Rabu, 16 Desember 2009

BELAJAR DARI (KMB) JANGAN LAGI PERCAYA BARAT KITA BISA MAJU DENGAN BEKERJA SAMA BANGSA SENDIRI

Dari tanggal 23 Agustus sampai tanggal 2 November 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB) diselenggarakan di Den Haag. Dari hasil perundingan ini ada beberapa dampak terhadap pihak Indonesia yang harus memberikan konsesi-konsesi dalam dua masalah yang paling sulit yaitu;
1. Pada tanggal 27 Desember 1949, negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia, tidak termasuk Papua. Belanda tetap mempertahankan kedaulatan atas Papua sampai ada perundingan-perundingan lebih lanjut mengenai setatus wilayah itu yang ditentukan satu tahun kemudian;
2. RIS memikul tanggung jawab atas hutang Hindia Timur Belanda yang setelah terjadi banyak tawar-menawar, jumlahnya ditetapkan sebesar 4,3 milyar gulden. Hal ini Hatta menganggap bahwa apapun hasil KMB tetap harus diterima. Menurut mereka yang paling penting, Belanda menarik kekuatan militernya dan menghargai kedaulatan politik Indonesia. Sebenarnya dana hutang yang ditanggung tersebut merupakan biaya perang pihak Belanda dalam menghentikan revolusi Indonesia hal tersebut juga dijelaskan oleh Ricklefts (2007: 466) bahwa:
“jumlahnya ditetapkan sebesar 4,3 milyar gulden; sebagian besar dari jumlah ini sebenarnya merupakan biaya yang dipakai oleh pihak Belanda dalam usahanya menumpas Revolusi”.

Hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal yang memberatkan bangsa Indonesia untuk mentaati keputusan dari hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag;
3. Pembentukan RIS, tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda;
4. Terjadinya gencatan senjata antara militer RIS dengan militer Belanda. Namun menurut Riclefts (2008: 488) bahwa:

“Pada tanggal 23 Januari 1950, Westerling dan sekitar 800 orang serdadunya merebut tempat-tempat penting di Bandung, tetapi komusaris Tinggi Belanda dan komandan garnisun Belanda yang masih berada di Bandung mendesaknya supaya mundur pada hari itu juga”.

Hal inilah yang kemudian menyebabkan sebagian para revolusioner melakukan penolakan terhadap hasil dari KMB terutama Soekarno dalam Pidatonya bahwa:
“Dengan Belanda, melalui K.M.B., kita mesti mentjairkan Djiwa-revolusi kita; di Indonesia sendiri, kita harus berkompromis dengan golongan-golongan jang non-revolusioner: golongan-golongan blandis, golongan-golongan reformis, golongan-golongan konservatif, golongan-golongan kontra-revolusioner, golongan-golongan bunglon dan tjetjunguk-tjetjunguk. Sampai-sampai kita, dalam mengorbankan djiwa revolusi ini, meninggalkan Undang-Undang-Dasar 1945 sebagai alat perdjoangan”. (2009: 351 – 357).

Meskipun pemerintah kolonial belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan indonesia dalam konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, namun tidak bisa ditutupi kenyataan bahwa hasil-hasil KMB banyak menguntungkan kepentingan ekonomi Belanda. Setidaknya untuk menopang perekonomian negeri Belanda yang masih carut-marut pasca Perang Dunia ke II, pemerintah Belanda memandang penting mempertahankan perusahaan-perusahaanya di Indonesia. Indonesia tetap amat penting bagi ekonomi Belanda. Hal ini tercermin dari suatu perkiraan resmi Belanda yang diungkapkan foreign bahwa:
“Pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari hubungan ekonomi dengan Indonesia (ekspor ke Indonesia, pengolahan Indonesia (ekspor ke Indonesia, pengolahan bahan-bahan mentah, penghasilan dari penanaman modal di Indonesia, transfer uang pensiun dan tabungan, dan lain-lain) merupakan 7,8 persen dari pendapatan nasional Belanda” Hartono (2008: 6)

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Warsosukarto (1956: ) bahwa:
“Achirnja Belanda dapat menguasai Indonesia dengan adanja persetudjuan K.M.B. Dia menquasai semua sumber kekajaan negara seperti : minjak, timah, gula, karet dll. Indonesia berdaulat, tetapi tidak berkuasa. Dalam praktek pemerintah hanja mendjadi pelindung pengedukan keuntungan jang lebih besar dari djaman sebelum perang. Kemelaratan tidak berkurang, tetapi makin bertambah. Bukan hanja makan kurang, pakaian tidak lengkap jang diderita, tetapi terlebih-lebih adanja gangguan keamanan akibat teror D.I.-T.I.I.”
Di sisi lain, beberapa tokoh Indonesia –terutama Moh.Hatta yang memimpin delegasi Indonesia-menganggap bahwa “apapun hasil KMB tetap harus diterima. Menurut mereka yang paling penting, Belanda menarik kekuatan militernya dan menghargai kedaulatan politik Indonesia” (Hartono, 2008: 6).
Beberapa kelompok kiri, terutama yang berbasiskan serikat pekerja, menganggap bahwa eksistensi perusahaan-perusaan Belanda di Indonesia, selain melakukan penindasan langsung terhadap pekerja Indonesia dengan politik upah murah, juga merupakan perwujudan masih bercokolnya neokolonialisme di Indonesia. Menghadapi ”watak kolonial” yang masih bercokol terutama di lapangan ekonomi, pemerintah berupaya mengambil langkah untuk menyelamatkan sektor yang dianggap strategis, terutama perbankan. Pada tahun 1953, dilakukan nasionalisasi terhadap Bank Java dan kemudian namanya berubah menjadi ”Bank Indonesia” yang kemudian dilanjutkan dengan nasionalisme aset-aset milik Belanda yang lainnya.

