Kamis, 30 Mei 2013

PART 2KERUSUHAN MASSA PASCA PEMILIHAN KEPALA DESA PADAMULYA


oleh : Didi Sopyan. S (Sejarah UPI)
Sebuah Pengantar
          Gerakan reformasi berarti upaya demokratisasi di segala bidang, baik kehidupan secara sosial, ekonomi, dan politik maupun kultural. Gerakan reformasi tidak hanya di wilayah perkotaan, melainkan juga telah merembes dalam masyarakat pedesaan, termasuk masyarakat pedesaan di Kabupaten Subang.
          Gerakan reformasi sebagai titik awal kesadaran masyarakat desa untuk membangun wilayahnya secara mandiri. Gerakan ini pada dasarnya merupakan pembalikan strategi pembangunan yang telah dijalankan pemerintah Orde Baru pada masa itu. Pada masa itu segala perencanaan dan pembangunan dilakukan oleh negara dan aparatnya sementara warga desa lebih dijadikan sebagai saluran semata dari institusi supra desa tersebut. Ketika warga desa beramai-ramai mereformasi desanya sebagai “entry point” pemilihan kepala desa, pada dasarnya merupakan usaha keleluasaan desa dalam pengelolaan sumber daya alam dan manusia secara otonom, yang akan mewujudkan demokrasi substansial yang lebih mengakar pada kehidupan sosial secara mengakar.
          Namun kenyataannya menunjukan bahwa gerakan reformasi yang dilakukan masyarakat desa acapkali menjurus ke dalam tindakan kerusuhan massa. Terkesan bahwa cara-cara penyelesaian konflik melalui kerusuhan massa menjadi “mode of politic” yang melembaga dalam masyarakat Indonesia. Seolah-olah tiada cara lain dalam menyelesaikan persengketaan sipil “kecuali” dengan melakukan kerusuhan massa. Fenomena sejarah ini merupakan kenyataan yang tidak sejalan dengan semangat reformasi, sebab kerusuhan massa cenderung menegasi demokratisasi yang justru menjauhkan diri dari “civilizing process”.
          Fenomena kerusuhan massa yang dilakukan oleh sebagian warga di Desa Padamulya memiliki kecenderungan kuat karena kekeliruan menghitung jumlah surat undangan hak pilih dengan jumlah surat suara yang di hitung. Hal ini memiliki persamaan masalah dengan Pemilihan Kepala Desa Manyingsal yang dilakukan secara bersamaan pada tanggal 26 Mei 2013. Massa menganggap bahwa panitia pilkades dari ke dua desa ini terutama desa padamulya adanya kecurangan atau “kongkalikong” dengan calon yang memenangkan pilkades. Kerusuhan massa di Desa Padamulya sangat menarik untuk diungkap, karena unik dan bersifat lokal dan partikular. Selain itu juga kerusuhan massa itu ternyata memiliki ciri-ciri umum, diantaranya adalah bersifat massal, kolektif, muncul secara spontan, dan cenderung menggunakan aksi kerusuhan yang menjurus kepada kekerasan “violence”. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan latar belakang struktur sosial, ekonomi, dan kultural serta permasalahan lokal yang ada di setiap daerah, sehingga menjadi ciri lokal masing-masing peristiwa kerusuhan.
          Tulisan ini ingin melihat sisi-sisi kerusuhan massa di desa Padamulya yang memfokuskan pada sebab-sebab kerusuhan massa pasca penghitungan hasil pemilihan kepala desa yang tidak “mach” dengan pengumuman jumlah hak pilih yang datang ke TPPS. Tulisan ini berupaya menjawab struktur sosio-kultural, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kerusuhan massa di Desa Padamulya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang.
Kerangka Teoritik
          Kepala desa adalah seseorang yang menempati suatu peran sentral dan berpengaruh di desa. Kepala desa atau kades sering pula di panggil dengan sebutan “pak lurah” atau “kuwu” memiliki peran sebagai pemimpin desa yang tidak hanya bisa mempengaruhi orang lain tetapi juga bisa menguasai kelompok lain dalam hubung atas-bawah.         
          Theodorson (1969: 227) menyatakan bahwa “kepemimpinan adalah pelaksanaan dari pengaruh dan otoritas di dalam suatu hubungan sosial atau lebih diantara anggotannya”. Sementara itu Suswanto (2000: 7) menyatakan bahwa “kepemimpinan adalah pelaksana otoritas dan pengaruh oleh seseorang atau kelompok orang, baik sebagai pimpinan formal maupun informal dalam mengorganisasi atau mengarahkan kegiatan sesuai dengan kepentingan yang diajukan agar dapat tercapai”. Pimpinanan informal adalah pimpinan yang tidak memiliki wewenang secara syah menurut ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan pimpinan formal adalah sebaliknya.
