri
Mulyadi mengikhlaskan dan mengaku legowo dengan keputusan hasil Pilkades 2013,
kemudian ketua panitia dan PJS kades Padamulya kembali ke Desa dan menjumpai
massa pendukung Tri Mulyadi yang terhitung sebanyak 86 orang yang sedang
ditertibkan oleh Babinsa dan Babinmas beserta Kapolsek Pagaden AKP Ahmad
Mulyana.
Kapolsek Pagaden
AKP.Ahmad Mulyana kemudian memberi pengarahan kepada massa pendukung Tri
Mulyadi sekitar pukul 14.22 WIB – 14.57 WIB yang kemudian disambung oleh
penjelasan ketua Panitia Pilkades Endang Budiawan, S.Km terkait dengan
pengakuan kekalahan Tri Mulyadi dalam Pilkades Padamulya. Massa pendukung Tri
Mulyadi kemudian membubarkan diri menuju rumah Tri Mulyadi menanyakan kabar
yang disampaikan oleh ketua Panitia Pilkades mengenai kelegowoannya atas
kekalahan dalam ajang Pemilihan Kepala Desa Padamulya. Belum sampai satu jam massa
pendukung Tri Mulyadi mendatangi kembali sekretariat Pilkades Padamulya sekitar
pukul 15.48 WIB dengan massa lebih
banyak mereka datang bersama Tri Mulyadi. Massa pun semakin beringas sampai
menuntut untuk dilakukannya pemilihan ulang segera dilakukan.
Dialog pun dilakukan
oleh panitia, saksi, Tri Mulyadi dan lawyer
Tri Mulyadi yang dimediasi oleh Kapolsek Pagaden beserta anggota Koramil
Pagaden. Sementara di luar ruangan sekretariat Pilkades Padamulya terlihat
Kanit Intel Polsek Pagaden bersama Babinsa dan Babinmas tampak sibuk melerai
massa yang geram akibat aksi propokator kerusuhan massa itu. Di dalam ruangan
secretariat Pilkades Padamulya ribut mengenai hasil coretan tally perolehan suara masing-masing
calon yang dilakukan oleh para saksi yang hilang padahal terdapat kecocokan
jumlah perolehan suara yang ada di tangan para saksi dengan papan tulis rekapan
surat suara. Akibat kelalaian panitia yang telah menghilangkan hasil coretan
saksi tersebut dibesar-besarkan dan tetap pada akhirnya massa menuntut dilakukannya
kembali pemilihan ulang. Massa kemudian dapat dilerai oleh Kapolsek dan salah
satu anggota Koramil Pagaden yang dengan sendirinya massa kemudian meninggalkan
diri kembali pulang menuju rumah Tri Mulyadi secara berangsur-angsur.
Waktu menunjukan Pukul
18.30 WIB suara handphone salah satu
anggota Panitia Pilkades yaitu Joko Sudarma berbunyi dan mendapati suara Tri
Mulyadi menelfon kemudia Joko memberikan telfonnya tersebut kepada ketua
Panitia Pilkdes dalam percakapannya tersebut yang di loadspeaker terdengar bahwa
sodara Tri Mulyadi meminta kesanggupan ketua panitia dan seluruh panitia untuk
siap diajukan ke persidangan. Merasa benar kemudian ketua dan para anggota
panitia Pilkades siap menerima permintaan Tri Mulyadi yang berencana untuk
membawa permasalahan ini ke persidangan. Lawyer
dari Tri Mulyadi meminta adakan pertemuan pada saat itu juga secara
tertutup tanpa adanya massa antara Tri Mulyadi, Endang Budiawan yang didampingi
oleh Arip Romadon dan Joko Sudarma dari kepanitiaan dan Lawyer Tri Mulyadi. Adapun tempat pertemuan mereka di kampung Gardu
tetangga desa. Ketua yang didampingi oleh dua anggota berangkat ke kampung
Gardu dengan jalan memutar tidak melewati jalan sodara Tri Mulyadi dikarenakan
massa terkonsentrasi di rumahnya Tri Mulyadi.
Pada saat setelah ketua
panitia bersama rekan panitia berangkat tiba-tiba sms datang kepada salah satu
anggota karang taruna Rw.04 yang memberitahukan bahwa massa dari rumah Tri
Mulyadi akan datang kembali ke desa. Serentak pada saat itu dua anggota Dalmas,
Babinmas Serda Darum dan anggota karang taruna menutup gerbang masuk desa dan
berjaga di depan gerbang masuk untuk mengendalikan massa agar segera pulang.
Massa pun berlalu tiba-tiba hujan lebat datang. Kami anggota panitia Pilkades
Padamulya yang menunggu di sekretariat berjumlah Sembilan orang dengan rasa
was-was dan tegang diamankan oleh tiga anggota keamanan babinmas seorang dan
dalmas dua orang. Sampai diantara anggota yang tersisa sebilan orang di dalam
sekretariat kelelahan karena dari pagi sampai jam 21.00 WIB berada di desa
dengan hirup pikuk yang mendebarkan mereka tidur beralaskan dus bekas air
mineral dan bekas baligho calon kepala desa yang ditertibkan pada saat masa
tenang dan ada pula anggota yang berdzikir pada saat itu.