Senin, 07 Desember 2009

SEJARAH MALADEWA UNTUK INDONESIA

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemajuan suatu negara atau bangsa amat ditentukan oleh kemampuannya dalam mendiagnosis akar permasalahan dan potensi pembangunan yang dimilikinya, dan kemudian menggunakan seluruh potensi tersebut untuk mengatasi sejumlah permasalahan secara cerdas, cepat, dan tepat. Dari perspektif ekonomi misalnya, permasalahan yang dialami bangsa maladewa pada saat itu adalah ingin bangkitnya maladewa dari bangsa yang miskin sehingga para akademisi-akademisi maladewa mulai berpikir dengan mengadakan suatu kajian mengenai potensi yang mereka miliki. Maladewa adalah Negara Asia bagian selatan yang terletak di samudera Hindia, berupa Negara kepuluan dan memiliki potensi untuk menjadi Negara yang maju dengan memanfaatkan sumber daya alam berupa atol, yang menjadi permasalahan disini adalah Mengapa masyarakat dan pemerintah Maladewa sangat mencintai potensi Bahari yang dimilikinya?
Dalam makalah ini juga saya bahas pula Negara Indonesia dengan potensi sumber daya alam khususnya dalam sector bahari, dengan dikaitkannya antara kemajuan sektor bahari di Maladewa dengan permasalahan yang terjadi di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Mengacu pada permasalahan uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah Bagamana peran masyarakat dan pemerintahan Maladewa dalam mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang mereka miliki untuk kemajuan Negara dan meningkatkan investasi masyarakatnya? Agar dalam menguraikan permasalahan menjadi lebih terarah maka kami membatasi permasalahan dalam bentuk pertanyaan, yaitu :
1. Bagamanakah letak geografis Maladewa yang menunjang perekonomian di sektor bahari?
2. Bagamanakan perekonomian Maladewa dapat bangkit pasca Tsunami tahun 2004?
3. Bagamanakah posisi potensi Indonesia dalam sumber daya alam khususnya bahari dalam menunjang perekonomian?

1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya maka tujuan dari permasalahan dalam makalah ini ialah untuk mengetahui dan menunjukan bagamana cara yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah Maladewa dalam mengoptimalkan potensi bahari untuk meningkatkan perekonomiannya. Adapun tujuan penulisan makalah ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menunjukan letak geografis maladewa
2. Menjelaskan bagamana maladewa dalam mengoptimalkan potensi bahari untuk kemajuan perekonomian negara.
3. Untuk mengetahui potensi Indonesia yang memiliki kesamaan dengan Maladewa dalam bidang kelautan dan pariwisata bahari.

1.4. Metode Penulisan Makalah
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan menggunakan metode tinjauan pustaka baik dari buku sumber yang menurut kami terdapat kesesuaian dengan pembahasan dalam makalah ini maupun metode wawancara untuk proses heuristik dan kritik dan selanjutnya yaitu (1) penapsiran dan pengelompokan fakta-fakta dalam berbagai hubungan mereka yang dalam bahasa Jerman disebut Auffasung dan (2) formulasi dan presentasi hasil-hasilnya yang dalam bahasa Jerman disebut Darstellung dan (3) menentukan dari kritik dokumen-dokumen kepada penulisan teks yang sesungguhnya”. Carrard (Syamsudin, 2007: 155)
1.5 Sistematika Penulisan
Adapun sitematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1.4 Teknik Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
BAB 2 KEBANGKITAN NEGARA MALADEWA UNTUK INDONESIA DALAM SEKTOR WISATA BAHARI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
2.1 Faktor Geografis dalam Menunjang Perekonomian Maladewa
2.2 Kebangkitan Maladewa Dibidang Pariwisata di Bidang Ekonomi
2.3 Potensi Negara Indonesia dalam Bidang Wisata Bahari dalam Kebangkitan Perekonomian.
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB 2
KEBANGKITAN NEGARA MALADEWA UNTUK INDONESIA: SEKTOR WISATA BAHARI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
2.1. Faktor Geografis dalam Menunjang Perekonomian Maladewa

Kemajuan suatu negara atau bangsa amat ditentukan oleh kemampuannya dalam mendiagnosis akar permasalahan dan potensi pembangunan yang dimilikinya, dan kemudian menggunakan seluruh potensi tersebut untuk mengatasi sejumlah permasalahan secara cerdas, cepat, dan tepat. Dari perspektif ekonomi misalnya, permasalahan yang dialami bangsa maladewa pada saat itu adalah ingin bangkitnya maladewa dari bangsa yang miskin sehingga para akademisi-akademisi maladewa mulai berpikir dengan mengadakan suatu kajian mengenai potensi yang mereka miliki. Seperti yang kita ketahui bahwa Maladewa merupakan negara kecil yang memiliki sekitar 1.191 pulau kecil-kecil yang `berserakan` di Samudra Hindia (dekat atau bawah India dan Srilangka), dengan penduduk sekitar 250 ribu jiwa. Pulaunya kecil-kecil tanpa penghuni, hanya lima pulau berpenghuni dan terbesar seluas dua kilometer persegi, di mana ibukota negara tersebut berada, yaitu Male.