          Pemimpin pada dasarnya dapat dikelompokan dalam tataran elit masyarakat. Robert D. Putnam mengemukakan ada tiga cara untuk menempatkan seseorang ke dalam kelompok elit. Pertama, melalui analisis posisi yang bersifat formal, seperti kedudukan resmi dalam pemerintahan. Kedua, dengan analisis reputasi yang lebih bersifat informal dalam masyarakat. Dan ketiga, dengan analisis keputusan melalui peranan yang dimainkannya dalam pembuatan terhadap keputusan politik. Berdasarkan ketiga cara itu dapat ditarik benang merah dari masing-masing karakteristik yang ada bahwa pemimpin apapun sebutannya selalu berhubungan dengan massa. Artinya seseorang dapat dianggap pemimpin jika yang bersangkutan dapat mempengaruhi dan mengerahkan orang lain kepada tujuan yang hendak dicapai.
          Pemilihan kepala desa merupakan suatu peristiwa politik dan sekaligus sosial yang bersifat lokal, namun senantiasa mendapat perhatian dari semua pihak, baik warga desa yang melakukan pemilihan umum maupun dari luar desa atau desa tetangga. Sutresna menyebutkan bahwa berhasil atau gagalnya kebijakan pemilihan kepala desa sangat tergantung oleh aparat pelaksana di lapangan (1998: 38). Dalam hal ini keterlibatan panitia sangat menentukan. Adanya tarik-menarik kepentingan antara masyarakat desa yang ingin menggunakan hak pilihnya dengan harapan kepala desa yang dipilih akan memperjuangkan kepentingannya. Di lain pihak pemerintah mempunyai harapan agar kepala desa yang di pilih akan menjadi aparat yang taat, loyal, dan mampu menjalankan program pemerintah.
          Hal senanda dikemukakan oleh Haryanto, yang menyatakan bahwa “berhasil tidaknya proses pemilihan kepala desa lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal desa pada desa tersebut (1997: 11). Calon kepala desa yang sering didukung seringkali mengalami kegagalan oleh kekuatan dari luar desa, sehingga menyebabkan kekecewaan masyarakat desa yang melampiaskan melalui sejumlah bentuk, misalnya protes sosial, unjuk rasa, tindakan kekerasan massa, dan kerusuhan sosial. Peristiwa kerusuhan massa yang menjurus kepada kekerasan massa dapat terjadi mana kala terdapat akumulasi kekecewaan warga masyarakat tentang hasil pemilihan kepala desa yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. kekecewaan itu lebih diperparah lagi dengan adanya kelalaian dari panitia dalam menjalankan tugasnya.
Struktur Sosio-Kultural di Desa Padamulya
          Desa Padamulya, seperti halnya desa-desa sekitarnya, masih bersifat agraris. Masih bersifat tradisional yang berbeda dengan masyarakat modern. Masyarakat tradisional lebih banyak berkomunikasi ke bawah dari pada ke atas. Sementara pilihan kekuasaan yang digunakan lebih menekankan aspek kewibawaan tradisional dengan pola kepemimpinan yang bersifat polymorphic.
          Interaksi sosial antar warga di Desa Padamulya tampak pada kelompok-kelompok sosial sebagai modal sosial desa yang ada. Masyarakatanya dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok:
-->
1.    Kelompok ketetanggaan yaitu suatu kelompok masyarakat yang tinggal dalam suatu tempat permukiman yang berdekatan dalam satu sama lainnya.
2.    Kelompok kekerabatan yaitu suatu kelompok yang berasal dari keluarga inti (nulear family), yang kemudian berkembang menjadi keluarga luas (extenced family) berdasarkan garis keturunan dari bapak atau ibu yang menjadi ikatan kekerabatan secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang melibatkan unsur-unsur emosi walaupun mereka tidak akrab akan tetapi memiliki ikatan sosial yang kuat dan dapat ditunjukan melalui sejumlah institusi sosial yang berkembang di masyarakat desa Padamulya. Hal itu dapat terlihat jelas apabila ada hajatan gantangan baik itu syukuran khitanan anak atau resepsi pernikahan pada keluarga tertentu, maka masyarakat yang menghadiri di samping keluarga di sekitar rumahnya tersebut juga nampak hadir sejumlah keluarga luas tadi.