Hujan semakin reda,
sebilan orang yang berada di sekretariat merasa kedinginan. Pada saat itu waktu
menunjukan pukul 11.40 WIB sementara ketua dan dua orang anggota pilkades
Padamulya belum juga pulang dari pertemuan bersama Lawyer, Tri Mulyadi dan kerabat Tri Mulyadi yang bernama Dadang.
Kami pun memutuskan menunggu ketua pulang di rumahnya, kebetulan rumah ketua
dengan desa berdekatan. Pukul 01.20 WIB, ketua panitia dan dua orang anggota
pulang sementara anggota di rumah ketua berjumlah delapan orang sedang tertidur
kelelahan kemudian satu persatu bangun dan mendengarkan arahan ketua untuk
tetap tenang dan yakin bahwa masalah ini akan segera terselesaikan dengan baik.
Pada pukul 02.00 WIB, kami pun pulang bersama-sama ke rumah masing-masing.
Wujud kerusuhan massa
yang dilakukan oleh warga desa Padamulya tersebut jelas sebagai ketidakmampuan
mereka merealisasikan harapan untuk memenangkan calon kepala desa. Harapan
besar yang jauh sebelum massa kampanye berlangsung dari warga desa Padamulya
memprediksi bahwa sebagai kepala desa yang sudah pasti jadi (calon jadi) adalah
No.2 atas nama Tri Mulyadi dari kampung Cipacar. Akan tetapi setelah
perhitungan suara selesai, ternyata harapannya diluluhlantahkan oleh kenyataan
riil bahwa calon kepala desa yang telah digadang-gadang (dijagokan) sejak lama
itu mengalami kekalahan sangat tipis.
Kerusuhan massa yang
dilakukan oleh warga desa Padamulya ternyata tidak mampu memecahkan persoalan.
Kerusuhan massa justru hanya memperkeruh permasalahan yang dihadapi oleh warga
desa. Selain itu juga protes yang digelar oleh warga Rw.04 pasca pemilihan
kepala desa tidak mendapat tanggapan yang berarti dari pihak Panitia Pemilihan
Kepala Desa dan Calon Kepala Desa terpilih. Calon Kepala Desa terpilih tidak
menanggapi protes warga tersebut, bahkan berpendapat bahwa proses pemilihan
berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Penutup
Kerusuhan massa yang
terjadi di Desa Padamulya merupakan suatu akumulasi kekecewaan yang berlangsung
lama. Kelalaian panitia Pilkades dalam menghitung jumlah surat undangan yang masuk yang berbeda dengan jumlah surat
suara yang dihitung yaitu pada saat penghitungan surat undangan yang masuk
sebelum kotak suara dibuka sebanyak 5157 orang, tetapi pada saat penghitungan
surat suara yang masuk sebanyak 5225 surat suara, sehingga ada selisih antara
jumlah penghitungan awal surat undangan yang masuk dengan jumlah surat suara
sebanyak 68 suara.
Kerusuhan massa yang
terjadi di Desa Padamulya pada dasarnya suatu refleksi ketidakberdayaan warga
Rw.04 dalam menyelesaikan persoalan. Mereka memanfaatkan peluang politik yang
sedang berubah. Para elite dan simpatisan bukan mengakui kekalahan, namun
justru melakukan mobilisasi massa dengan cara menggerakan sejumlah warga
masyarakat pendukung Tri Mulyadi untuk melakukan tindakan protes sosial.
Oleh karena itulah,
setiap ajang pesta demokrasi desa atau pemilihan kepala desa, atau jenis
pemilihan yang lain, hendaklah diperhatikan hal-hal berikut. Pertama, perlunya pemilihan anggota
panitia yang netral, jujur, adil, dan transparan. Kedua, penempatan Daftar Pemilih Sementara harus transparan dan
dipasang di tempat yang dapat dibaca oleh warga masyarakat secara keseluruhan. Ketiga, sebaiknya dalam melakukan
perhitungan surat undangan pemilih dengan hati-hati dan teliti atau jika tidak
buatlah kesepakatan bersama antara panitia dan masing-masing calon mengenai
kesepakatan surat suara yang sah adalah surat suara yang ada di dalam kotak
suara dan tidak mengacu kepada jumlah surat suara yang dihitung. Keempat, jangan pernah mengumumkan
sesuatu yang tidak pasti dengan menggunakan pengeras suara mengenai hasil
pengecekan yang ragu.
Referensi
Haryanto. (1997). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses
Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sleman. Yogyakarta : UGM
Sjamsudin, Helius.
(2007). Metodologi Sejarah.
Yogyakarta : Ombak.
Suswanto, Bambang.
(2000). Kerusuhan Sosial: Studi Kasus
Pemilihan Kepala Desa Sirau Purbalingga. Yogyakarta : UGM
Sutresna, Widya.
(1998). Implementasi Kebijakan Pemilihan
Kepala Desa Ceper, Kabupaten Klaten. Yogyakarta : UGM
Theodorson, George. (1969).
A Modern Dictionary of Sosiology. New
York: Thomas Y. Cromwell & Co.