Malé, ibu kota Maladewa, adalah salah satu pulau terpadat di dunia dengan lebih dari 80.000 orang tinggal dalam 2 kilometer persegi. Tsunami menggenangi beberapa bagian dari pulau dan merusak dinding laut penahan gelombang (sea wall), bangunan, dan kendaraan yang parkir di jalan (Foto dariHussein Zahir).
Gugusan pulau di Maladewa selain kecil-kecil, juga dangkal dengan hamparan pasir di pantainya dominan putih, sehingga flora dan fauna maupun terumbu karang sekitar pantainya tampak terlihat cukup jelas namun negara itu tidaklah subur dan sekaya dengan negara Indonesia namun karena potensi yang cukup jelas tersebut kemudian pengembangan sebagai kawasan wisata bahari dimulai sekitar tahun 1971-an, dengan dibuat `master plan` dengan sistem sewa. Investor menyewa dan boleh membangun fasilitas wisata di atas lautan sekitarnya, sementara daratannya yang mungil untuk fasilitas penunjang.
Pulau disewa tersebut umumnya tidak berpenghuni dan yang telah dibangun fasilitas wisata sebanyak 86 pulau. Menurut sebuah surat kabar dalam situs internet http//www.gatra.com menjelaskan bahwa:
"Penghasilan negara kecil ini (devisa) setiap tahun sekitar 600 juta dolar AS, 70 persen merupakan peran pariwisata bahari ini secara langsung maupun tidak langsung, devisa dari kehadiran sekitar 600 ribu wisatawan yang didominasi oleh asing setiap tahun tersebut, untuk ukuran negara kecil seperti Maladewa nominalnya tergolong cukup besar”. http://www.gatra.com/2002-09-21/artikel.php?id=20759
2.2. Kebangkitan Maladewa di Bidang Pariwisata dalam Kemajuan Ekonomi
a. Maladewa Bangkit Pasca Tsunami
Kira-kira 3 jam setelah gempa bumi 26 Desember 2004, dilaporkan gelombang setinggi 1 – 3 meter menyapu Maladewa. Tsunami menyebabkan naiknya air secara cepat melewati terumbu-terumbu dan kepulauan, bukan merupakan gelombang besar seperti yang terjadi di Thailand dan Sumatera. Genangan pertama adalah yang terbesar, berlangsung selama sekitar 20 menit sebelum akhirnya diikuti penyurutan air dalam jumlah besar. Kekuatan gelombang dan banjir menyebabkan kerusakan pada pulau berpenghuni ini, 80% dari 25 atol di Maladewa terletak hanya 1 meter di atas permukaan laut. Kurang lebih 69 dari 199 pulau berpenghuni mengalami kerusakan di sana-sini, sementara hampir sepertiga dari 300.000 penduduk kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, atau infrastruktur lokal lainnya. Kerugian total diperkirakan berkisar antara US$ 480 – 1.000 juta; nilai perkiraan berdasarkan catatan kerusakan pada infrastruktur, armada perikanan, harta pribadi, pariwisata, dan sedikit kerugian pada pertanian yang berarti besar bagi produksi lokal. Lebih dari 50% pendapatan kotor Maladewa berasal dari industri pariwisata terumbu karang dan kepulauan, dan 12% berasal dari perikanan karang. Terdapat keprihatinan bahwa tsunami semakin memperparah kondisi terumbu karang yang telah menurun akibat adanya fenomena pemutihan karang di tahun 1998.
Tsunami telah menghancurkan masyarakat Maladewa yang keseluruhannya merupakan masyarakat pesisir. Banjir telah menyebabkan padamnya listrik, gangguan pasokan air bersih, kerusakan pada pelabuhan dan dermaga, erosi daerah pesisir, dan penetrasi air laut ke dalam tanah yang menyebabkan hancurnya pertanian. Gelombang tsunami juga menyebabkan rusaknya sistem pembuangan yang mengarah pada kontaminasi cadangan air tanah, pasir dan laut di sekeliling kepulauan. Terumbu karang menjadi rusak akibat terkena hantaman puing infrastruktur yang tersapu ke laut. Kebanyakan masalah-masalah ini telah ada sebelum tsunami. Namun tsunami telah memaksakan adanya kebutuhan untuk menyelesaikan masalah yang berkenaan dengan pemanfaatan terumbu karang secara tak berkelanjutan dan lemahnya pengelolaan daerah pesisir. Tsunami juga menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan adanya system peringatan dini yang efektif dan rencana penanggulangan bencana yang proaktif. Pariwisata sangat bergantung pada kesehatan terumbu karang, sehingga beberapa hotel telah membantu pemerintah dalam membangun dan mengelola daerah perlindungan laut (MPA) untuk konservasi terumbu karang. Sejumlah besar usaha perikanan beroperasi di daerah terumbu karang: ikan segar seperti tuna ditangkap di laguna terumbu karang sedangkan ikan karang diambil untuk dikonsumsi turis dan diekspor, terutama kerapu untuk perdagangan ikan segar. Selain itu, teripang, hiu (bagian siripnya), dan ikan hias diambil untuk diekspor. Kegiatan-kegiatan ini memberikan dampak nyata dimana jumlah kerapu dan hiu semakin berkurang, yang berpotensi menyebabkan menurunnya kesehatan terumbu karang dalam jangka waktu yang lama. Walaupun keragaman hayati belum pernah diteliti secara rinci, tercatat lebih dari 250 jenis karang keras dan lebih dari 1.200 jenis biota telah ditemukan, membuat Maladewa termasuk ke dalam salah satu daerah laut terkaya di kawasannya.
b. Status Terumbu Karang Sebelum Tsunami