3.     Kelompok kelas tradisional yaitu suatu kelompok yang berasal dari warga satu keturunan cikal-bakal desa yang sering kali menjadi elit desa dan kelompok yang merasa berasal dari warga pendatang yang menjadi warga masyarakat biasa atau massa. Kedua kelas tradisional ini seringkali menimbulkan konflik-konflik kepentingan dalam masyarakat desa.

-->
Faktor-Faktor Kerusuhan Massa
Faktor-faktor kerusuhan massa yang ada di Desa Padamulya pasca pemilihan kepala desa dapat dikelompokan menjadi dua sebab. Pertama, disintegrasi modal sosial warga desa. Kerusuhan massa di suatu wilayah tertentu pada dasarnya harus digali dari kurun waktu peristiwa itu terjadi. Peristiwa tertentu dalam dunia sosial barangkali memiliki hubungan dengan peristiwa lainnya jauh ke masa silam, dalam sejarah ini disebut hukum kausalitas atau hubungan sebab-akibat dari sebuah peristiwa atau lebih tepat disebut dengan sebab umum dari peristiwa sejarah. Kekuatan peristiwa terdahulu dipandang sebagai landasan untuk meletupkan suatu peristiwa tertentu, dalam hal ini kerusuhan massa, yang tidak bisa diperhitungkan secara kuantitatif. Peristiwa yang menjadi landasan penyebab peristiwa sekarang merupakan suatu akumulasi yang tidak diperhitungkan. Jarak antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya juga memiliki pengaruh yang sulit diperhitungkan. Adakalanya semakin dekat dengan peristiwa sebelumnya secara rasional mampu meletupkan peristiwa yang semakin kuat. Perhitungan seperti ini barangkali untuk benda-benda atau berupa fisik dapat diterima. Dunia sosial bukan hanya mencakup akumulasi secara fisik semata, melainkan akan melibatkan emosi dan hubungan-hubungan sosial yang membentuk suatu jaringan sosial yang menjadikannya tidak mampu diurai melalui pengamatan secara sepintas lalu (highlight). Oleh karena itu, peristiwa sosial harus dicermati melalui cara kerja secara hermeneutik dari peristiwa itu terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Bruns dalam Sjamsudin, (2008: 212) bahwa “hermeneutika mencoba memahami makna sebenarnya (true meaning) dari sebuah dokumen, sajak, teks hukum, tindakan manusia, bahasa, budaya asing, atau dapat juga diri sendiri”. Tanpa bekerja seperti itu kita tidak akan mampu untuk memahami secara jernih (verstehen) akar masalah suatu peristiwa.
Desa Padamulya merupakan desa yang cukup maju dalam hal pembangunan fisik oleh karena itu Desa Padamulya termasuk Desa yang menjalankan program DMGR (Desa Mandiri Gotong-Royong) dan menjadi salah satu Desa Peradaban yang diprogramkan oleh Bupati Subang. Pembangunan yang dijalankan pemerintahan desa kurang merata bahkan ada anggapan bahwa ada salah satu pemukiman masyarakat desa Padamulya yaitu warga Rw. 04 yang di “anak-tirikan” sehingga pembangunan insprastruktur jalan agak diabaikan oleh pemerintahan desa.
Selain dari itu luasnya desa Padamulya yang penduduknya semakin lama semakin padat. Jumlah penduduk di Desa Padamulya hingga saat pendataan penduduk untuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkades Padamulya 2013 mencapai 6066 orang. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya golongan barat dan timur yang ingin memisahkan diri dari Desa Padamulya dalam artian ingin adanya suatu pemekaran desa baru dari desa Padamulya terutama dari golongan timur.
Kediktatoran penguasa desa lama menjadi salah satu sebab umum pula, yang menjadi penyebab jenuhnya masyarakat dan menimbulkan suatu gerakan reformasi kepala desa lama dalam pemerintahan desa oleh masyarakat. Masyarakat sudah jenuh dipimpin oleh kepala desa lama selama 12 tahun atau dua periode pemilihan kepala desa. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kebosanan yang dirasakan masyarakat karena tindakannya yang arogan sehingga pada masa kepemimpinannya tidak ada masyarakat yang berani melawannya. Bahkan masyarakat yang tahu pun lebih baik bungkam dari pada melawan. Keadaan tersebut kemudian dirasakan oleh para pegawai desa yang kemudian mengusungkan salah satu calon kepala desa (No. 2) dari tokoh masyarakat sekaligus dari aparat desa yang dianggap pantas dan memiliki kepribadian baik. Tokoh ini sangat didukung oleh masyarakat terutama yang wilayahnya di “anak tirikan” seperti yang diceritrakan di atas.