Republik Maladewa terdiri dari 1.190 pulau yang berada dalam 25 atol yang tersebar sepanjang 900 kilometer di tengah Samudera Hindia. Sebagian besar pulau dikitari oleh terumbu karang yang kondisinya baik sampai sangat baik sebelum tahun 1998, dimana fenomena perubahan iklim akibat El Niño berdampak pada memutihnya karang dan kematian pada sekitar 90% karang di sebagian besar terumbu Maladewa, menyisakan hanya 2% tutupan karang hidup. Sisi utara dan tengah adalah daerah yang paling parah mengalami kerusakan dan pemulihan berjalan dengan lambat dan bervariasi. Pemutihan tidak terlalu merusak karang di sepanjang atol selatan, menyisakan sekitar 40-55% tutupan karang hidup. Terdapat sedikit perkiraan tentang prosentase tutupan karang sebelum tahun 1998. Satu studi mengatakan 37% tutupan di 3 lokasi dan 47% di 7 lokasi, sehingga diperkirakan prosentase tutupan karang di sisi selatan, tengah, dan utara atol adalah 25 sampai 50% (dengan kisaran antara 5 – 10%) sebelum terjadi gangguan.
Fenomena pemutihan tahun 1998 telah menggeser keseimbangan terumbu, dimana karang masif yang tumbuh lambat menjadi berlebih dibandingkan dengan karang bercabang atau berbentuk piringan yangndapat tumbuh dengan cepat (merupakan pilihan industri pariwisata). Di tahun 2002, terdapat sejumlah kemunculan karang muda yang baru dari marga Acropora dan Pocillopora yang memberi harapan akan adanya pemulihan struktur komunitas karang seperti sebelumnya. Karang-karang ini sangat terkenal di Malé Utara dan Atol Ari sebelum terjadi tsunami.
Banyak karang meja besar Acropora yang tadinya tampak mati, mulai menunjukkan regenerasi jaringan; proses pemulihan terbantu dengan rendahnya tingkat penangkapan ikan. Ikan pemakan rumput laut melimpah dan menghabiskan rumput laut serta memfasilitasi penempatan larva karang baru. Sebaliknya di Malé Utara dan Atol Ari kehilangan karang masif yang lambat tumbuh yang dapat mengurangi kapasitas pertumbuhan terumbu dan menambah batuan baru di masa depan. Sebagai tambahan, fenomena pemutihan karang skala kecil di tahun 2003 dan badai besar pada Mei 2004 semakin memperlambat proses pemulihan.
Terdapat perkiraan yang menyatakan bahwa kondisi terumbu akan berbeda di masa datang dengan adanya jenis yang lambat tumbuh (seperti Agaricidae dan Favidae) yang terus mendominasi karang bercabang Acropora dan Pocillopora. Namun, terdapat indikasi kuat adanya kemunculan karang baru dari jenis-jenis karang yang cepat tumbuh, sehingga struktur terumbu di masa depan adalah tidak pasti.
Berkembangnya wisata bahari yang membuat Maladewa berubah dari negara miskin menjadi cukup makmur, karena pulau-pulaunya kosong mudah ditata, sebelum pariwisata berjalan UU dan peraturannya dibuat dulu serta pariwisata merupakan sektor dominan, sementara sektor atau instansi lain mendukung.
Maladewa, negara kecil di barat daya Srilanka, hanya punya 99 pulau. Tapi, wisata baharinya sangat maju berkat konsep one island one resort. Meluasnya lapangan kerja dan pemasukan uang yang dihasilkan sangat tinggi, baik bagi negara maupun masyarakatnya. "Tenaga kerja asing dibatasi di level manajer. Selebihnya menjadi hak warganegara Maladewa,"
Negara kepulauan Maladewa atau Maldive yang terdiri dari kumpulan atol di Samudra Hindia menjadi daya tarik utama wisatawan dari seluruh dunia. terletak di sebelah selatan-barat daya India, sekitar 700 km sebelah barat daya Sri Lanka. Negara ini memiliki 26 atol yang terbagi menjadi 20 atol administratif dan 1 kota yang seluruh wilayahnya merupakan daerah wisata.
Maladewa sejak dulu telah dijelajahi oleh pelayar dan penjelajah dunia sebagaimana diungkapkan dalam media Bisnis Indonesia bahwa:
“Musafir Islam, Ibnu Batutah datang ke kepulauan ini pada abad ke-14 dengan membawa ajaran Islam yang kemudian menjadi agama mayoritas penduduk Maladewa hingga saat ini. Pernah dijajah oleh Portugis dan kemudian berpindah-pindah ke tangan Belanda, Perancis serta Inggris, barulah tahun 1965 akhirnya Maladewa berhasil meraih kemerdekaannya”.
Maladewa sampai sekarang terkenal dengan keindahan wisata baharinya yang sangat tertata dengan baik
2.3. Potensi Negara Indonesia dalam Wisata Bahari dalam Kebangkitan Perekonomian
MARINE ecotourism merupakan proses ekonomi yang memasarkan ekosistem yang menarik dan langka yang tentunya harus dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi langsung ke masyarakat. Setelah puluhan tahun seakan diabaikan, kesadaran untuk menjadikan pembangunan berbasis sumber daya kelautan dan menjadikan potensi kelautan sebagai tumpuan harapan sekaligus fokus pembangunan di masa depan, baru mulai tumbuh di era reformasi. Bahkan akhir-akhir ini, industri wisata laut (marine tourism) menunjukkan perkembangan yang pesat dan telah menjadi salah satu produk wisata yang penting.
Padahal, sejarah menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara maritim sehingga dalam beberapa abad lamanya, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan peradaban di wilayah nusantara memiliki kekuatan ekonomi dan politik dengan berbasis pada sumber daya kelautan. Itu karena karakteristik kekayaan dan keragaman hayati biodiversity laut terbesar dunia, berbagai bentuk alam, struktur historic, dan kawasan berupa pulau-pulau kecil, perairan laut dengan ekosistem pantai, terumbu karang, lamun, dan biota-biota laut, ada di Indonesia.


a. Konsep Wisata Laut
Pengembangan sektor wisata laut pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan objek serta daya tarik kawasan pesisir dan laut berupa kekayaan alam pantai yang indah, keragaman taman laut berupa flora dan fauna dan hewan seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias, serta budaya tradisional yang berkaitan dengan legenda kelautan.
Seiring dengan kenyataan bahwa masyarakat global sudah jenuh dan penat hidup dalam lingkungan buatan, salah satu indikasinya adalah adanya semboyan back to nature, yang banyak dianut bangsa-bangsa maju di dunia saat ini, maka pemanfaatan wisata laut menjadi sebuah jalan keluar.
Pembangunan tersebut tentunya bukan semata-mata memperoleh hiburan dari berbagai suguhan atraksi dan suguhan alami lingkungan pesisir dan lautan. Sebaliknya, juga diharapkan wisatawan dapat berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi lingkungan. Sekaligus, pemahaman yang mendalam tentang seluk beluk ekosistem pesisir sehingga membentuk kesadaran bersikap untuk melestarikan wilayah pesisir, baik di masa kini terlebih lagi masa yang akan datang.

Konsep wisata laut didasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan karaktersitik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Marine ecotourism merupakan proses ekonomi yang memasarkan ekosistem yang menarik dan langka yang tentunya harus dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi langsung ke masyarakat.
Agar supaya wisata laut ini dapat berkelanjutan maka produk pariwisata bahari yang ditampilkan harus harmonis dengan lingkungan lokal spesifik. Pengembangan wisata laut Indonesia lebih diarahkan dan dipacu guna menuju upaya pengembangan Ekowisata/Wisata Ramah Lingkungan yang justru berpola pada upaya pemanfaatan optimal yang sekaligus menyelamatkan lingkungan daya alam laut. Dengan demikian, masyarakat akan peduli terhadap sumber daya wisata karena memberikan manfaat karena pada akhirnya, masyarakat akan merasakan kegiatan wisata sebagai suatu kesatuan dalam kehidupannya.
b. Prospek Wilayah
Indonesia memiliki potensi menjadi negara tujuan wisata laut terbesar di dunia. Namun, secara umum kegiatan wisata laut di tanah air belum berkembang baik dan menimbulkan keprihatinan. Itu antara lain disebabkan oleh tidak terjaganya ekosistem laut, seperti terjadi di Kepulauan Seribu di utara Jakarta. Di era 1970 hingga 1990, kawasan itu masih disebut sebagai salah satu tempat wisata bahari yang paling eksotis di dunia. Kini yang tersisa hanyalah sampah dan limbah dari ibukota, ikannya pun tak direkomendasikan untuk dikonsumsi.
Padahal jika potensi wisata bahari ini bisa dimanfaatkan dengan baik dan dijadikan sebagai andalan utama wisata, potensinya cukup besar. Bandingkan dengan Maladewa misalnya yang hanya memiliki 99 pulau tapi penghasilannya dari sektor ini jauh lebih tinggi. Itu juga karena kebijakan dasarnya cukup tegas dan prospektif, yakni tenaga kerja asing dibatasi hanya sampai pada level manager, serta dengan target one island one resort.
Indonesia dengan jumlah pulau yang jauh di atas Maladewa, plus sumber daya hayati pesisir dan lautan yang luar biasa seperti populasi ikan hias terbesar dunia, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove dan berbagai bentang alam pesisir atau coastal landscape yang unik dan menakjubkan, jelas merupakan daya tarik sangat besar bagi wisatawan. Karenanya, pantas bila dijadikan sebagai objek wisata laut yang bernilai strategis.
Sebagai gambaran, pada tahun 2000 nilai yang diperoleh dari wisata bahari per tahun kita baru mencapai USD 2 miliar. Nilai tersebut jelas jauh dari maksimal, mengingat potensi ekonomi wisata laut diperkirakan dapat mencapai USD52.809,37 per hektare. Bila dibandingkan dengan Queensland yang mempunyai karang laut yang dikenal dengan The Great Reef di Australia sebagai tempat tujuan wisata dengan panjang garis pantai hanya 2,1 km, negara bagian Australia itu pada tahun 2002 mampu menghasilkan devisa sebesar USD2 miliar.
Nilai yang diperoleh Indonesia tentu saja sangat kecil jika dilihat dari potensinya sebagai negara kepulauan (Archipilagic State) terbesar di dunia dengan 17.504 pulau, serta panjang garis pantai 95.181 km (terpanjang setelah Kanada, USA dan Rusia Federasi).
Selain Taman Nasional Bunaken, Manado, Sulawesi Utara yang telah telanjur dikenal dunia sebagai surga pemandangan bawah laut, sesungguhnya Sulawesi Selatan adalah salah satu daerah yang cukup potensial pengembangan industri wisata laut. Itu jika menilik posisi geografis strategis di mana daerah ini memiliki wilayah pesisir dengan panjang pantai 1.973,7 km, luas perairan lautnya kurang lebih 48.000 km2 plus memiliki 263 pulau-pulau kecil. Semua itu jelas memiliki arti penting dan strategis baik dari segi ekologis, ketahanan pangan, ekonomi, sosial budaya maupun keindahan alamnya.
Sebagai contoh Kabupaten Selayar yang memiliki Taman Nasional Takabonerate, yang diklaim sebagai karang atol terbesar ke tiga di dunia (sekitar 220. 000 km2) setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di kepulauan Moldiva. Daya tarik kehidupan bawah air di perairan Taman Nasional Takabonerate ini yang sangat variatif, spesifik, unik dan excotic, telah menyebabkan kawasan ini menjadi primadona pariwisata Sulawesi Selatan dan tumbuh sebagai salah satu objek wisata laut yang menjanjikan. Potensi dan kondisi tersebut sangat mendukung dan menjadi daya tarik besar bagi wisatawan mancanegara sehingga pantas bila dijadikan sebagai objek marine tourism yang memilki keunggulan yang komparatif dan kompetitif.
Masalahnya memang, keindahan terumbu karang yang ada tersebut, terancam oleh pola dan sistem penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Belum lagi akibat penambangan batu karang untuk bangunan, sedimentasi akibat erosi di darat, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya perikanan karang, termasuk akibat pemanasan global.
Semua itu terjadi akibat rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, pencemaran laut dan pesisir, serta mungkin keterbatasan dana. Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2003) terhadap kondisi terumbu karang Taman Nasional Takabonerate, ditemukan bahwa kondisi karang yang sangat baik tersisa 6,45 persen, kondisi baik 22,35 persen, kondisi kritis 28,39 persen, dan dalam keadaan rusak berat 42,95 persen.
Karena itu, untuk mengatasi berbagai kendala yang ada, maka faktor penting yang perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan kegiatan marine tourism adalah berupa strategi terukur manajemen daya tarik objek industri wisata yang terkait. Mulai dari aspek teknis, strategi jasa pelayanan sampai kepada strategi penawaran. Selanjutnya, berupa dukungan perangkat kebijakan dari pemerintah serta penciptaan iklim keamanan yang kondusif bagi kegiatan pariwisata di Indonesia.
Upaya yang harus dilakukan dalam membenahi strategi pengembangan wisata laut adalah peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pengembangan wisata laut, serta penyediaan sistem informasi pariwisata dan program promosi yang tepat. Bila sektor industri wisata laut ini dikelola secara baik, diyakini dapat menjadi lokomotif penggerak ekonomi dan menambah pemasukan daerah, serta mengurangi pengrusakan secara langsung dari kegiatan eksploitasi.
Menghadapi isu dan permasalahan pengelolaan wilayah pesisir diperlukan upaya penanganan terpadu. Tentunya, komitmen dan peran serta pemerintah, industri wisata laut swasta dan kemitraan pengusaha dan masyarakat sangat dibutuhkan sehingga marine tourism dapat menjadi strategi dasar pengembangan pariwisata di Indonesia seperti yang dapat kita pelajari dari kesuksesan Negara Maladewa.
Menurut prediksi saya dalam kebangkitan asia menjelang 2020 Asia akan memiliki:
• Suatu pasar terpadu yang bebas dari hambatan terhadap aliran barang, jasa dan modal regional;
• Pasar-pasar keuangan yang cair, dalam dan terbuka bagi aliran keuangan lintas batas, dengan standar pengawasan yang tinggi dan perlindungan yang kuat untuk investor nasional dan asing;
• Kerangka kerja yang efektif untuk mengkoordinasikan kebijakan ekonomi makro dan kebijakan nilai tukar, mengingat tantangan global dan keadaan nasional yang berbeda-beda;
• Upaya kolektif untuk menangani isu-isu sosial yang vital, seperti kemiskinan, eksklusi, ketidakstabilan penghasilan, migrasi, ketuaan, kesehatan, dan ancaman lingkungan;
• Suara yang konsisten untuk memproyeksikan keprihatinan negara-negara Asia dalam forum kebijakan global dan mendorong tata kelola global yang bertanggungjawab; dan
• Institusi vital, dengan staf yang memadai dan sangat professional, untuk menyediakan dukungan analisa terbaik dan logistik bagi usaha ini. Inilah yang kemudian menjadi Intisari Kebangkitan Regionalisme Asia.