Pada akhir pemerintahan kepala desa lama terjadi pula suatu gerakan perlawanan para petani yang melawan tindakannya karena menjual lahan mereka secara “paksa” dan dengan cara-cara tertentu kepada investor asing yaitu para petani yang ada di kampung Cipacar. Permusuhan antara golongan petani Cipacar dengan Kepala Desa lama semakin lama semakin meruncing dan pada akhirnya memunculkan calon kepala desa (No. 3) yang memiliki misi merubah dan merombak aparat desa secara besar-besaran yang dianggap sudah menyalahi tugas pokok dan fungsi sebagai aparat pemerintahan desa. Karena calon ini dari kalangan pemuda maka banyak didukung oleh kalangan muda dan golongan petani yang dikecewakan tadi. Pertengkaran antar pribadi itu merembes menjadi pertengkaran antar kelompok yaitu kelompok yang pro menjual tanah dan yang kontra menjual tanah pertanian yang ada di blok Rancabeureum kampung Cipacar. Dengan demikian, kedua kelompok tersebut secara historis telah memiliki rasa permusuhan walaupun tidak ditunjukan secara terang-terangan, betapapun permusuhan itu banyak diciptakan oleh struktur sosial dan politik yang berkembang di wilayah desa Padamulya.
Sementara itu calon kepala desa baru (No. 1) diusung dari tokoh masyarakat yang berbeda dusun dan tidak memiliki permasalahan dengan kepala desa lama, berbeda dengan calon No. 2 dan No. 3 berada di satu dusun yang sama. Berbagai cara dilakukan oleh tim sukses masing-masing calon untuk meraih simpati masyarakat dan gesekan demi gesekan terjadi antar calon yang semakin lama semakin memanas. Adapun daftar nama-nama calon kepala desa padamulya 2013 adalah sebagai berikut:
No
Nama Calon Kepala Desa
Alamat
1
2
3
Momo
Tri Mulyadi
Agustian
Langkap
Cipacar
Cipacar
Sumber : Arsip Pikades Padamulya 2013
Gesekan itu secara tidak langsung muncul pada saat kampanye bersama yang dilakukan oleh ketiga calon dan panitia pada tanggal 23 Mei 2013 dengan berkonvoy bersama dengan menggunakan kendaraan roda empat bak terbuka. Pada saat masing-masing calon diberikan kesempatan untuk orasi dengan durasi 10 menit para pendukung dari masing-masing calon bersorak ramai dan menteriaki calon pemimpin desa harapannya dan ada pula celetukan tidak mengenakan yang dilontarkan kepada lawan calon yang mereka dukung. Akan tetapi secara keseluruhan jalannya acara kegiatan kampanye tetap berjalan dengan aman dan tertib sampai acara usai.
Kedua, kesalahan Panitia PILKADES dalam penghitungan surat undangan yang masuk ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) inilah yang kemudian menjadi sebab khusus dalam peristiwa kerusuhan massa pasca pemilihan kepala desa Padamulya yang dilakukan pada tanggal 26 Mei 2013. Berdasarkan DPS (Daftar Pemilih Sementara) Pilkades Padamulya sebanyak 6074 orang setelah di periksa dan didata kembali kemudian ditetapkan menjadi DPT (Daftar Pemilih Tetap) sebanyak 6034 dan selanjutnya diperbaharui kembali karena ada kesalahan pencetakan nama-nama dan jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) di RT. 07 dan pada akhirnya ditetapkan DPT sebanyak 6066 orang pada tanggal 18 Mei 2013, delapan hari sebelum hari “H” pemilihan berlangsung.
Pelaksanaan pemilihan langsung sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh panitia. Para calon kepala desa satu-persatu berdatangan dan disambut oleh tim panitia pilkades Padamulya 2013. Pada saat itu situasi desa tertib dan aman bahkan pihak keamanan dari Koramil, Kepolisian, Satpol PP dan Linmas telah menempati posisinya masing-masing dalam mengamankan jalannya pelaksanaan pemungutan suara. Warga desa bahkan bersuka-ria melakukan pencoblosan. Masing-masing warga desa sangat mengharapkan terpilihnya calon yang didukung. Apalagi warga Rw. 04 yang sangat mengharapkan terpilihnya Calon No. 2 yaitu Tri Mulyadi.
Proses pemungutan suara diawali oleh para calon kepala desa Padamulya dan istri yang diabadikan oleh tim dokumentasi panitia Pilkades Padamulya 2013, secara keseluruhan kegiatan pemungutan suara Pilkades Padamulya 2013 berjalan dengan tertib dan berakhir pukul 13. 00 WIB sesuai kesepakatan bersama antara calon kepa desa dengan panitia. Pada akhir detik-detik penutupan dan setelah ketua panitia Pilkades Padamulya mengumumkan ditutupnya acara pemungutan suara terjadi insiden kecil yaitu suatu keributan di luar TPS yang dilakukan oleh tim sukses dari No. 1 karena surat suara yang telah diwalikan untuk orang yang sakit terlambat masuk ke TPS dan dimasukan kedalam kotak suara. Akan tetapi keributan itu bisa cepat diredam dan ditertibkan kembali oleh tim keamanan, panitia Pilkades dan panitia pengawas Pilkades.
Pada saat kotak suara akan dibuka saksi dari No. 1 meminta kepada panitia Pilkades untuk mengumumkan berapa Hak Pilih yang masuk dan menggunakan surat suaranya. Kemudian tim panitia pengecekan dan penceklisan DPT menghitung dengan tergesa-gesa karena terdesak oleh waktu pelaksanaan pembukaan kotak suara dan akhirnya mendapatkan jumlah yang belum keliru yaitu sebanyak 5157 orang yang menggunakan hak pilihnya dan 909 yang tidak menggunakan hak pilihnya. Jumlah tersebut kemudian diumumkan oleh DANRAMIL Pagaden dengan pengeras suara secara otomatis masyarakat yang ada pada saat itu yang ingin menyaksikan penghitungan suara mendengar jumlah orang yang menggunakan hak pilihnya dengan jumlah orang yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Penghitungan suara dilakukan dari pukul 13.30 WIB - 19.00 WIB. Ketua panitia kemudian mengumumkan hasil penghitungan suara sebagai berikut:
“Kartu suara yang sah sebanyak 5.177 suara. Kartu suara yang tidak sah sebanyak 48 suara. Tanda gambar No. 1 atas nama Momo mendapat 2.314 suara. Tanda gambar No. 2 atas nama Tri Mulyadi mendapat 2.222 suara dan tanda gambar No. 3 atas nama Agustian 641 suara. Berdasakan penghitungan suara tadi, panitia Pilkades memutuskan maka bapak Momo sebagai kepala desa terpilih.”

Pengumuman tersebut memunculkan tandatanya baik dikalangan panitia maupun pada masing-masing massa pendukung calon karena perbandingan antara jumlah pemilih yang masuk ke TPS lebih sedikit daripada Surat Suara yang masuk. Akan tetapi walaupun demikian berdasarkan keputusan bersama antara calon kepala desa dan panitia Pilkades menyetujui bahwa berdasarkan surat suara di dalam kotak suaralah yang dijadikan acuan pemenangan. Hal tersebut tertuang dalam berita acara keputusan bersama mengenai penghitungan suara yang telah ditandatangani oleh ketiga calon kepala desa diatas materai.  Pengumuman tersebut pula yang menyulut kekecewaan warga Rw.04 dan para pendukung No. 2. Harapan yang sangat tinggi dari warga Rw.04 dan pendukung No.2 agar terjadi pergantian kepala desa yang lebih baik ternyata tidak tercapai. Hal itu berbuah kekecewaan dan menimbulkan protes sosial. Endapan harapan dan pemikiran optimis dari warga desa Rw.04 dan para pendukung No.2 menjadi isapan jempol belaka.
Warga desa Padamulya memandang bahwa dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa itu terdapat suatu keganjilan. Masyarakat awam memang tidak mengetahui dan tidak memaklumi kesalahan panitia Pilkades dalam menghitung jumlah surat undangan yang masuk yang berbeda dengan jumlah surat suara yang dihitung yaitu pada saat penghitungan surat undangan yang masuk sebelum kotak suara dibuka sebanyak 5157 orang, tetapi pada saat penghitungan surat suara yang masuk sebanyak 5225 surat suara, sehingga ada selisih antara jumlah penghitungan awal surat undangan yang masuk dengan jumlah surat suara sebanyak 68 suara. Hal tersebut disadari oleh seluruh panitia pada saat itu yang kemudian bersama-sama menghitung ulang jumlah surat undangan yang masuk yang pada akhirnya cocok dengan jumlah surat suara yaitu berjumlah 5225 surat undangan yang masuk. Pada saat pengumuman akhir yang dibacakan oleh ketua panitia dan ditandatangani oleh para saksi dari masing-masing calon terkecuali saksi-saksi dari No.3 yang pada saat itu meninggalkan TPS sebelum penandatanganan berita acara hasil penghitungan surat suara begitu juga dengan masyarakat desa Padamulya yang kebanyakan meninggalkan area TPS. Sehingga banyak masyarakat yang salah persepsi dan masih mengganggap bahwa jumlah surat undangan yang masuk pada saat itu adalah 5157 yang tidak sesuai dengan jumlah surat suara.