Oleh karena itu Indonesia menurut saya perlu kiranya melakukan hal-hal sebagai berikut diantaranya adalah:
Solusi:
1. Untuk itu pembangunan infrastruktur guna menunjang pengembangan wisata bahari dan kegiatan promosi dijalankan bersamaan agar mempercepat realisasi mimpi indah meraup devisa dari kegiatan wisata bahari
2. Karena itu, untuk mengatasi berbagai kendala yang ada, maka faktor penting yang perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan kegiatan marine tourism adalah berupa strategi terukur manajemen daya tarik objek industri wisata yang terkait. Mulai dari aspek teknis, strategi jasa pelayanan sampai kepada strategi penawaran. Selanjutnya, berupa dukungan perangkat kebijakan dari pemerintah serta penciptaan iklim keamanan yang kondusif bagi kegiatan pariwisata di Indonesia.
3. Upaya yang harus dilakukan dalam membenahi strategi pengembangan wisata laut adalah peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pengembangan wisata laut, serta penyediaan sistem informasi pariwisata dan program promosi yang tepat. Bila sektor industri wisata laut ini dikelola secara baik, diyakini dapat menjadi lokomotif penggerak ekonomi dan menambah pemasukan daerah, serta mengurangi pengrusakan secara langsung dari kegiatan eksploitasi.
4. Menghadapi isu dan permasalahan pengelolaan wilayah pesisir diperlukan upaya penanganan terpadu. Tentunya, komitmen dan peran serta pemerintah, industri wisata laut swasta dan kemitraan pengusaha dan masyarakat sangat dibutuhkan sehingga marine tourism dapat menjadi strategi dasar pengembangan pariwisata di Indonesia.
5. Pengembangan wisata laut Indonesia lebih diarahkan dan dipacu guna menuju upaya pengembangan Ekowisata/Wisata Ramah Lingkungan yang justru berpola pada upaya pemanfaatan optimal yang sekaligus menyelamatkan lingkungan daya alam laut. Dengan demikian, masyarakat akan peduli terhadap sumber daya wisata karena memberikan manfaat karena pada akhirnya, masyarakat akan merasakan kegiatan wisata sebagai suatu kesatuan dalam kehidupannya.
6. Indonesia juga bisa mengelola pulau terluar dengan baik dengan cara kegiatan konservasi, taman nasional laut, daerah persinggahan/tempat kapal berlabuh, pariwisata atau pengembangan laboratorium alam untuk penilitian dan pengembangan sumber daya kelautan.