Kondisi inilah yang kemudian membangkitkan emosi dan kekecewaan sosial pada warga Rw.04 yang sebagian besar sebagai pendukung calon No.2. Kekecewaan tersebut pada dasarnya juga sebagai akumulasi dari ketidakpuasan sosial, baik secara individu maupun kelompok. Mereka yang kecewa itu pada awalnya melakukan protes sosial, yang kemudian secara bersama-sama melakukan tidakan kerusuhan secara massal.

Kerusuhan Massa Pasca PILKADES
Pada tanggal 26 Mei 2013 tepatnya sesaat pengumuman hasil pengitungan surat suara pukul 20.30 WIB, ketua panitia dan dua orang anggota panitia Pilkades mencoba menenangkan suasana kepada pihak pendukung No.2 selama kurang lebih satu jam di posko pemenangan No.2, ketua dan dua orang anggota panitia pilkades mencoba berdialog dengan simpatisan dan tim sukses No.2 akan tetapi mendapat kebuntuan dan  simpatisan dan tim sukses No.2 tetap tidak puas dengan hasil keputusan panitia Pilkades yang mengumumkan perolehan jumlah hasil surat suara. Setelah ketua panitia kembali ke sekretariat panitia Pilkades yang berada di Desa Padamulya tiba-tiba datang dua motor berjumlah empat orang yang akan membuka paksa dan mengambil kotak suara yang sudah di segel yang berisi surat suara yang sudah di hitung tadi dan upaya mereka gagal karena kotak tersebut telah dijaga oleh aparat keamanan dan anggota BPD Desa Padamulya.
Pada tanggal 27 Mei 2013 mungkin disebut dengan hari yang mendebarkan untuk 13 orang dari 17 orang panitia Pilkades. Pada hari itu saksi dari No.2 mendatangi sekretariat Pilkades padamulya pada pukul 08.00 WIB dengan maksud menanyakan dan memperifikasi kembali jumlah surat suara yang masuk pada dokumen yang telah disahkan pada saat setelah penghitungan surat suara usai. Kemudian panitia pilkades memperlihatkan kembali dokumen berita acara tersebut kepada saksi No.2 dan saksi dari No.2 meminta dokumen tersebut untuk di foto copy dan meminta foto copynya tersebut. Tepat jam 10.15 WIB pada saat itu hujan gerimis pendukung Tri Mulyadi yang didominasi warga Rw.04 mendatangi sekretariat Pilkades Padamulya dengan wajah penuh dengan kekecewaan dan ketidakpercayaan kepada panitia dengan hasil Pilkades tersebut.
Pembicaraan miring terdengar di parkiran motor balai desa Padamulya mengenai celetukan bahwa panitia Pilkades Padamulya curang, menggelembungkan suara, sampai ada yang mengatakan bahwa panitia Pilkades Padamulya dibayar untuk memenangkan calon No.1. Semakin siang semakin memuncak dan massa pendukung No.2 semakin banyak mendatangi secretariat Pilkades Padamulya. Tepat pukul 12.30 WIB ba’da dzuhur Ketua Panitia (Endang Budiawan, S.KM), PJS Kades Padamulya (Asep Sudrajat, S.H) dan dua orang anggota panitia Pilkades beserta satu orang anggota Panwas Pilkades mendatangi rumah Tri Mulyadi untuk meminta mengendalikan dan menentramkan massa pendukungnya serta mengkonfirmasi terkait keikhlasan dalam kekalahannya pada kegiatan Pilkades Padamulya 2013 dan pada saat itu Tri Mulyadi mengikhlaskan dan mengaku legowo dengan keputusan hasil Pilkades 2013, kemudian ketua panitia dan PJS kades Padamulya kembali ke Desa dan menjumpai massa pendukung Tri Mulyadi yang terhitung sebanyak 86 orang yang sedang ditertibkan oleh Babinsa dan Babinmas beserta Kapolsek Pagaden AKP Ahmad Mulyana.
Kapolsek Pagaden AKP.Ahmad Mulyana kemudian memberi pengarahan kepada massa pendukung Tri Mulyadi sekitar pukul 14.22 WIB – 14.57 WIB yang kemudian disambung oleh penjelasan ketua Panitia Pilkades Endang Budiawan, S.Km terkait dengan pengakuan kekalahan Tri Mulyadi dalam Pilkades Padamulya. Massa pendukung Tri Mulyadi kemudian membubarkan diri menuju rumah Tri Mulyadi menanyakan kabar yang disampaikan oleh ketua Panitia Pilkades mengenai kelegowoannya atas kekalahan dalam ajang Pemilihan Kepala Desa Padamulya. Belum sampai satu jam massa pendukung Tri Mulyadi mendatangi kembali sekretariat Pilkades Padamulya sekitar  pukul 15.48 WIB dengan massa lebih banyak mereka datang bersama Tri Mulyadi. Massa pun semakin beringas sampai menuntut untuk dilakukannya pemilihan ulang segera dilakukan.
Dialog pun dilakukan oleh panitia, saksi, Tri Mulyadi dan lawyer Tri Mulyadi yang dimediasi oleh Kapolsek Pagaden beserta anggota Koramil Pagaden. Sementara di luar ruangan sekretariat Pilkades Padamulya terlihat Kanit Intel Polsek Pagaden bersama Babinsa dan Babinmas tampak sibuk melerai massa yang geram akibat aksi propokator kerusuhan massa itu. Di dalam ruangan secretariat Pilkades Padamulya ribut mengenai hasil coretan tally perolehan suara masing-masing calon yang dilakukan oleh para saksi yang hilang padahal terdapat kecocokan jumlah perolehan suara yang ada di tangan para saksi dengan papan tulis rekapan surat suara. Akibat kelalaian panitia yang telah menghilangkan hasil coretan saksi tersebut dibesar-besarkan dan tetap pada akhirnya massa menuntut dilakukannya kembali pemilihan ulang. Massa kemudian dapat dilerai oleh Kapolsek dan salah satu anggota Koramil Pagaden yang dengan sendirinya massa kemudian meninggalkan diri kembali pulang menuju rumah Tri Mulyadi secara berangsur-angsur.
Waktu menunjukan Pukul 18.30 WIB suara handphone salah satu anggota Panitia Pilkades yaitu Joko Sudarma berbunyi dan mendapati suara Tri Mulyadi menelfon kemudia Joko memberikan telfonnya tersebut kepada ketua Panitia Pilkdes dalam percakapannya tersebut yang di loadspeaker  terdengar bahwa sodara Tri Mulyadi meminta kesanggupan ketua panitia dan seluruh panitia untuk siap diajukan ke persidangan. Merasa benar kemudian ketua dan para anggota panitia Pilkades siap menerima permintaan Tri Mulyadi yang berencana untuk membawa permasalahan ini ke persidangan. Lawyer dari Tri Mulyadi meminta adakan pertemuan pada saat itu juga secara tertutup tanpa adanya massa antara Tri Mulyadi, Endang Budiawan yang didampingi oleh Arip Romadon dan Joko Sudarma dari kepanitiaan dan Lawyer Tri Mulyadi. Adapun tempat pertemuan mereka di kampung Gardu tetangga desa. Ketua yang didampingi oleh dua anggota berangkat ke kampung Gardu dengan jalan memutar tidak melewati jalan sodara Tri Mulyadi dikarenakan massa terkonsentrasi di rumahnya Tri Mulyadi.
Pada saat setelah ketua panitia bersama rekan panitia berangkat tiba-tiba sms datang kepada salah satu anggota karang taruna Rw.04 yang memberitahukan bahwa massa dari rumah Tri Mulyadi akan datang kembali ke desa. Serentak pada saat itu dua anggota Dalmas, Babinmas Serda Darum dan anggota karang taruna menutup gerbang masuk desa dan berjaga di depan gerbang masuk untuk mengendalikan massa agar segera pulang. Massa pun berlalu tiba-tiba hujan lebat datang. Kami anggota panitia Pilkades Padamulya yang menunggu di sekretariat berjumlah Sembilan orang dengan rasa was-was dan tegang diamankan oleh tiga anggota keamanan babinmas seorang dan dalmas dua orang. Sampai diantara anggota yang tersisa sebilan orang di dalam sekretariat kelelahan karena dari pagi sampai jam 21.00 WIB berada di desa dengan hirup pikuk yang mendebarkan mereka tidur beralaskan dus bekas air mineral dan bekas baligho calon kepala desa yang ditertibkan pada saat masa tenang dan ada pula anggota yang berdzikir pada saat itu.