c. Strategi Pengembangan Pariwisata Bahari
Telah kita ketahui bahwa potensi wisata bahari kita sangat beragam dan nilai keindahaanya tiada bandingannya di dunia. Seperti di Kep. Padaido di Papua yang memiliki taman laut yang indah, keindahnya bahkan menepati peringkat tertinggi di dunia dengan skor 35. Dan telah mengalahkan taman laut Great Barrier Reef [skor 28] di Queensland, Australia. Lebih dari itu selain jenis wisata alam (Eco Tourism) seperti taman laut kep. Padaido kita juga masih memiliki banyak jenis wisata bahari lainya yang tersebar di seluruh wilayah nusantara yaitu di antaranya: Wisata Bisnis (Business Tourism), Wisata Pantai (Seaside Tourism), Wisata Budaya (Cultural Tourism), wisata pemancingan (fishing tourism), Wisata Pesiar (Cruise Tourism), Wisata Olahraga (Sport Tourism), dan masih banyak jenis wisata bahari lainya.
Namun potensi yang di miliki tersebut saat ini belum sepenuhnya menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage) bangsa Indonesia yang dapat memberikan kontribusi besar pada perekonomian nasional. Oleh karena itu agar pariwisata bahari benar-benar menjadi salah satu penopang perekonomian negara secara berkelanjutan (an economically sustainable area/ecosytem), maka pariwisata bahari harus di bangun dengan strategi yang terencana dan bervisi jangka panjang.
1. Dalam pengelolaan pariwisata bahari tersebut pemerintah harus mengubah dari pendekatan dari sistem birokrasi yang berbelit menjadi sistem pendekatan entrepreurial. Dimana pemerintah dituntut untuk tanggap dan selalu bekerja keras dalam melihat peluang dan memanfaatkan peluang tersebut sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus meyiapkan sebuah regulasi/kebijakan yang mendukung pengembangan pariwisata bahari. Kebijakan tersebut antara lain, menciptkan kawasan ekonomi khusus di kawasan yang sedang mengembangkan pariwisata bahari, misalnya memberikan kebijakan bebas visa pada wisatawan yang akan berkunjung dan lain-lain.
2. melakukan pemetaan terhadap potensi pariwisata bahari yang dimiliki, yaitu berupa nilai, karakteristiknya, infarstruktur pendukungnya, dan kemampuanya dalam menopang perekonomian. Dengan demikian dapat ditentukan parawisata bahari mana yang harus segera dibangun dan mana yang hanya perlu direvitalisasi. Selain itu kita juga perlu memetakan lingkungan yang terkait dengan pariwisata bahari baik lingkungan internal maupun ekternal. Lingkungan internalnya yang perlu dipetakan adalah sejauh mana kekuatan dan kelemahan (strength and weakness) pariwisata bahari tersebut. Sedangkan Lingkungan eksternal yang perlu dipetakan adalah sosial-budaya, politik/kebijakan, ekonomi-pasar, dan kemampuan teknologi. Selain itu juga perlu di ketahui sejauh mana negara-negara lain melangkah dalam pengembangan pariwisata bahari, sehingga kita bisa belajar dari keberhasilan dan kegagalan mereka dalam mengembangkan pariwisata bahari.
3. Menyusun rencana investasi dan pembangunan atas berbagai informasi yang telah kita dapatkan dari pemetaan diatas. Yang perlu diperhatikan dalam penyusunan ini adalah, bahwa kita tidak hanya akan membangun sebuah pariwisata bahari saja Namun juga perlu di perhatikan faktor pendukungnya seperti akses transportasi, telekomunikasi dll. Dengan demikian rencana pengembangan pariwisata bahari dapat terukur dan tetap sasaran.
4. menciptakan kualitas SDM yang tangguh di bidang paraiwisata bahari, baik skill-nya, kemampuan dalam inovasi, adaptabilitas dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan eksternal, budaya kerja dan tingkat pendidikan serta tingkat pemahaman terhadap permasalahan strategis dan konsep yang akan dilaksanakannya. Karena di masa mendatang keunggulan SDM dalam berinovasi akan sangat penting setara dengan pentingnya SDA dan permodalan. Hal ini terkait dengan perkembangan teknologi yang pesat, khususnya teknologi informasi.
5. Melakukan strategi pemasaran yang baik, seperti yang dilakukan negara tetangga kita Thailand yang memasarkan objek wisatannya di televisi-televisi internasional dan berbagai media seperti internet, majalah dan pameran-pameran pariwisata di tingkat internasional. Bahkan mereka menghabiskan dana sekitar US$ 1 miliyar untuk mempromosikan wisata mereka di beberapa jaringan televisi internasional. Bahkan saking kreatifnya, beberapa negara melakukan segmentasi pasar wisatawan, ini seperti yang dilakukan Hong Kong dan Thailand untuk memudahkan merencanakan pengembangan pariwisatanya dengan tidak menyamaratakan pasar wisatawannya.
Agar supaya wisata laut ini dapat berkelanjutan maka produk pariwisata bahari yang ditampilkan harus harmonis dengan lingkungan lokal spesifik oleh karena itu sejarah lokal perlu dilakukan dalam menggali potensi dan menunjang sector pariwisata bahari tersebut.
d. Studi Kasus: Potensi Pulau Sekatung
Pulau Sekatung adalah salah satu pulau terluar Indonesia yang potensial bagi wisata. Letaknya berbatasan langsung dengan Vietnam di Laut Cina Selatan. Memang, pulau ini rawan konflik karena berada di antara 12 pulau terluar yang rawan sengketa. Pulau Sekatung berada di bagian utara Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Secara geografis, Sekatung terletak di Laut Cina Selatan pada posisi 40 47' 38" - 40 46' 41" Lintang Utara dan 1080 0' 39"-1080 1' 20" Bujur Timur. Sekatung termasuk dalam gugusan Pulau Natuna selain Pulau Sedanau, Bunguran, dan Midai.
Sekatung tidak berpenduduk dan ukurannya relatif kecil sehingga pengembangan pulau ini lebih cocok untuk daerah persinggahan nelayan. Agar kapal-kapal yang melintasi pulau kecil tertarik singgah di Sekatung, perlu dibangun sarana dan prasarana seperti dermaga tradisional, pelindung pantai, tempat istirahat sejenis resort, atau pun rumah-rumah dari bahan baku lokal. Secara administratif, Sekatung masuk wilayah Desa Air Payang, Kelurahan Pulau Laut, Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna. Jarak dari Sekatung ke lbukota Kecamatan Bunguran Barat di Sedanau sekitar 65 mil dan dipisahkan oleh Laut Natuna.
Sekatung berada di utara Pulau Laut dan dipisahkan Selat Setakong. Pantai bagian utara dari pulau ini berbentuk curam dan sulit didarati dari arah laut. Di bagian selatan, topografinya bergelombang dan sering digunakan sebagai tempat persinggahan nelayan lokal maupun asing. Secara umum, kondisi lingkungan Sekatung hampir sama dengan wilayah lain di Kabupaten Natuna, yaitu dipengaruhi perubahan angin dan cuaca. Kawasan pantai di Sekatung bagian utara dipengaruhi perilaku Laut Cina Selatan yang bergelombang besar. Kawasan pantai bagian selatan dipengaruhi Laut Natuna yang lebih tenang.
Pulau Sekatung berbentuk bukit kecil dengan ketinggian 5-6 meter di atas permukaan laut. Lereng sebelah utara agak curam dan di sebelah selatan topografinya bergelombang. Batuan tersusun dari endapan permukaan dan batuan sedimen. Secara umum, struktur geologi Sekatung terdiri atas Formasi Aluvial (QA), Formasi Batuan Mafik, dan Ultramafik (Jmu). Sekatung memiliki iklim tropis basah dengan suhu udara berkisar 23-32 derajat Celsius. Iklim di pulau ini dipengaruhi perubahan arah angin, yaitu Angin Muson Timur (Mei-September) dan Angin Muson Barat (November-Maret). April dan Oktober merupakan masa transisi antara dua angin tersebut.


BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kemajuan suatu negara atau bangsa amat ditentukan oleh kemampuannya dalam mendiagnosis akar permasalahan dan potensi pembangunan yang dimilikinya, dan kemudian menggunakan seluruh potensi tersebut untuk mengatasi sejumlah permasalahan secara cerdas, cepat, dan tepat. Dari perspektif ekonomi misalnya, permasalahan yang dialami bangsa maladewa pada saat itu adalah ingin bangkitnya maladewa dari bangsa yang miskin sehingga para akademisi-akademisi maladewa mulai berpikir dengan mengadakan suatu kajian mengenai potensi yang mereka miliki. Seperti yang kita ketahui bahwa Maladewa merupakan negara kecil yang memiliki sekitar 1.191 pulau kecil-kecil yang `berserakan` di Samudra Hindia (dekat atau bawah India dan Srilangka), dengan penduduk sekitar 250 ribu jiwa. Pulaunya kecil-kecil tanpa penghuni, hanya lima pulau berpenghuni dan terbesar seluas dua kilometer persegi, di mana ibukota negara tersebut berada, yaitu Male. Maladewa memiliki potensi bahari yang baik sehingga pendapatan Negara sebesar 70% didapatkan dari sector pariwisata bahari dan sisanya dari perikanan dan lain-lain.
Indonesia memiliki potensi menjadi negara tujuan wisata laut terbesar di dunia. Namun, secara umum kegiatan wisata laut di tanah air belum berkembang baik dan menimbulkan keprihatinan. Itu antara lain disebabkan oleh tidak terjaganya ekosistem laut, seperti terjadi di Kepulauan Seribu di utara Jakarta. Di era 1970 hingga 1990, kawasan itu masih disebut sebagai salah satu tempat wisata bahari yang paling eksotis di dunia. Kini yang tersisa hanyalah sampah dan limbah dari ibukota, ikannya pun tak direkomendasikan untuk dikonsumsi. Padahal jika potensi wisata bahari ini bisa dimanfaatkan dengan baik dan dijadikan sebagai andalan utama wisata, potensinya cukup besar. Bandingkan dengan Maladewa misalnya yang hanya memiliki 99 pulau tapi penghasilannya dari sektor ini jauh lebih tinggi. Itu juga karena kebijakan dasarnya cukup tegas dan prospektif, yakni tenaga kerja asing dibatasi hanya sampai pada level manager, serta dengan target one island one resort.
Indonesia dengan jumlah pulau yang jauh di atas Maladewa, plus sumber daya hayati pesisir dan lautan yang luar biasa seperti populasi ikan hias terbesar dunia, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove dan berbagai bentang alam pesisir atau coastal landscape yang unik dan menakjubkan, jelas merupakan daya tarik sangat besar bagi wisatawan. Karenanya, pantas bila dijadikan sebagai objek wisata laut yang bernilai strategis.
3.2. Saran
Indonesia harus dapat belajar dari Maladewa dalam pemanfaatan dan pengoptimalan potensi bahari agar menjadi Negara yang bangkit dari kemiskinan, membangun wisata bahari, dengan tidak langsung masyarakat dapat memelihara kekayaan bahari alam dan lingkungannya karena disanalah tempat mereka berinvestasi seperti masyarakat Maladewa dan hal inilah yang perlu kiranya kita pelajari dari sejarah kebangkitan Maladewa untuk Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank. (2008). KEBANGKITAN REGIONALISME ASIA, Kemitraan bagi Kemakmuran Bersama. Mandaluyong City: ABD
Bisnis Indonesia.(2009). Ketika Maluku Utara Terinspirasi Maladewa [Online]. Tersedia: http://cybertech.cbn.net.id/cbprtl/cybertravel/detail.aspx?x=Travel+News&y=cybertravel%7C0%7C0%7C4%7C2099 [01 November 2009]
Burhanuddin, Andi Iqbal. (2009) Potensi Wisata Laut Menyambut “Visit Indonesia 2008”. Aceh: Universitas Hasanuddin Press
Dahuri, Rokhmin. (2009). PARIWISATA BAHARI: Raksasa Ekonomi Indonesia Yang Masih Tidur [Online]. Tersedia: http://rokhmindahuri.wordpress.com/ tag/pariwisata-bahari/ [30 Oktober 2009]
Gatra forum. (2009). Gugusan Pulai di Nusa Tenggara bisa di "Maladewa"-kan [Online]. Tersedia: http://www.gatra.com/2002-09-21/artikel.php?id=20759 [04 November 2009]
Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Australia Govermen. (2006). Status Terumbu Karang di Negara-Negara yang terkena Tsunami 2005 Diterjemahkan oleh Ayu Ratri Khairuna Ahza, Wasistini Baitoningsih (UNESCO Office Jakarta, dan Putu Liza Kusuma Mustika (Praktisi Kelautan). Darwin: Northern Territory.