Hujan semakin reda, sebilan orang yang berada di sekretariat merasa kedinginan. Pada saat itu waktu menunjukan pukul 11.40 WIB sementara ketua dan dua orang anggota pilkades Padamulya belum juga pulang dari pertemuan bersama Lawyer, Tri Mulyadi dan kerabat Tri Mulyadi yang bernama Dadang. Kami pun memutuskan menunggu ketua pulang di rumahnya, kebetulan rumah ketua dengan desa berdekatan. Pukul 01.20 WIB, ketua panitia dan dua orang anggota pulang sementara anggota di rumah ketua berjumlah delapan orang sedang tertidur kelelahan kemudian satu persatu bangun dan mendengarkan arahan ketua untuk tetap tenang dan yakin bahwa masalah ini akan segera terselesaikan dengan baik. Pada pukul 02.00 WIB, kami pun pulang bersama-sama ke rumah masing-masing.
Wujud kerusuhan massa yang dilakukan oleh warga desa Padamulya tersebut jelas sebagai ketidakmampuan mereka merealisasikan harapan untuk memenangkan calon kepala desa. Harapan besar yang jauh sebelum massa kampanye berlangsung dari warga desa Padamulya memprediksi bahwa sebagai kepala desa yang sudah pasti jadi (calon jadi) adalah No.2 atas nama Tri Mulyadi dari kampung Cipacar. Akan tetapi setelah perhitungan suara selesai, ternyata harapannya diluluhlantahkan oleh kenyataan riil bahwa calon kepala desa yang telah digadang-gadang (dijagokan) sejak lama itu mengalami kekalahan sangat tipis.
Kerusuhan massa yang dilakukan oleh warga desa Padamulya ternyata tidak mampu memecahkan persoalan. Kerusuhan massa justru hanya memperkeruh permasalahan yang dihadapi oleh warga desa. Selain itu juga protes yang digelar oleh warga Rw.04 pasca pemilihan kepala desa tidak mendapat tanggapan yang berarti dari pihak Panitia Pemilihan Kepala Desa dan Calon Kepala Desa terpilih. Calon Kepala Desa terpilih tidak menanggapi protes warga tersebut, bahkan berpendapat bahwa proses pemilihan berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Penutup
Kerusuhan massa yang terjadi di Desa Padamulya merupakan suatu akumulasi kekecewaan yang berlangsung lama. Kelalaian panitia Pilkades dalam menghitung jumlah surat undangan  yang masuk yang berbeda dengan jumlah surat suara yang dihitung yaitu pada saat penghitungan surat undangan yang masuk sebelum kotak suara dibuka sebanyak 5157 orang, tetapi pada saat penghitungan surat suara yang masuk sebanyak 5225 surat suara, sehingga ada selisih antara jumlah penghitungan awal surat undangan yang masuk dengan jumlah surat suara sebanyak 68 suara.
Kerusuhan massa yang terjadi di Desa Padamulya pada dasarnya suatu refleksi ketidakberdayaan warga Rw.04 dalam menyelesaikan persoalan. Mereka memanfaatkan peluang politik yang sedang berubah. Para elite dan simpatisan bukan mengakui kekalahan, namun justru melakukan mobilisasi massa dengan cara menggerakan sejumlah warga masyarakat pendukung Tri Mulyadi untuk melakukan tindakan protes sosial.
Oleh karena itulah, setiap ajang pesta demokrasi desa atau pemilihan kepala desa, atau jenis pemilihan yang lain, hendaklah diperhatikan hal-hal berikut. Pertama, perlunya pemilihan anggota panitia yang netral, jujur, adil, dan transparan. Kedua, penempatan Daftar Pemilih Sementara harus transparan dan dipasang di tempat yang dapat dibaca oleh warga masyarakat secara keseluruhan. Ketiga, sebaiknya dalam melakukan perhitungan surat undangan pemilih dengan hati-hati dan teliti atau jika tidak buatlah kesepakatan bersama antara panitia dan masing-masing calon mengenai kesepakatan surat suara yang sah adalah surat suara yang ada di dalam kotak suara dan tidak mengacu kepada jumlah surat suara yang dihitung. Keempat, jangan pernah mengumumkan sesuatu yang tidak pasti dengan menggunakan pengeras suara mengenai hasil pengecekan yang ragu.


Referensi
Haryanto. (1997). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sleman. Yogyakarta : UGM
Sjamsudin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak.
Suswanto, Bambang. (2000). Kerusuhan Sosial: Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa Sirau Purbalingga. Yogyakarta : UGM
Sutresna, Widya. (1998). Implementasi Kebijakan Pemilihan Kepala Desa Ceper, Kabupaten Klaten. Yogyakarta : UGM
Theodorson, George. (1969). A Modern Dictionary of Sosiology. New York: Thomas Y. Cromwell & Co.